Salah satu paham kontroversial saat dipopulerkan adalah paham Wahdatul Wujud atau paham Hulûl. Paham ini menjelaskan bahwa Tuhan pencipta menyatu dengan manusia ciptaannya. Memang aneh, namun itulah yang terjadi pada sebagian kalangan yang kurang dalam mengenai pengetahuan agama, serta ironisnya menisbatkan pada kaum sufi.
Baca Juga: Salat Sesat Aliran Hakekat
Pada dasarnya, Wahdatul Wujud dan Hulûl atau lebih dikenal dengan kata “Manunggaling kaula Gusti” tidak perlu ditanggapi akan batalnya paham tersebut. Sebab menyatunya Allah sebagai pencipta dengan mahkluk buatannya tidak dibenarkan oleh semua akal. Tentu menjadi hal yang absurd jika ada seseorang membuat bola, lalu bola tersebut dibuat bahan tendangan di tengah lapangan padahal antara bola dan pembuatnya adalah satu-kesatuan. .
Namun karena hal itu terjadi pada sebagian orang, para ulama memberi komentar dan peringatan akan bahayanya paham itu. Al-Qadhi ‘Iyadh berkata dalam kitab asy-Syifa’ yang artinya:
Para ulama sepakat (Ijma’) akan kekafiran para penganut paham hulûl, serta orang-orang yang menyatakan tentang menetapnya Allah SWT pada salah satu manusia seperti perkataan sebagian Mutashawwifah, Batiniyyah, Nashârâ, dan Qarâmithah.
Dalam kesempatan yang lain, Syeikh ‘Izzuddin bin Abdis Salam berkata dalam kitabnya Qawâ’idul Kubrâ:
Barang siapa menyangka bahwa Tuhan menetap pada sesuatu dari jasad manusia atau lainnya, maka orang tersebut kafir. Sebabsyara’ menilai ma’fu (artinya masih ada perselisihan mengenai kekafiran) penganut paham Tajsîm, karena merembahnya paham Tajsîm pada kebanyakan orang. Hal itu karena mereka tidak memahami Zat yang Wujud tanpa menetapkan arah. Bedahalnya penganut paham Hulûl (menetapnya Tuhan pada makhluk), paham ini tidak merembah pada banyak orang serta tidak terlintas pada hatinya orang yang punya akal, sehingga tidak dima’fu (tidak ada perselisihan akan kekafiran penganutnya).
Di samping itu, ada pemahaman tauhid benar yang seakan mengindikasikan pada paham Hulûl dan Ittihad, padahal sebenarnya bukan. Paham tauhid yang disebut maqam fanak. Yaitu seorang Sâlik ketika sampai pada derajat yang dekat dengan Allah SWT, dan dalam mencapai ridanya serta yang mendekatkanya sudah tenggelam dalam lautan tauhid dan makrifat. Sehingga Dzat serta sifatnya menghilang saat menyaksikan Dzat serta sifatnya Allah SWT. Sementara lainnya menjadi samar saat melihatnya, yang terlihat hanya Allah SWT.
Seseorang ketika sampai pada maqam fana’ ini terkadang muncul ungkapan-ungkapan yang sepertinya menunjukkan pada paham Hulûl dan Ittihâd. Demikian karena keterbatasan kata-kata untuk menjelaskan keadaannya. Dan perlu diingat bahwa maqam ini didapat dengan pertolongan bukan dengan dalil.
Kesimpulannya, pemahaman bahwa Allah menyatu dengan mahkluk tidak benar, dan yang meyakini hukumnya kafir. Sementara ungkapan-ungkapan ulama besar di zaman dahulu yang seakan berpaham Hulûl atau Ittihad, itu dikarenakan tidak ada kata yang bisa mewakili pada maqam fana’nya. Wallâhu A’lam.
*Ditranskip dari kitab al-Ma’mân minadh Dhalâlah karya Ibni Abdil Jalil dengan sedikit penambahan dan pengurangan.
Khotibul Umam | Annajahsidogiri.id