Pada hari Ahad tanggal 20 Maret 2022, perempuan paruh baya membuat heboh dengan mengelilingi perlintasan balap MotoGP sembari membawa mangkuk emas di tengah derasnya hujan. Ia memutar-mutar tongkat kecil di atas cawannya sambil membacakan doa dan berusaha membuat cuaca di sirkuit Mandalika membaik. Aksi pawang hujan itu sempat mencuri perhatian banyak pihak, mulai dalam negeri hingga luar negeri. Seperti biasa, tatkala ada berita viral yang mencuat di media massa apalagi isu keagamaan, pasti banyak netizen Indonesia serentak menanggapi.
Perihal tradisi pawang hujan, keberadaannya sudah bukan rahasia lagi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Lebih-lebih saat ada perhelatan-perhelatan besar seperti acara pernikahan, pengajian umum, acara budaya dan lain-lain, pastinya tak luput dari ritual semacam ini.
Baca Juga: Peringatan Karbala Syiah
Istilah pawang identik dengan pengendali, tetapi dalam praktiknya pawang hujan bukanlah pengendali. Melainkan hanya memindahkan awan yang berpotensi akan keluar hujan agar tidak turun di tempat yang diinginkan. Karena secara hakikat, hujan tidak bisa ditolak. Sebab turun dan tidaknya hujan merupakan takdir Allah ﷻ yang tidak bisa diubah dengan upaya apapun.
Adapun hukum mengupayakan memindah hujan adalah boleh jika metode yang digunakan tidak sampai menyimpang dari koridor syariat. Seperti dengan cara berdoa, azan dan lain-lain.
Jika kita flashback lagi pada masa Rasulullah ﷺ, dahulu Nabi pernah meminta agar hujan tidak turun. Kala itu ada seorang laki-laki masuk masjid saat Nabi sedang berdiri sambil berkhotbah. Laki-laki itu menghadap Rasul dan berkata, “Wahai Rasulullah! Harta-harta kami telah binasa, dan jalan-jalan terputus, maka berdoalah kepada Allah ﷻ untuk menghentikan hujan ini.” Rasulullah ﷺ pun berdoa:
اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلا عَلَيْنَا اللَّهُمَّ علىَّ الآكَامِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
“Ya Allah turunkan hujan ini di sekitar kami jangan di atas kami. Ya Allah curahkanlah hujan ini di atas bukit-bukit, hutan-hutan lebat, gunung-gunung kecil, lembah-lembah, dan tempat-tempat tumbuhnya pepohonan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Baca Juga: Roh itu Makhluk Apa Bukan?
Setelah Nabi berdoa, hujan pun berhenti. Cara semacam ini bisa dipraktikan, sebab Nabi langsung yang mengajarkan. Adapun yang menyalahi syariat adalah seperti meminta bantuan kepada setan, memberikan sesajen, mendatangkan arwah-arwah nenek moyang.
Sementara peristiwa di Mandalika, yang praktiknya adalah dengan menggunakan sesajen, serta kejawen, tentu tidak dapat dibenarkan, dan jelas telah berseberangan dengan koridor syariat.
Oleh karenanya, tidak pantas bagi umat Islam yang hendak melakukan praktik menghentikan hujan dengan meniru cara ala pawang Mandalika. Masih banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menghentikan hujan, seperti berdoa ala baginda Nabi, azan dan lain-lain. Bagaimanapun juga, kita memiliki barometer, yakni syariat. Selagi ada rambu hijau dari syariat yang melegalkan, kita boleh menunaikan. Jika tidak, maka sebaliknya.
Mohammad Iklil | Annajashsidogiri.id