Sekilas tentang novel “The Satanic Verses” atau dalam terjemah Bahasa Indonesia, “Ayat-Ayat Setan”, yang baru-baru ini mencuat setelah terjadi penyerangan brutal pada pengarangnya; Salman Rushdie: adalah mahakarya keempatnya yang diterbitkan pertama kali pada September 1988 M.
Karyanya yang satu ini banyak memunculkan kontroversi sebab mengesankan penghinaan pada Islam. Selain itu, juga karena rumusan awal yang dibuat oleh Salman Rusdie yang bermasalah. Bagi Anda yang sudah membacanya, atau paling tidak sekilas mengikutinya, tahu bahwa rumusan awal novel ini berasal dari sebuah kisah yang terkenal dengan “Gharaniq”.
Sebagian ahli tafsir mengutip cerita ini[1] ketika menafsiri surah al-Haj ayat 52 yang berbunyi:
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ وَّلَا نَبِيٍّ اِلَّآ اِذَا تَمَنّٰىٓ اَلْقَى الشَّيْطٰنُ فِيْٓ اُمْنِيَّتِهٖۚ فَيَنْسَخُ اللّٰهُ مَا يُلْقِى الشَّيْطٰنُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ۙ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul dan tidak (pula) seorang nabi sebelum engkau (Muhammad), melainkan apabila dia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan ke dalam keinginannya itu. Tetapi Allah menghilangkan apa yang dimasukkan setan itu, dan Allah akan menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. Al-Haj [22]: 52)
Menurut mereka, ayat ini turun ketika Rasulullah tak ingin jauh dari kaum Quraisy. Hingga suatu saat, ketika Rasul bersantai di suatu tempat bersama orang-orang Quraisy, Allah menurunkan wahyu yang berupa surah an-Najm.
Tepat setelah ayat ke 19-20[2] dari surah tersebut, ternyata setan membisikkan pada Nabi ucapan berikut:
تِلْكَ اْلغَرَانِيْقُ اْلعُلَى وَإِنَّ شَفَاعَتَهُنَّ لَتُرتَجَى
“Itulah (Lâta, ‘Uzza, dan Manah) berhala-berhala yang mulia. Sungguh syafaat-syafaat dari mereka sangatlah diharapkan.”
Mendengar ucapan Nabi demikian, orang kafir Quraisy bergembira, sehingga mereka ikut sujud saat Nabi dan semua orang Muslim sujud. Saking gembiranya, mereka berujar, “Muhammad telah memuji tuhan-tuhan kami dengan pujian yang melangit.”[3]
Tentu ini merupakan sebuah keisykalan. Apakah benar Nabi menyampaikan ayat-ayat setan? Bukankah Nabi maksum dari segala hal kejelekan, apalagi yang sampai menyangkut wahyu? Bukankan Nabi tak berkata kecuali Allah yang menuntunnya?
Tentu banyak keisykalan dalam kisah Gharaniq ini, di antaranya:
Pertama, Tidak Ada Kejelasan Riwayat
Setelah banyak penelitian terhadap kisah ini, ternyata kisah Gharaniq adalah kisah yang riwayatnya tidak jelas. Bahkan tak ada tukilan riwayat ini dari sahabat, kecuali dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Sa’id al-Kalbi. Namun riwayat ini tetap ditolak sebagaimana kesepakatan para ulama, karena silsilah ini palsu dan perawinya matruk serta hadis darinya tak bisa dijadikan pegangan[4].
Adapun pendapat Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul-Bârî[5], bahwa semua kumpulan riwayat lemah itu tetap berdasar dan bisa diterima sebab banyaknya riwayat yang saling mendukung, tetap tak bisa dijadikan landasan. Karena sebanyak apapun riwayat yang mendukung, sekalipun mencapai ratusan riwayat, jika hadisnya tak berdasar; dusta, buatan, ataupun fitnah, tetap tak bisa dijadikan landasan. Malah membuat hadis tersebut semakin lemah dan tertolak. Hal ini sebagaimana penyampaian Syekh Hasan Abul-Asybal az-Zahiri dalam kitab Ushûlu Ahlis-Sunnah wal-Jamah[6].
