Akhir akhir ini, polemik nasab habaib merupakan bahan pembicaraan yang paling ramai untuk dibahas. Hal tersebut karena ulah beberapa oknum yang meragukan nasab habaib tersebut khususnya nasab Baalawi. Lantas, Apakah benar Bani Alawi bukan keturunan Rasulullah ﷺ? Berikut penjelasan dari Ust. M. Fuad Abdul Wafi, tim peneliti Annajah Center Sidogiri, kepada Moh Zaim Robbani dari annajahsidogiri.id beberapa waktu lalu.
Terkait polemik nasab yang ramai diperbincangkan, apakah benar Baalawi bukan keturunan Rasulullah?
Mengenai polemik nasab yang sedang menjadi perbincangan di media sosial dan lain sebagainya, bahwa nasab Baalawi jika dikatakan inqithâ‘ atau nasab batil itu tidak benar. Sayyid Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa adalah benar-benar dzuriyyah Rasulullah ﷺ. Karena kalau kita melihat kitab-kitab yang membahas tentang ilmu nasab, para ulama memiliki beberapa cara untuk menetapkan sebuah nasab. Kalau yang dijelaskan Sayyid Mahdi ar-Rajai dalam kitabnya Al-Mu‘qibûn min Âli Abî Thâlib, cara untuk menetapkan sebuah nasab itu ada empat. Salah satunya adalah:
أَنْ يُرَى خَطُّ نسَابَةِ مَوْثُوقٌ بِهِ
“Harus melihat tulisan (kitab) ulama ahli nasab yang dapat dipercaya”
Maka dari itu, ketika ada suatu nasab ditetapkan oleh salah satu ulama ahli nasab dalam kitabnya maka itu sudah cukup untuk membuktikan keabsahan nasab tersebut. Seperti permasalahan nasab Baalawi saat ini, Sayyid Murtadha az-Zabidi beliau adalah salah satu ulama ahli nasab menulis di dalam kitabnya bahwa Sayyid Ubaidillah ini benar-benar putra dari Ahmad bin Isa. Terpenuhinya satu saja dari empat cara yang telah ditetapkan ulama, sudah cukup membuktikan bahwa nasab Baalawi sambung kepada Rasulullah ﷺ, karena cara penetapan nasab ini menggunakan lafaz “thuruq” jamak dari lafaz “tharîq”. Sehingga satu saja terpenuhi maka suatu nasab bisa diterima. Beda halnya kalau syarat, jika satu saja tidak terpenuhi maka yang lain gugur.
Lantas, apakah benar untuk menetapkan keberadaan Sayyid Ubaidillah harus dengan adanya kitab yang sezaman atau yang mendekatinya?
Setelah saya teliti, sebenarnya pertanyaan seperti ini merupakan pertanyaan bidah, maksud bidah di sini adalah tidak pernah ada pernyataan seperti ini dari kalangan ulama Muhaqqiqûn ataupun dari ulama nasab yang kita sebut dengan Nassâbah. Contohnya seperti Tahdzîbul-Ansâb karangan Imam Abul Hasan Muhammad bin Abi Jakfar al-Ubaidili, al-Majdî fil-Ansâb karangan Imam Umari, Sirru Silsilatil-‘Alawiyyah karangan al-Bukhari, asy-Syajarah al-Mubârakah yang diklaim sebagai karangan Imam Fakhruddin ar-Razi. Dalam kitab-kitab di atas tidak ada pernyatan bahwa untuk menetapkan keberadaan seorang habib atau dzurriyah Nabi harus adanya kitab sezaman atau yang mendekatinya. Sampai sekarang pun para ulama Nasâbah tidak ada yang menyatakan bahwa nasab Baalawi terputus. Seperti Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Sayyid Murtadha az-Zabidi, al-Hafidz Abu Bakar as-Sakran dan lain sebagainya. Ini menjadi bukti bahwa pernyataan harus adanya penetapan dari kitab sezaman atau yang mendekati tentang keberadaan Ubaidillah, merupakan pertanyaan bidah dalam ilmu nasab. Pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang tidak ilmiah sama sekali.
Selain itu, dalam ilmu nasab tidak ada pertanyaan seperti itu. Contohnya Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitabnya asy-Syajarah al-Mubârakah menyebutkan bahwa putra dari Ahmad al-Abah (al-Muhajir) ada tiga yaitu Muhammad, Ali dan Husain. Ketika ditanya, siapa yang memberitahukan kepada beliau tentang nama-nama tersebut? Beliau menggunakan manuskrip apa dan tahun berapa manuskripnya? Maka tidak akan bisa dijawab. Karena ini ilmu nasab, bukan ilmu hadis. Kalau ilmu hadis, ketika satu rawi disebutkan maka harus diteliti dulu dari berbagai aspek, seperti dia tsiqah atau tidak. Jika tidak, berarti kualitas hadisnya turun. Kalau ilmu nasab tidak ada teori seperti ini.
Lalu, bagaimana pendapat Jenengan tentang kitab asy-Syajarah al-Mubârakah yang dibuat dalil oleh mereka yang meragukan nasab Baalawi?
Sebetulnya, orang orang yang ingin membatalkan nasab Baalawi rujukan yang paling paten adalah kitab asy-Syajarah al-Mubârakah yang diklaim sebagai karangan Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar bin Husain ar-Razi. Tetapi ternyata kitab tersebut bermasalah. Dalam kitab ini disebutkan bahwa anak dari Ahmad al-Abah itu cuma tiga yaitu Muhammad, Ali dan Husain. Tidak disebutkan putra beliau yang bernama Abdullah atau Ubaidillah. Ketika nama Ubaidillah tidak disebutkan lantas tidak bisa diklaim bahwa nasab Baalawi itu putus atau batil. Mengapa?
Pertama, kitab tersebut kontroversial apakah benar merupakan karangan dari Imam Fakhruddin ar-Razi atau tidak. Karena kalau melihat kitab Imam ar-Razi yang satunya yaitu I‘tiqâdu Firaqil-Muslimîn wal-Musyrikîn mengatakan bahwa Ashâbul-Intidzâr (Syiah yang menunggu kemunculan Imam Mahdi) menganggap bahwa putra dari Hasan al-‘Askari yaitu Muhammad akan hadir menjadi Imam Mahdi di akhir zaman. Dan mereka diklaim sebagai aliran sesat oleh Imam Fakhruddin ar-Razi. Lah, kenapa dalam kitab asy-Syajarah al-Mubârakah malah dibenarkan konsep Imam Mahdi tersebut.
Kedua, menurut catatan sejarah, manuskrip kitab ini baru disalin pada abad ke-8 menuju abad ke-9. Dan kita tidak akan bisa menemukan manuskrip asli dan manuskrip lain sebagai perbandingan, selain yang ditemukan oleh Syekh al-Mar’asyi, salah satu pembesar ulama Syiah. Lalu disalin oleh Sayid Mahdi ar-Raja’i.
Ketiga, Kita tidak akan temukan pendapat dari berbagai ulama yang mengatakan bahwa Imam ar-Razi memiliki kitab tersebut.
Dari sini, memberikan kesimpulan bahwa kitab asy-Syajarah al-Mubârakah merupakan kitab yang kontroversial, dan masih diragukan keberadaannya.