Agama Islam mempunyai beberapa norma atau yang dikenal dengan rukun yang wajib diimani dan diakui oleh semua orang yang menganutnya. Rukun tersebut adakalanya rukun Islam, Iman dan Ihsan. Namun, di sini, di tulisan yang singkat ini penulis akan menjelaskan sekelumit tentang Iman yang sepertinya lebih menarik dibahas karena menyangkut kejadian yang tren akhir-akhir ini.
Menurut Al-Jurjani dalam kitab At-Takrifat, secara bahasa, iman adalah membenarkan dengan hati. Sementara menurut syariat, iman adalah meyakini dengan hati dan mengikrarkan dengan lisan.
Jika kita dalami takrif iman itu sendiri, maka kita akan dapatkan suatu kesimpulan bahwa, Iman bukanlah sekedar meyakini apa yang kita yakini. Namun juga berani mengingkari apa yang bertentangan dan berlawanan dengan apa yang kita imani. Maka, bukan lah dikatakan seseorang yang mengimani berbagai macam keyakinan yang saling berlawanan. Karena sejatinya, jika kita meyakini sesuatu, kita harus ingkar pada kebalikannya.
Baca juga : Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Imaniyah, Mana Lebih Ampuh?
Iman itu bisa diibaratkan sebagai sesuatu yang hitam putih. Maka merupakan suatu yang sangat mustahil jika terdapat sebuah keyakinan yang isinya bertentangan, namun keduanya sama-sama dikatakan benar. Maka karena itulah terhadap keyakinan yang berbeda, iman terpaksa mengingkari dan berani mengatakan ‘Kafir’. Karena, jika dua keyakinan yang esensinya bertentangan itu digabungkan secara paksa, maka hal itu merupakan kerancuan yang sangat besar dan tidak masuk akal.
Oleh karena itu, sebagai umat Islam kita harus berani menyerukan kebaikan yang telah kita yakini dan imani. Dan tentunya yang sudah sesuai dengan apa yang syariat atur. Karena suatu kebenaran bagi kita wajib kita tegakkan, dengan kadar kemampuan kita sendiri. Iman yang kita miliki, harus terus kita junjung dan kita pegang teguh dengan tanpa adanya campur tangan kelompok lain yang berusaha mengkompromikan dan mencampur-aduk antara beberapa macam Iman dengan bumbu toleransi.
Karena sejatinya, toleransi bukanlah sebuah alasan untuk menghilangkan kata ‘kafir’ dari kamus agama. Karena bagi kita, toleransi dijunjung bukan dalam rangka menyeragamkan dan memadukan berbagai macam keyakinan, tapi dalam rangka menyikapi perbedaan itu dengan sudut pandang yang benar.
Oleh karena itu, konon, para sahabat nabi tetap gagah mengkafirkan Nasrani, justru pada saat sedang mencari suaka di Abbesenia, sebuah kerajaan Nasrani yang menjadi kaki tangan Romawi di ujung tenggara Afrika. Dalam keadaan seperti itu para shahabat bukan malah kendor dan takut untuk menyuarakan keimanan mereka untuk menyelamatkan dan memuluskan usaha mereka.
Allah c berfirman;
مُّحَمَّدٞ رَّسُولُ ٱللَّهِۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَهُمۡۖ
Dalam ayat ini, Allah memuji Baginda Nabi Muhammad dan para sahabatnya karena sifat mereka yang keras pada orang kafir dan lembut kepada sesama muslim. Tidak seperti orang yang malah welcome pada orang kafir tapi malah keras kepada saudara sesama Muslim.
Nuris Syamsi/Annajahsidogiri.id