Lagipula, banyak ulama yang menyangsikan riwayat ini. Imam al-Baihaqi mengatakan:
هَذِهِ اْلقِصَّةُ غَيْرُ ثَابِتَةٍ مِنْ جِهَةِ النَّقْلِ
“Kisah ini tidak tsubut jika ditinjau dari sisi pandang penukilannya.”[7]
Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah ketika ditanyakan tentang riwayat ini, ia menjawab:
هَذَا وُضْعٌ مِنَ الزَنَادِقَةِ
“Kisah ini adalah buat-buatan orang Zindiq.”[8]
Imam al-Bazzar dalam musnadnya mengatakan:
وَهَذَا الْحَدِيثُ لا نَعْلَمُهُ يُرْوَى عَن النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيه وَسَلَّم بِإِسْنَادٍ مُتَّصِلٍ عَنْهُ
“Tidak kudapati riwayat hadis ini yang sanadnya sambung pada Rasul.”
Dan yang menjadi pertanyaan besar di sini, mana riwayat dari para sahabat selain Ibnu Abbas, yang meriwayatkan kisah Gharaniq ini? Bukankah ketika itu Nabi berkumpul dengan banyak orang Quraisy?
Kedua, Bertentangan dengan Nas
Jika sudah bertentangan dengan nas maka jelas riwayat apapun akan tertolak. Nah, kisah Gharaniq ini sangat bertentangan dengan al-Qur’an.
Dalam surah Yunus (10) ayat 15 dan an-Najm (53) ayat 3-4, disebutkan bahwa Nabi tidaklah berujar mengikuti hawa nafsunya, melainkan murni dari Allah. Jika kisah Gharaniq itu benar maka telah menyalahi ayat ini.
Dalam surah al-Isra’ disebutkan:
وَاِنْ كَادُوْا لَيَفْتِنُوْنَكَ عَنِ الَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهٗۖ وَاِذًا لَّاتَّخَذُوْكَ خَلِيْلًا
“Dan mereka hampir memalingkan engkau (Muhammad) dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar engkau mengada-ada yang lain terhadap Kami; dan jika demikian tentu mereka menjadikan engkau sahabat yang setia.” (QS. Al-Isra’ [17]: 73)
Kalimat “Kâdû”, “hampir” pada ayat di atas memberi makna hampir terjadi, yang berarti indikasinya adalah tidak terjadi. Jika jelas Allah mengungkapkan bahwa mereka tidak sampai memalingkan Nabi dari apa yang Allah wahyukan, maka juga jelas pertentangan dengan kisah “Gharaniq”.[9]
Ketiga, Berakibat Kufur
Syekh Syamsudin al-Birmawi dalam Kitâbul-Lâmi’ ash-Shabîh bi Syarhil-Jâmi’ ash-Shahîh mengutip Qadi ‘Iyadh bahwa riwayat ini tidak masuk akal. Sebab bagaimana mungkin Nabi mengajarkan hal yang berakibat kekufuran. Imam asy-Syaukani dalam Kitâbu Nailil-Authâr dan Imam an-Nasafi dalam Madârikut-Tanzîl wa Haqâiqut-Ta’wil juga berpendapat hal yang sama. Imam Karmani mendukung pendapat ini seraya mengatakan, “Inilah pendapat yang benar.”[10]
Jika dikatakan, “Bukankah dalam Sahîhul-Bukhâri disebutkan bahwa orang musyrik juga ikut sujud ketika Nabi dan orang Muslim sujud? Tentu ini mendukung kebenaran riwayat kisah Gharaniq!”
Pernyataan seperti di atas mulai banyak dimunculkan untuk mendukung kisah tersebut. Hanya saja yang perlu digarisbawahi bahwa dalam hadis tersebut tak ada kisah Nabi memuji patung-patung orang musyrik. Berikut redaksi hadisnya:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، قَالَ: حَدَّثَنَا أيُّوبُ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضي الله عنه – أَنَّ النَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – سَجَدَ بِالنَّجْم، وَسَجَدَ مَعَهُ الْمُسْلِمُونَ وَالْمُشْرِكُونَ وَالْجنُّ وَالإنْسُ
“Telah menceritakan kepada kami (Musaddad) berkata, telah menceritakan kepada kami (‘Abdul Warits) berkata, telah menceritakan kepada kami (Ayyub) dari (Ikrimah) dari (Ibnu Abbas), bahwa Nabi melakukan sujud tilawah ketika membaca surah an-Najm. Begitu juga ikut sujud bersama Beliau dari kalangan Kaum Muslimin, orang musyrik, bangsa jin dan manusia.”
