Ketika seseorang mengalami sebuah tragedi, kecelakaan, cobaan, ia mungkin akan menganggap bahwa apa yang menimpa dirinya merupakan takdir dari Yang Mahakuasa. Akan tetapi terkadang kita bingung, ‘takdir’ yang seorang tadi asumsikan masuk pada ranah Qadhâ’ ataukah Qadar?
Ibnu Hajar al-Asqallani pernah mendeskripsikan mengenai Qahâ’ dan Qadar. Beliau berkata: “Para ulama berkata, Qadhâ’ adalah keputusan Allah SWT yang menyeluruh secara global pada zaman azali. Sedangkan Qadar ialah satuan dari beberapa keputusan Allah SWT secara terperinci.”[1] Kendati ulama berbeda pendapat mengenai terminologis Qadhâ’ dan Qadar, di sini penulis menjadikan pendapat Syekh Ibnu Hajar al-Asqallani sebagai acuan.
Jika mengacu pada deskripsi di atas bisa penulis simpulkan, seseorang yang di dalam perjalanan hidupnya dipastikan (ditakdirkan) mengalami sebuah kecelakaan, itu adalah merupakan Qadhâ’ dari Allah SWT. Sedangkan kapan terjadinya kecelakaan, luka apa saja yang diderita, bagaimana prosesnya merupakan Qadar dari Allah SWT. Hal ini murni buah pemikiran penulis sendiri.
Konklusi yang bisa penulis tarik berdasarkan definisi Qadhâ’ dan Qadar menurut Syekh Ibnu Hajar al-Asqallani adalah, kata ‘takdir’ yang sering kita ungkapkan merupakan Qadhâ’ dan Qadar itu sendiri. Qadhâ’ dan Qadar adalah dua komponen yang saling bangun-membangun dan tidak bisa dipisahkan untuk memunculkan istilah takdir.
Dalam kitab Sunan Abi Dawud diriwayatkan dari Ibnu Dailami, beliau berkata, “Aku mendatangi Ubay bin Ka’ab, kemudian aku sampaikan kepadanya bahwa dalam hatiku terjadi sebuah renungan tentang Qadar, kemudian aku meminta nasehat darinya sekiranya Allah SWT menghilangkan keraguan dari hatiku.” Ubay bin Ka’ab berkata, “Seandainya Allah SWT hendak mengazab semua penduduk langit dan bumi, maka Allah SWT akan mengazab mereka dan Allah SWT sama sekali tidak menzalimi mereka. Jika seandainya Allah SWT merahmati mereka, niscaya rahmat Allah SWT lebih baik bagi mereka daripada amal ibadah mereka. Jika seandainya engkau menginfakkan emas sebesar gunung Uhud untuk membela agama Allah SWT, niscaya Allah SWT tidak akan menerimanya darimu hingga engkau iman, percaya, dan yakin akan Qadar Allah SWT. Ketahuilah bahwa sesungguhnya apa yang menimpa dirimu, maka hal tersebut tidak akan meleset darimu. Dan sesungguhnya apa yang tidak menimpa dirimu, maka tidak akan pernah mengenaimu. Jika seandainya engkau mati sedangkan engkau tidak beriman kepada Qadar Allah, niscaya engkau akan masuk neraka.[2]
M Ulin Nuha|AnnajahSidogiri.id
Catatan:
[1] Fath al-Bari: 11/477
[2] Al-Qadha’ wal-Qadar, Umar Sulaiman Abdullah al-Asyqar, hal: 60, Dar an-Nafais Urdun.