Harus diakui memang tidak sedikit dari amalan yang dijalani Ahlusunah Waljamaah yang bersandar pada hadis daif. Demikian adalah suatu yang tidak bisa dipungkiri. Hanya saja, yang menjadi persoalaan adalah adanya satu firkah yang sangat anti dengan hadis daif, menuding para pengamal hadis tersebut melakukan bidah. Mereka mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad. Sebenarnya bagaimana hukum mengamalkan hadis daif? Apakah mutlak terlarang atau legal dengan beberapa syarat tertentu? Ulasan berikut akan menjawab pertanyaan di atas.
Dalam kitab Raddul-Hadîts ad-Da’îf bil-Kulliyah Fitnatun Kabîrah Mu’âshirah diuraikan bahwa mayoritas ulama mengatakan boleh mengamalkan hadis daif dalam hal amalan-amalan yang mengandung keutamaan (Fadhâilul-A’mâl).
Menurut Imam Nawawi ini sudah menjadi kesepakatan ulama. Beliau menuturkannya dalam kitab al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab juz 2 hlm. 94:
وَقَدِ اتَّفَقَ العُلَمَاءُ عَلَى اَنَّ اْلحَدِيْثَ المُرْسَلِ وَالضَّعِيْفِ وَاْلمَوْقُوْفِ يُتَسَامَحُ فِيْ فَضَائِلِ اْلاَعْمَالِ وَيُعْمَلُ بِمُقْتَضَاهُ
“Para ulama sepakat bahwa hadis mursal, daif, dan maukuf boleh diamalkan dalam konteks amalan-amalan utama (Fadhâilul-A’mâl).”
Baca Juga: Mengidentifikasi Makna Hadis Tanduk Setan
Begitu pula Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkomentar:
وَقَدِ اتَّفَقَ العُلَمَاءُ عَلَى جَوَازِ اْلعَمَلِ بِاْلحَدِيْثِ الضَعِيْفِ فِيْ فَضَائِلِ اْلاَعْمَالِ لِاَنَّهُ اِنْ كَانَ صَحِيْحًا فِيْ نَفْسِ اْلأَمْرِ فَقَدْ اَعْطَى حَقَّهُ مِنَ اْلعَمَلِ بِهِ وَإِلَّا لَمْ يَتَرَتَّبْ بِهِ مَفْسَدَة تَحْلِيْل وَلَا تَحْرِيْم وَلاَ ضِيَاع حَقٍّ لِلْغَيْرِ
“Ulama menyepakatin akan bolehnya mengamalkan hadis daif dalam Fadhâilul-A’mâl, sebab andai pada kenyataannya hadis tersebut benar maka telah memenuhi haknya untuk diamalkan, dan jika tidak, maka tidak akan menimbulkan mafsadah saat menghalalkan dan mengharamkannya, juga tidak mengakibatkan hilang hak orang lain”. (Fathul-Mubîn Syarhul–Arbaînhlm. 109)
Melihat dari pemaparan Imam Nawawi dan Ibnu Hajar di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa tidak semua yang berkaitan dengan hadis daif itu ditolak. Kita boleh mengamalkan hadis tersebut dalam konteks Fadhâilul-A’mâl.
Imam Ibnu Hambal juga berpendapat hal yang sama. Demikian dapat kita saksikan dari rekam pernyataan Imam Ibnu an-Najjar al-Hambali:
وَقَالَ الْإِمَامُ ابن النجَّار الحَنْبَلِيْ: وَيُعْمَلُ بِاْلحَدِيْثِ الضَعِيْفِ فِيْ فَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ عِنْدَ اْلإِمَامِ أَحْمَدَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَاْلمُوَفَّقِ وَاْلأَكْثَرِ قَالَ أَحْمَدُ: اِذَا رَوَيْنَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي اْلحَلَالِ وَاْلحَرَامِ شَدَدْنَا فِي الْأَسَانِيْدِ وَاِذَا رَوَيْنَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِيْ فَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ وَمَا لَا يَضَعُ حُكْمًا وَلَا يَرْفَعُهُ تَسَاهَلْنَا فِي اْلأَ سَانِيْدِ
“Imam Ibnu an-Najjar al-Hanbali mengutip pendapat Imam Ahmad, Muwaffaq, dan mayoritas ulama, bahwa hadis daif boleh diamalkan dalam konteks Fadhâilul-A’mâl. Imam Ahmad berkata: ‘Bila kami meriwayatkan sebuah permasalahan tekait halal dan haram, maka kami memperketat urusan sanadnya, namun jika kami meriwayatkan perihal Fadhâilul-A’mâl, kami sedikit melonggarkan urusan sanad tersebut”.
Baca Juga: Legalitas Pengamalan Hadis Daif
Lalu sebenarnya apa maksud dari Fadhâilul-A’mâl serta hikmah diperbolehkannya mengamalkan hadis daif, meski hanya tertentu pada amalan yang mengandung keutamaan? Syekh al-Laknawi menjawab pertanyaan tersebut sebagaimana dikutip dalam kitab Raddul–Hadîts ad-Da’îf bil Kulliyah Fitnatun Kabîrah Mu’âshirah:
اِعْلَمْ اَنَّ اْلمُرَادَ بِفَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ هُنَا كَمَا ذَكَرَهُ العَلاَّمَةُ اللَّكْنَوِي هِيَ فَضَائِلُ اْلأَعْمَالِ الثَابِتَة وَاْلمَنْدُوْبَاتِ التِيْ يُثَابُ بِهَا فَاعِلُهَا وَلَا يُذَمُّ تَارِكُهَا فَاِنَّهُ فِيْهَا اَخْذُ اْلحَدِيْثِ الضَعِيْفِ وَاْلعَمَلِ بِهِ لِاَنَّهُ اِنْ كَانَ صَحِيْحًا فِيْ نَفْسِ اْلأَمْرِ فَقَدْ اَعْطَى حَقَّهُ مِنَ اْلعَمَلِ بِهِ إِلَّا لَمْ يَتَرَتَّبْ بِهِ مَفْسَدَة تَحْلِيْل وَلَا تَحْرِيْم وَلاَ ضِيَاع حَقٍّ لِلْغَيْرِ
“Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan Fadhâilul-A’mâl di sini sebagaimana disebutkan oleh Syekh al-Laknawi adalah amalan-amalan utama yang tsubut, bila dilakukan dapat pahala, namun jika tidak dilakukan tidak tercela. Untuk itu dalam hal ini hadis daif tetap diamalkan, sebab andai pada kenyataannya hadis tersebut benar, maka telah memenuhi haknya untuk diamalkan, dan jika tidak, maka tidak akan menimbulkan mafsadah saat menghalalkan dan mengharamkannya, juga tidak mengakibatkan hilang hak orang lain’.”
Abd. Jalil | Annajahsidogiri.id