Dalam hadis tersebut hanya menceritakan bahwa semua makhluk ketika itu ikut sujud, termasuk orang musyrik, tanpa ada penyebutan kisah Gharaniq. Adapun tujuan orang musyrik ikut sujud, tentu bukan karena Nabi memuji patung-patung mereka, melainkan karena ketakutan atas ancaman dalam wahyu yang Nabi bacakan[11].
Dari semua pemaparan di atas, jelaslah bahwa kisah Gharaniq itu tidak benar keberadaannya, hanyalah buat-buatan belaka. Sebagai referensi pelengkap, kitab ‘Ismatul-Anbiya’ karangan Imam Fakhruddin ar-Razi adalah rekomendasi tepat untuk memahami pembahasan ini.
Walhasil, tentu merupakan kesalahan yang sangat besar jika Salman Rushdie membuat inspirasi novel dari kisah tak bedasar ini!
Ghazali | Annajahsidogiri.id
[1] Kisah “Gharaniq” disebut dalam beberapa kitab, diantaranya dalam at-Thabaqât al-Kubrâ karya Ibnu Sa’d dan Târîkhur-Rusûl wal-Mulûk karangan at-Thabari.
[2] اَفَرَءَيْتُمُ اللّٰتَ وَالْعُزّٰى وَمَنٰوةَ الثَّالِثَةَ الْاُخْرٰى, “Maka apakah patut kamu (orang-orang musyrik) menganggap (berhala) Al-Lata dan Al-‘Uzza, dan Manat, yang ketiga (yang) kemudian (sebagai anak perempuan Allah).”
[3] Mafâtihul-Gaib (23-24/49): ذَكَرَ الْمُفَسِّرُونَ فِي سَبَبِ نُزُولِ هَذِهِ الْآيَةِ أَنَّ الرَّسُولَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا رَأَى إِعْرَاضَ قَوْمِهِ عَنْهُ وَشَقَّ عَلَيْهِ مَا رَأَى مِنْ مُبَاعَدَتِهِمْ عَمَّا جَاءَهُمْ بِهِ تَمَنَّى فِي نَفْسِهِ أَنْ يَأْتِيَهُمْ مِنَ اللَّه مَا يُقَارِبُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قَوْمِهِ وَذَلِكَ لِحِرْصِهِ عَلَى إِيمَانِهِمْ فَجَلَسَ ذَاتَ يَوْمٍ فِي نَادٍ مِنْ أَنْدِيَةِ قُرَيْشٍ كَثِيرٍ أَهْلُهُ وَأَحَبَّ يَوْمَئِذٍ أَنْ لَا يَأْتِيَهُ مِنَ اللَّه شَيْءٌ يَنْفِرُوا عَنْهُ وَتَمَنَّى ذَلِكَ فَأَنْزَلَ اللَّه تَعَالَى سُورَةَ وَالنَّجْمِ إِذا هَوى [النَّجْمِ: 1] فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَلَغَ قَوْلَهُ أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى وَمَناةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرى [النَّجْمِ: 19، 20] أَلْقَى الشَّيْطَانُ عَلَى لِسَانِهِ «تِلْكَ الْغَرَانِيقُ العلى مِنْهَا الشَّفَاعَةُ تُرْتَجَى» فَلَمَّا سَمِعَتْ قُرَيْشٌ ذَلِكَ فَرِحُوا وَمَضَى رَسُولُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قِرَاءَتِهِ فَقَرَأَ السُّورَةَ كُلَّهَا فَسَجَدَ وَسَجَدَ الْمُسْلِمُونَ لِسُجُودِهِ وَسَجَدَ جَمِيعُ مَنْ فِي الْمَسْجِدِ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَلَمْ يَبْقَ فِي الْمَسْجِدِ مُؤْمِنٌ وَلَا كَافِرٌ إِلَّا سَجَدَ سِوَى الْوَلِيدِ بْنِ الْمُغِيرَةِ وَأَبِي أُحَيْحَةَ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِي فَإِنَّهُمَا أَخَذَا حَفْنَةً مِنَ التُّرَابِ مِنَ الْبَطْحَاءِ وَرَفَعَاهَا إِلَى/ جَبْهَتَيْهِمَا وَسَجَدَا عَلَيْهَا لِأَنَّهُمَا كَانَا شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَلَمْ يَسْتَطِيعَا السُّجُودَ وَتَفَرَّقَتْ قُرَيْشٌ وَقَدْ سَرَّهُمْ مَا سَمِعُوا وَقَالُوا قَدْ ذَكَرَ مُحَمَّدٌ آلِهَتَنَا بِأَحْسَنِ الذِّكْرِ فَلَمَّا أَمْسَى رَسُولُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ
