Ketika membahas seputar wahdatul-wujûd, masih banyak kalangan yang salah dalam memahami istilah tersebut. Bahkan, ada yang menganggapnya sebagai suatu keadaan dimana seorang hamba menyatu dengan tuhannya, tentu hal ini sangat berbahaya, karena bisa menyebabkan seseorang terjerumus kedalam lembah kemurtadan. Oleh karena itu, dalam tulisan kali ini kami akan membahas lebih dalam pemahaman yang benar tentang wahdatul-wujûd.
Pada dasarnya, seluruh muslim mempunyai keyakinan wahdatul wujud sesuai dengan kadar yang telah ditentukan oleh Allah[1]. Semua orang Islam wajib meyakini bahwa wujud Allah adalah wujud dzâtî (kâmil); Allah ada tidak disebabkan oleh sebuah sebab (‘illat) apapun, sedangkan wujudnya makhluk termasuk wujud yang nâqish; keberadaanya itu tergantung kepada selainnya dan membutuhkan kepada pencipta. Dalam Kubral-Yaqiniyât al-Kauniyât hlm.109 Syekh Ramadan Al-Buthi menjelaskan :
أَنَّ الوُجُوْدَ يَنْقَسِمُ اِلَى القِسْمَيْنِ: وُجُوْدِ كَامِلٍ وَوُجُوْدِ نَاقِص. وَبِتَعْبِيْر اَخَرَ نَقُوْلُ وُجُوْدٌ ذَاتِيٌ وَوُجُوْدٌ تَبْعِيٌ
فَأَمَّا وُجُوْدُ اللَّهِ تَعَالَى، فَهُوَ وُجُوْدُ كَامِلٌ ذَاتِي بِمَعْنَى أَنَّهُ مَوْجُوْدٌ لِذَاتِهِ لَا لِعِلَّةِ مُؤْثِرَةِ فِيْهِ. وَمِنْ خَصَائِصِ الوُجُوْدِ الذَاتِي أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ العَدَمَ وَأَمَّا وُجُوْدُ مَا عَدَاهُ فَوُجُوْدٌ نَاقِصٌ وَتَبْعِي. بِمَعْنَى أَنَّهُ مُسْتَمِدٌّ مِنْ غَيْرِهِ وَاِنَّهُ مُتَوَقِّفٌ عَلَى المُوْجِدِ لَهُ وَمِنْ خَصَائِصِ هَذَا النَّوْعِ الثَّانِي مِنْ الوُجُوْدِ اِنَّهُ لَابُدَّ أَنْ يَقُوْمَ بَيْنَ عَدَمَيْنِ: سَابِقٍ وَلَاحِقٍ
“Wujud terbagi menjadi dua bagian: wujud kâmil dan wujud nâqish. Istilah lainnya adalah: wujud dzâtî dan wujud tab’î. Keberadaan Allah itu termasuk wujud dzâtî, artinya keberadaan Dzat Allah tanpa didasari sebuah ‘illat mu’atstsirah. Di antara kekhususan wujud dzâtî adalah tidak menerima ketiadaan. Sedangkan Keberadaan segala sesuatu selain Allah tergolong wujud nâqish dan tab’î. Dengan artian, keberadaanya itu tergantung kepada selainnya dan membutuhkan kepada pencipta. Termasuk kekhususan macam wujud yang kedua ini ialah harus berada di tengah-tengah dua ketiadaan, yakni sebelum (yang sudah lampau terjadi) dan sesudah (yang akan terjadi) ”
Definisi Wahdatul Wujud
Istilah wahdatul wujud ini biasa digunakan untuk waliyullah yang sudah mencapai tingkatan makrifat kepada Allah. Secara definisi, wahdatul-wujud adalah suatu keadaan dimana seorang wali tenggelam dalam samudra tauhid, sehingga dia tidak melihat apapun kecuali Allah. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syekh Ahmad Nawawi bin Abd djalil dalam kitab Al-ma’man min al-dzholalah hlm. 48
وَاعْلَمْ أَنَّ النَّاسَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَصْنَافٍ :
الصِّنْفُ الْأَوَّلُ : مَنْ اشْتَغَلُوا بِالْخَلْقِ عَنْ الْحَقِّ هُمْ الْغَافِلُونَ (يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنْ الْحَيْوَةِ الدُّنْيَاۖ وَهُمْ عَنْ الَاخِرَةِ هُمْ غَفِلُونَ :الرُّومُ:7 ) وَهَذَا مَقَامُ الْمَحْجُوبِينَ .
