Ada bermacam tradisi yang berbeda-beda di setiap suku, dan daerah yang ada di Indonesia ini. Tradisi yang menjadi warisan nenek moyang yang terdahulu. Tradisi yang sudah menjadi hal biasa dan hampir terasa wajib dilakukan oleh sebagian orang. Seperti halnya mitoni atau tingkepan (pelet kandung). Tradisi mitoni adalah upacara selamatan ketika kandungan berusia tujuh bulan. Upacara selamatan tersebut, dilakukan dengan tujuan agar janin yang ada dalam kandungan nantinya lahir dalam keadaan sehat walafiat serta menjadi anak saleh dan salehah.
Baca Juga: Islam Cinta Tradisi
Adapun praktik tradisi ini adalah dengan membuat penutup persegi empat di sekitar rumah, lalu orang yang hamil diberi tempat duduk. Kemudian antara kedua tangannya memegang sebuah kelapa yang sudah kering dan dibelah. Setelah itu, kelapa diisi air dan dicampur aduk dengan semacam parfum, dan disiramkan ke bagian kepala sampai ke sekujur badan dalam keadaan – biasanya – aurat terbuka. Mayoritas meyakini bahwa hal yang sedemikian menjadi keharusan atau kewajiban bagi siapapun yang melakukan tradisi mitoni.
Harus diakui, meski tradisi ini sudah mengakar cukup kuat di kalangan masyarakat, tapi tradisi ini, dalam praktiknya, tidak sepenuhnya benar. Syekh Ismail bin Zain di dalam kitabnya yang bejudul “Qurratul-‘Ain bi Fatâwâ Syaikh Isma’il Zain”, mengomentari bahwa walimah semacam itu bukanlah walimah yang sesuai dengan syariat, bahkan kejadian itu beliau sebut dengan perilaku “bidah yang qabîhah”, karena praktik yang terjadi di atas disertai dengan kebiasaan yang tercela. Kebiasaan tercela yang dimaksud, sebagaimana cukup jelas dan menjadi sorotan, adalah adanya praktik membuka aurat. Padahal ulama sudah sepakat, hukum aurat bagi kaum hawa yaitu menutupi seluruh anggota badan kecuali bagian telapak tangan dan wajah.
Melakukan Adat Tanpa Melanggar Syariat
Alangkah baiknya, tradisi mitoni atau tingkepan dilakukan dengan hal yang sesuai ajaran syariat, seperti dengan cara bersedekah. Hal ini dilakukan agar supaya buah hati yang ada di dalam kandungan, lahir dalam keadaan selamat dan sehat sesuai harapan keluarga. Para ulama menganjurkan untuk bersedekah ketika seseorang mempunyai hajat seperti yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya:
يستحب ان يتصدق بشئ امام الحاجات مطلقا
“Disunahkan untuk bersedekah ketika memiliki hajat.” (Majmu’ fi Syarhil–Muhadzdzab, 4/269).
وقال أصحابنا : يستحب الإكثار من الصدقة عند الامور المهمة
“Para ulama berkata; ‘Disunahkan memperbanyak sedekah ketika ada hal-hal yang dianggap penting.’” (Majmu’ fi Syarhil-Muhadzdzab, 6/233).
Menggalakkan Tradisi dengan bersedekah
Bersedekah pada masa-masa kehamilan juga pernah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri Mazhab Hanbali, yang kemudian diikuti oleh Syekh Ibnu Taimiyah. Keterangan ini dijelaskan oleh Imam al-Jauzi dalam kitabnya, Manâqibul-Imâm Ahmad bin Hanbal, halaman 406-407.
Selain itu, jika memang memandikan harus dilakukan, maka sebisa mungkin kemungkaran-kemungkaran yang biasanya terjadi dalam tradisi ini, seperti membuka aurat dan hadirnya orang laki-laki yang bukan mahram, juga hendaknya dihindari. Hal ini dilakukan agar adat yang berlaku dan sudah menjadi kearifan lokal yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan sosial masyarakat kita tetap terjaga, tanpa harus menabrak kaidah-kaidah agama Islam sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab ulama salaf. Wallâhu a’lam.
Penulis: Imam Mahrus Ali
Aktivis Annajah Center Sidogiri (ACS) Kontra Wahabi