[4] Syekh Ramadhan al-Buthi dalam kitab Lâ Ya’tîhil-Bâthîl (hal. 141-142) dan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul-Bârî (8/439)
[5] لَكِنْ كَثْرَةُ الطُّرُقِ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ لِلْقِصَّةِ أَصْلًا … وَجَمِيعُ ذَلِكَ لَا يَتَمَشَّى عَلَى الْقَوَاعِدِ فَإِنَّ الطُّرُقَ إِذَا كَثُرَتْ وَتَبَايَنَتْ مَخَارِجُهَا دَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ لَهَا أَصْلًا
[6] فأقول: إن الحافظ ابن حجر جانبه الصواب ورد عليه غير واحد من أئمة العلم بخطئه في ذلك؛ ليثبت الحافظ ابن حجر أنه بشر، وأنه ليس أحد معصوماً إلا الأنبياء والمرسلون، فانظر يا أخي الكريم! حتى لا تغتر بكلام الحافظ ابن حجر في فتح الباري، فكل إنسان يؤخذ من قوله ويرد، فما الذي دعا الحافظ ابن حجر أن يقول بثبوت هذه الرواية وصحتها؟ قال: إن كثرة هذه الطرق وضم بعضها إلى بعض يعطي ويشعر أن لهذه الرواية أصلاً، فرد عليه غير واحد بأن انضمام الطرق وكثرتها ليست على الإطلاق يقوي بعضها بعضاً، بل إذا رويت هذه الطرق من طريق الكذابين والوضاعين والمفترين والملاحدة فإنها لا تزيد الرواية إلا ضعفاً ورداً، وإني لأعتقد أن المقام لا يسمح بذكر علل كل إسناد من هذه الأسانيد، ولكن أقول كلاماً عاماً: إن كل رواية من هذه الروايات اشتملت على كذاب أو وضاع أو مفتر أو ملحد أو غير ذلك ممن هو مطعون عليه في دينه وروايته، فإن بلغت روايات هذه القصة مائة طريق فإنها لا تزيد القصة إلا رداً وفساداً وبطلاناً
[7] Mafâtihul-Gaib (23-24/50)
[8] Ibid
[9] ibid
[10] قال (ع): إن حكاية الأخباريِّين ذلك باطلٌ لا يصحُّ نقلًا ولا عقلًا؛ لأنَّ مَدْحَ إلهٍ غير الله كُفرٌ، فلا يُنسَب ذلك للنبيِّ – صلى الله عليه وسلم -، ولا أنْ يقولَ الشَّيطانُ بلسانه، حاشاه، وإنما سبب سُجودهم ما قاله ابن مَسعود: إنَّها أوَّل سجدةٍ أُنزلت.
[11] وأصل هذه الرواية عند البخاري في صحيحه: أن النبي عليه الصلاة والسلام قرأ سورة النجم، فسجد في آخرها وسجد معه الناس أي: المسلمون والمشركون، وقد يقول قائل: لماذا سجد المسلمون والمشركون كذلك؟ الجواب أما سجود المسلمين فإنه لا إشكال فيه؛ لأن آيات السجدة في القرآن الكريم السجود فيها مستحب ومندوب وليس واجباً … أما المشركون فإنهم سجدوا مع النبي صلى الله عليه وسلم لما تلا هذه السورة ووصل إلى آخرها، وذلك لأنه يجوز أن يكونوا سجدوا لدهشة أصابتهم أو خوف اعتراهم عند سماع السورة لما فيها من قوله تعالى: {وَأَنَّهُ أَهْلَكَ عَادًا الأُولَى * وَثَمُودَ فَمَا أَبْقَى * وَقَوْمَ نُوحٍ مِنْ قَبْلُ إِنَّهُمْ كَانُوا هُمْ أَظْلَمَ وَأَطْغَى * وَالْمُؤْتَفِكَةَ أَهْوَى * فَغَشَّاهَا مَا غَشَّى} [النجم:٥٠ – ٥٤] إلى آخر آيات سورة النجم، فاستشعروا نزول مثل ذلك بهم، واستشعروا أنهم إن لم يسجدوا مع النبي عليه الصلاة والسلام تنزل عليهم صاعقة من السماء فتجتاحهم وتستأصل شأفتهم، فخافوا من ذلك خاصة