Untuk memahami akidah Islam yang benar terdapat banyak cara yang telah dirumuskan oleh ulama Ahlussunah wal Jamaah. Salah satunya adalah Istidlâl, baik dengan dalil naqli; yaitu dalil yang berasal dari nash syariat, yakni; al-Quran atau Hadis, dan juga dengan dalil akli; dalil yang bersumber dari akal pikiran manusia. Cuma yang harus digarisbawahi mengenai dalil akli ini tidak lain hanya hasil pemikiran yang cocok dengan syariat yang bisa dijadikan dalil, karena menurut ulama Ahlussunah akal pikiran yang menyalahi nash syariat tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum apa pun. Sebab, akal itu sendiri menurut beliau semua berfungsi sebagai pendukung dari nash syariat, bukan malah menyalahinya.
Sebagai Muslim, kita pasti meyakini bahwa Allah ﷻ itu wujud dan sifat ketuhanan-Nya menyeluruh untuk semua makhluk ciptaan-Nya, baik mereka yang beriman ataupun tidak. Dalil-dalil akli seperti yang akan disampaikan ini tetap harus kita pelajari untuk menjadi penyempurna dan pengokoh keimanan kita sekaligus sebagai jawaban bagi mereka yang tidak memercayai keberadaan Allah ﷻ.
Setidaknya ada tiga dalil akli yang penting untuk diketahui karena ketiganya berkaitan sangat erat dengan penjabaran sifat wujud Allah ﷻ:
Pertama, dalîlut-tadbîr (beraturan)
Kita tahu bahwa alam semesta dipenuhi oleh aturan yang sangat kompleks; gunung tak goyah dengan tertancap dalam bumi, lautan samudera terbentang luas, dan langit biru yang penuh kepulan awan. Ini semua menunjukkan bahwa ada Dzat yang mengatur dan menggerakkan semua itu. Hal ini sudah pasti hanya bisa dilakukan oleh Allah ﷻ.
Kedua, dalîlut-thabî’i (tabiat makhluk)
Selanjutnya sifat wujud Allah ﷻ bisa dicermati dari segi tabiat yang dihasilkan oleh naluri manusia. Karena, naluri yang sehat tidak akan menyangsikan keberadaan Tuhan yang mengatur segala sesuatu di alam semesta ini. Dapat dibenarkannya tabiat insani ini sebagai dalil akli dengan pembuktian pada manusia yang hakikatnya memiliki free will (kebebasan berkeinginan); saat ia mau melakukan sesuatu yang dinilai buruk oleh akal pasti ia akan menemukan suara hati yang sesuai dengan naluri akal sehat yang membelokkan keinginan buruknya tadi.
Ketiga, dalîlul-fanâ’ (ketidak-kekalan makhluk)
Ketika masa hidup makhluk terbatas waktu, masa sehat mereka yang juga tidak abadi dan adanya kerusakan yang bisa ditimbulkan lewat mereka, maka bisa dipastikan bahwa ada Allah ﷻ yang Maha Kekal dan Abadi yang sanggup untuk mengubah keadaan makhluk sesuai dengan kehendak-Nya; mencabut atau meniupkan ruh, menyembuhkan dan mengirim rasa sakit dan lain sebagainya.
Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa keberadaan Allah ﷻ tidak hanya dapat kita pelajari lewat narasi-narasi al-Quran dan Hadis. Namun, akal sehat yang bersih dari syubhat juga dapat menjadi ladang kita untuk mempelajari ilmu-ilmu agama yang salah satunya adalah mengenal Allah ﷻ dengan bertafakur atas makhluk ciptaan-Nya. Wallâhu-A’lam bish-Shawwâb.
Ahmad Kholil |Annajahsidogiri