االصِّنْفُ الثَّانِي : مَنْ اشْتَغَلَ بِالْحَقِّ عَنْ الْخَلْقِ حَتَّى فَنِيَ مِنْ مُشَاهَدَةِ الْخَلْقِ فَعَدُّ الْمَوْجُودَاتِ كَأَنَّهَا عَدَمٌ. وَهَذَا مَقَامُ وَحْدَةِ الْوُجُودِ غُرَفٌ فِيهِ مِنْ غُرَفٍ وَغَلَطَ فِي مَعْنَاهُ مَنْ حَجَبَ. الصِّنْفُ الثَّالِثُ : مُشَاهَدَةُ الْحَقِّ بِاعْتِبَارِأَنَّهُ الْمَقْصُودُ وَالْمَعْبُودُ لِذَاتِهِ وَمُشَاهَدَةُ الْخَلْقِ بِاعْتِبَارِأَنَّهُمْ يُدْلُّونَ عَلَى وَحْدَنِيَّةِ الْخَالِقِ عَزَّ وَجَلَّ. وَهَذَا مَقَامُ خَوَاصِّ الْمُقَرَّبِينَ
“Dan ketahuilah bahwa manusia terbagi menjadi tiga golongan:
Golongan pertama Mereka yang sibuk dengan dunia semata-mata, dan semakin jauh dari Allah. Mereka adalah orang-orang yang lalai (mereka hanya mengetahui kehidupan dunia yang tampak, sedangkan mereka lalai terhadap kehidupan akhirat: Surah Ar-Rum: 7). Ini adalah tingkatannya orang-orang yang terhalang dari Allah (maqam mahjub) .
Golongan kedua: Mereka yang sibuk dengan Allah dan tidak memperhatikan makhluk sama sekali, hingga mereka fanâ’dari memandang terhadap makhluk, kemudain menganggap perkara yang wujud sebagai ketiadaan. Inilah yang dimaksud dengan tingkatan wahdatul wujud dan memiliki ruangan di dalamnya, akan tetapi banyak orang yang masih ter-hijab salah memaknai istilah wahdatul wujud ini.
golongan ketiga: Melihat Allah sebagai tujuan dan objek ibadah yang sejati, serta melihat ciptaan sebagai tanda-tanda keesaan dari Sang Pencipta yang Maha Mulia. Ini adalah tingkatan bagi mereka yang memiliki kedekatan khusus dengan Allah.”
Baca Juga; Manunggaling Kawula Gusti; Sebuah Analisis Lengkap
Masih dalam kitab yang sama, Syekh Ahmad Nawawi bin Abd djalil mengutip perkataan Imam As-sa’ad At-taftazani dalam memaknai istilah wahdatul-wujud sebagaimana berikut:
وَمِن الصِّنْفِ الثَّانِي قَالَ الْعَلَّامَةُ الْمُحَقِّقُ إِمَامُ الْمُتَأَخِّرِينَ فَى الْعُلُومِ الْحُكْمِيَّةِ وَالنَّقْلِيَّةِ السَّعْدُ التَّفْتَازَانِيُّ : انَّ السَّالِكَ إِذَا انْتَهَى سُلُوكُهُ إِلَى الِلَّهِ تَعَالَى أَيْ إِلَى مَرْتَبَةٍ مِنْ قُرْبِهِ وَشُهُودِهِ، وَفِي اللَّهِ أَيْ فِي بُلُوغِ رِضَاهُ وَمَا يُؤَمِّلُهُ مِنْ حَضْرَتِهِ الْعَلِيَّةِ يَسْتَغْرِقُ فِي بِحَارِ التَّوْحِيدِ وَالْعِرْفَانِ، بِحَيْثُ تَضْمَحِلُّ أَيْ بِاعْتِبَارِ الشُّهُودِ لَا الْحَقِيقَةِ، ذَاتُهُ فِي ذَاتِهِ وَصِفَاتِهِ فِي صِفَاتِهِ، وَيَغِيبُ عَنْ كُلِّ مَا سِوَاهُ، وَلَا يَرَى فِي الْوُجُودِ إِلَّا اللَّهُ تَعَالَى
“Dari golongan kedua (wahdatul-wujud), Imam Al-Mutaakhirin, seorang yang ahli dalam ilmu hukum dan ilmu naqliyah, As-Saad At-Tafthazani, mengatakan: “Bahwa seorang salik (berusaha menuju Allah), ketika perjalanan spiritualnya sudah sampai kepada Allah Ta’ala, yaitu mencapai tingkat kedekatan dan menyaksikan kepada Allah, dan dalam Allah, yaitu mencapai pada ridha-Nya dan apa yang diangan-angan dari ke-hadirat Allah yang luhur, ia tenggelam dalam lautan tauhid dan kemakrifatan, sekiranya ia melebur, yakni meninjau penyaksiannya bukan secara hakikat, dzatnya berada dalam dzatnya Allah dan sifatnya berada dalam sifatnya Allah, menghilang dari segala sesuatu selain Allah, dan ia hanya melihat keberadaan Allah Ta’ala.”
Oleh karenanya, orang yang mengartikan wahdatul wujud dengan “Manusia menyatu dengan Allah dan Allah bersemayam di dalam jiwa manusia (الإتحاد والحلول)” itu merupakan definisi yang sangat fatal sekali. Sebab ada pembeda yang sangat jelas antara Allah dan makhluknya, yakni Allah adalah dzat yang qodîm (tidak berawal), ghâni (Maha tidak butuh kepada selainnya), dan kabîr (Maha Besar), sedangkan makhluknya memiliki sifat hadis (baru diciptakan, memiliki permulaan), faqir dan haqir(selalu butuh pada dzat yang menciptakan.
M. Aghits Amta Maula | Annajahsidogiri.id
[1] K.H. Qoimuddin, Risalah Akidah Islam, hlm.25