Salah satu kaidah dasar Muktazilah adalah Allah harus melakukan sesuatu yang baik (shalâh) dan terbaik (ashlah) pada manusia . Dari keyakinan dasar inilah, Muktazilah berpendapat bahwa bi’tsatu al-anbiyâ’ hukumnya wajib bagi Allah karena para nabi akan menjadi bagian dari pemenuhan kemaslahatan untuk umat manusia. Kehidupan umat manusia yang sedemikian kompleks dan rumit ini, tidak akan pernah menjadi sempurna dan sesuai dengan tuntutan dan tuntunan agama kecuali dengan terutusnya para nabi yang memberi arahan pada umat manusia. Apapun yang tanpanya sesuatu menjadi tidak sempurna (baik atau terbaik), maka hukumnya wajib bagi Allah untuk mewujudkannya.
Kritik Untuk Muktazilah
Sebenarnya ideologi dasar Muktazilah ini cakupannya tidak hanya khusus dalam masalah pengutusan para nabi. Karena itu pembahasannya akan digeneralkan dan langsung ke akar permasalahan yang ditimbulkan oleh ideologi mereka tentang shâlah dan ashlah.
Sebagaimana disebutkan, apapun jika masih berupa hal yang mungkin, maka Allah berhak melakukannya atau meninggalkannya. Shalâh dan ashlah adalah bagian dari perkara mungkin, maka Allah berhak mewujudkan atau meniadakannya. Ada tiga dalil yang menunjukkan bahwa Allah sama sekali tidak wajib melakukan apapun secara umum, atau wajib melakukan hal yang baik atau yang terbaik secara khusus.
Baca Juga: Terutusnya Nabi Ke Muka Bumi (1/4)
Pertama, dari sudut pandang akal. Jika Allah wajib melakukan sesuatu yang baik atau yang terbaik, berarti Allah sebagai tuhan tidak lantas membuatnya menjadi dzat yang berkuasa secara mutlak. Dia masih ada di bawah satu peraturan yang mengontrolnya. Dia tuhan tapi tidak bebas melakukan sesuatu. Padahal, hal ini sangat bertentangan dengan nalar.
Kedua, dari naqli. Ada begitu banyak firman Allah dalam al-Qur’an yang secara jelas dan gamblang menyebutkan bahwa Allah berhak melakukan apapun yang dia mau.
وَلَوْ شِئْنَا لَاٰتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدٰىهَا
Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami berikan kepada setiap jiwa petunjuk (bagi)nya.
وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰكِنْ يُّضِلُّ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاءُ وَلَتُسْـَٔلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
Dan jika Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Tetapi kamu pasti akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.
خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ وَعَلٰى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat.
وَّلٰكِنْ كَرِهَ اللّٰهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيْلَ اقْعُدُوْا مَعَ الْقٰعِدِيْنَ
..tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Dia melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan (kepada mereka),
“Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.”
Semua dalil al-Qur’an ini dengan jelas memberi kita pemahaman bahwa Allah sama sekali tidak wajib melakukan yang baik atau yang terbaik pada makhluk.
Ketiga, dari realitas. Kita lihat di berbagai penjuru dunia, ada begitu banyak kemungkaran merajalela yang oleh Allah bahkan bukan cuma sekadar diwujudkan, tapi dimudahkan. Orang-orang kaya dan pejabat tersandung kasus korupsi dan penipuan. Orang-orang miskin malas untuk beribadah karena kemiskinan mereka. Para santri dalam rihlah panjang keilmuannya, tidak sedikit menemui kemalasan. Jika Allah wajib melakukan sesuatu yang baik atau yang terbaik, harusnya hal-hal yang tidak sesuai dan menganggu tadi tidak pernah terjadi.
Harusnya, hal yang terbaik bagi Allah adalah tidak pernah memberi izin pada iblis untuk menganggu anak cucu adam. Harusnya, orang kafir tidak pernah diciptakan; bisa jadi, di dunia dia diazab dengan kemiskinan, di akhirat diazab dengan siksaan yang pedih selama-lamanya. Sebab yang terbaik bagi dia adalah tidak diciptakan sama sekali. Atau kalau memang mau diciptakan, harusnya dia dimatikan atau dihilangkan akalnya sebelum dia sampai batasan umur bisa ditaklif.
Tiga dalil ini; akal, naql dan realitas akan menjadi tugas berat bagi Muktazilah untuk menjawabnya andai dari mereka masih ada yang tersisa sampai sekarang. Sebab dilihat dari sejarah, al-Jubba’i yang menjadi pembesar Muktazilah sekali pun, kewalahan saat meladeni anak tirinya yang kemudian menjadi panutan dalam akidah, al-Imam al-Asy’ari, saat berdebat tentang murâ’atu ash-shalâh wa al-ashlah.
Badruttamam/Annajahsidogiri.id