Setiap tanggal 25 Desember, umat Kristiani di dunia selalu merayakan hari natal, yakni hari kelahiran Yesus Kristus, yang merupakan Nabi Isa yang dikultuskan oleh mereka, dan sebagai tuhan anak yang termasuk ke dalam doktrin trinitas mereka. Dalam perayaan itu, yang sering kali ditemukan adalah pohon natal di halaman dan dalam rumah, yang dihiasi lampu-lampu, hadiah-hadiah, dan atribut natal lain seperti kostum dan topi berwarna merah Sinterklas.
Entah sudah menjadi tren masyarakat majemuk Indonesia atau bukan, yang jelas, rata-rata semua orang, tidak terkecuali umat Islam, ikut bahagia dengan tibanya hari natal. Hal tersebut terbukti dengan adanya berbagai atribut-atribut natal di sebagian rumah masyarakat muslim atau seorang muslim yang mengenakan atribut tersebut, salah satunya yang terjadi di sebagian perusahaan dan pertokoan yang mengharuskan pegawainya, baik yang muslim atau tidak, mengenakan atribut khas natal tersebut.
Dengan tujuan memeriahkan hari natal, mereka memasang hiasan natal di sudut-sudut toko mereka. Dan demi momentum bagi umat kristiani, mereka juga mengelabui para pegawainya dengan mengusung rasa toleransi antar umat beragama, dengan cara mewajibkan pekerjanya untuk mengenakan atribut-atribut natal seperti topi ala Sinterklas, tanduk rusa dll.
Dalam menjalani kehidupan antar umat beragama di Indonesia, Islam telah lama mengajarkan bagaimana umat Islam bertoleransi dengan orang yang tidak seiman dengan mereka. Sederhananya, kita sebagai umat Islam diperbolehkan bekerjasama dengan orang-orang non-muslim dalam hal sosialisasi dan bermasyarakat, tidak dalam berakidah dan dalam ritual agama.
Baca Juga: Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Imaniyah? Mana Lebih Ampuh?
Mengenai ini, al-Quran sudah lama menegaskan relasi antar umat beragam. Saat orang-orang kafir semakin dibuat resah oleh agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW semakin besar dan banyak pengikutnya, mereka menawarkan Rasulullah melakukan ‘pertukaran agama’. Orang-orang kafir Quraisy bersedia memeluk agama Islam untuk sementara, sebagai gantinya, mereka membujuk nabi Muhammad SAW agar memeluk agama yang anut, walau barang sebentar. Lalu turunlah QS. Al-Kafirun [109]: 6:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”
Menurut Al-Qurtubi dalam al-Jâmi’ li ahkâmil qur’ân, ayat di atas memperingatkan mereka atas tawaran mereka kepada Rasulullah SAW. Dalam tafsirnya, al-Qurthubi menafsiri demikian: jika kalian (orang kafir) rela dengan agama kalian, maka kami (muslim) rela dengan agama kami.
Dalam Islam, mengenakan atribut agama lain dinamakan Tasyabbuh, yakni menyerupai orang-orang kafir. Lebih-lebih atribut yang berhubungan langsung dengan perayaan ibadah mereka. Rasulullah SAW telah mengultimatum umat Islam yang melakukan Tasyabbuh dalam sabdanya:
(مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ (رواه أبو داود
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka. (HR. Abu Dawud).
Di samping itu, jelas sekali bahwa suatu hari umat Nabi Muhammad SAW akan mengikuti jejak dan gaya orang kafir. Beliau telah memprediksi demikian:
حدثني سويد بن سعيد حدثنا حفص بن ميسرة حدثني زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار عن أبي سعيد الخدري قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لتتبعن سنن الذين من قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو دخلوا في جحر ضب لاتبعتموهم قلنا يا رسول الله آليهود والنصارى ؟ قال فمن ؟ (رواه مسلم)
Rasulullah SAW bersabda: Kalian akan mengikuti jejak-jejak kaum sebelum kalian setapak demi setapak dan sejengkal demi sejengkal. Hingga, andai mereka masuk ke lubang biawak pun kalian akan tetap mengikuti mereka. Kami bertanya: Apakah mereka orang Yahudi dan Nasrani? Rasulullah SAW menjawab: Siapa lagi kalau bukan mereka (Yahudi dan Nasrani)? (HR. Imam Muslim)
Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain Ba’alawiy menyimpulkan dalam Bughyah-nya, umat Islam yang memakai atribut natal adakalanya yang condong kepada keyakinan mereka dan ikut menyiarkan keyakinan tersebut, adakalanya yang tidak demikian, namun bertujuan menyiarkan hari raya mereka atau agar bisa berkomunikasi baik dengan mereka, dan yang terakhir adakalanya yang hanya sekadar menyerupai mereka tanpa bertujuan apa-apa. Untuk yang pertama maka ia dihukumi kafir. Muslim dengan tujuan nomor dua dihukumi telah berdosa dan untuk yang terakhir dihukumi makruh.
Kalau bicara toleransi, bukan berarti kita sebagai umat Islam memakai baju yang serupa dengan mereka dalam merayakan hari natal, baik berniat mensyiarkan atau tidak, melainkan bagaimana sekiranya kita menjauhi apa yang telah ditetapkan oleh syariat Islam tentang batasan-batasan dalam bertoleransi, serta tidak terlalu agresif terhadap non-muslim yang sedang merayakannya. Begitulah agama Islam Rahmatan lil-‘âlamîn.
Abrari Ahmadi | Annajahsidogiri.Id