Sejak kali pertama perserutan antara Samsudin Jadab dan Pesulap Merah (Marcel Radhival) muncul ke publik, media sosial tidak pernah sepi dari mereka. Setiap hari ada saja hal baru yang muncul akibat “keunikan” mereka; Samsudin dengan segenap “ilmu supranaturalnya” dan Pesulap Merah dengan segenap keahlian membongkar segala trik praktek dukun palsu. Tak ketinggalan, media arus utama, Youtuber, dan bahkan asosiasi dukun se-Indonesiaa turut meramaikan pertunjukan ini.
Sekilas, apa yang dilakukan oleh Pesulap Merah memiliki tujuan baik, agar umat tidak mudah percaya trik bodoh yang biasa dilakukan oleh dukun palsu. Namun, di tengah sengketa ini, ada beberapa hal yang perlu diperjelas. Karena dikhawatirkan tingkat kepercayaan orang-orang terhadap doktrin ghaibiyat (perkara ghaib) memudar, dengan melihat sikap, prilaku, dan hal-hal nyeleneh yang mengelilingi Samsudin, serta jawaban konkret dan logis Pesulap Merah.
Doktrin Ghaibiyat di Tengah Sengketa Dunia Dukun
Sebagai bagian dari sesuatu yang sangat penting untuk diyakini, Syekh Dr. Ali Jumah dalam kitabnya, Aqidatu Ahlis-Sunah wal-Jamaah, hlm. 175, sampai mengatakan bahwa seorang tidak sempurna imannya jika masih belum beriman terhadap perkara ghaib.
Ghaib yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang untuk mengimaninya hanya bisa kita peroleh dari kabar yang meyakinkan atau pasti benar (al-Quran dan hadis mutawatir), bukan akal atau indra. Seperti jin, tanda kiamat, surga, dll. Sebab cara mengetahuinya hanya bisa dari kabar yang meyakinkan, tentu naif jika ada muslim yang memaksa menolak doktrin ghaibiyat, hanya karena jarang dilihat dan agak aneh untuk dicerna akal.
Ghaibiyat sebenarnya sama seperti contoh pada umumnya. Ketika orang lain bercerita kepada kita, bahwa ada angsa berwarna hitam (bukan berwarna putih) di bagian lain dunia ini, akal atau indra tidak bisa dengan sombong mengatakan hal itu tidak mungkin ada, hanya karena kita tidak pernah melihat angsa itu. Sama seperti ketika al-Quran atau hadis mutawatir bercerita tentang jin, surga, dll. Bedanya, kabar yang bersumber dari al-Quran dan hadis mutawatir, sebagaimana penuturan Syekh Abdur-Rahman Habanakah dalam Kawasyifuz-Zuyuf sudah pasti benar (al-khabar al-yaqini). Selain itu belum tentu benar.
Apakah Jin Itu Ada?
Ada lebih dari 20 ayat al-Quran yang secara gamblang menyebut kata “jin.” Salah satunya adalah ayat berikut:
وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا ۖ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan kepadamu (Muhammad) serombongan jin yang mendengarkan (bacaan) al-Quran, maka ketika mereka menghadiri (pembacaan)nya mereka berkata, ‘Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)!’ Maka ketika telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.” (QS. al-Ahqaf [46]: 29)
Baca Juga : Hidangan Penangkal Keburukan Jin
Berdasarkan dalil qath’i (dalil pasti), keberadaan jin adalah hal yang pasti (Aqidatu Ahlis-Sunah wal Jamaah, hlm. 183). Sebagaimana konsep dasar yang telah dijelaskan, akal dan indra tidak bisa menjadi penentu keberadaanya. Saat al-Quran menyatakan ada, berarti hal itu benar-benar ada, karena al-Quran adalah sumber informasi yang dipastikan kebenarannya.
Konsep ini tidak hanya berlaku terhadap jin. Namun juga berlaku untuk semua doktrin ghaibiyat. Seperti keberadaan hari kiamat, surga, neraka, kehidupan setelah mati, timbangan amal, keberadaan malaikat, dll. Orang yang memaksa mempercayai hal-hal ini berdasarkan akal atau indra semata, lalu tidak mempercayainya, berarti tidak memahami konsep dasar yang telah disebutkan.
Meminta Tolong kepada Jin
Mengenai hukum meminta tolong kepada jin, terjadi perbedaan ulama. Ada yang mutlak mengharamkan. Ada pula yang mengatakan boleh dengan catatan tertentu. Rinciannya, sebagaimana tertulis dalam kitab ar-Rasail adz-Dzahabiyah, hlm. 151: 1) Orang yang melakukan praktek tersebut adalah salih dan memegang teguh syariat, 2) Jin yang dimintai pertolongan juga jin yang baik, 3) Bacaan-bacaannya tidak bertentangan dengan syariat, dan 4) Segala hal di luar kebiasaan yang muncul, tidak menimbulkan sesuatu yang berbahaya pada syariat. Saat kriteria ini terpenuhi, maka namanya bukan sihir. Akan tetapi asrar (rahasia) dan ma’unah (pertolongan) dari Allah.
Badruttamam | Annajahsidogiri.id