Dalam tradisi masyarakat Jawa yang sesuai dengan syariat, jika salah satu anggota keluarga meninggal, sebagai bentuk kepedulian para kerabat, tetangga dan masyarakat. Mereka akan mendatangi keluarga tersebut untuk ikut berbela sungkawa atas kepergian si mayit, sambil mendoakannya dan keluarga yang ditinggalkan.
Lazimnya, hal tersebut dilakukan hingga hari ketujuh; menghadiahkan pahala dari bacaan thayyibah kepada almarhum, membaca Surah Yasin, tahlil, tahmid, istighatsah, dan diakhiri dengan doa yang ditujukan kepada orang yang telah meninggal dunia.
Tidak hanya tujuh hari, kegiatan ini juga lazim diadakan ketika almarhum mencapai 40 hari, 100 hari, setahun (haul), dan 1000 hari.
Apakah selamatan pada hari ke-3, 7, 40, 100, dan 1000 setelah kematian termasuk tindakan bidah? Bagaimana hukum melakukan acara seperti ini yang tradisinya ditentukan oleh hari dan jumlahnya? Dasar apa yang bisa dijadikan sebagai landasan amaliahnya?
Sejauh ini, belum ditemukan adanya bukti pembacaan tahlil untuk mayit beserta tata cara pelaksanaannya sebagai ajaran yang diajarkan langsung oleh Nabi ﷺ. Namun, jika kita merujuk pada konsep bidah yang diusung oleh para ulama, tahlilan dapat dikategorikan sebagai bidah hasanah (bidah yang baik) karena isi bacaannya terdiri dari kalimat thayyibah dan doa bersama untuk orang yang telah meninggal. Hal ini dapat dipahami dari salah satu hadis Rasulullah ﷺ:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang membuat sunah hasanah dalam Islam maka dia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Barangsiapa yang membuat sunah sayyiah dalam Islam maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun” (HR Muslim).
Bca juga : Meluruskan Salawat Bidah Ala Wahabi
Menyangkut problematika ketentuan hari pelaksanaan tradisi peringatan kematian ini; 3 hari, 7, 40 hari dan sebagainya, maka hal ini hanyalah kebiasaan masyarakat Jawa yang statusnya boleh-boleh saja. Syaikh Nawawi al-Bantani berpendapat dalam kitabnya Nihayah al-Zain:
وَالتَّصَدُّقُ عَنْ الْمَيِّتِ بِوَجْهٍ شَرْعِيٍّ مَطْلُوبٌ وَلَا يَتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ فِي سَبْعَةِ أَيَّامٍ أَوْ أَكْثَرَ أَوْ أَقَلَّ وَتَقْيِيدِهِ بِبَعْضِ الْأَيَّامِ مِنْ الْعَوَائِدِ فَقَطْ كَمَا أَفْتَى بِذَلِكَ السَّيِّدُ أَحْمَدُ دَحْلَانَ وَفِي سَابِعٍ وَفِي تَمَامِ الْعِشْرِينَ وَفِي الْأَرْبَعِينَ وَفِي الْمَائَةِ وَبَعْدَ ذَلِكَ يُفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلًا فِي يَوْمِ الْمَوْتِ كَمَا أَفَادَهُ شَيْخُنَا يُوسُفُ السَّنْبَلَاوِينِيُّ
”Dan sedekah unyuk mayit dengan cara syara itu dianjurkan dan tidak harus dibatasi tujuh hari atau lebih atau lebih sedikit atau bahkan tidak dibatasi. Pembatasan dengan hari-hari ini hanya sebuah kebiasaan. Sebagaimana fatawa Sayid Ahmad Dahlan ‘telah menjadi kebiasaan orang-orang dengan bersedekah untuk mayit pada hari ke tiga dari kematian, hari ke tujuh, hari ke dua puluh, hari ke empat puluh, hari ke seratus, dan setelah itu setiap tahun terhitung dari hari kematian’. Sebagaimana juga didukung oleh syekh Sanbalawiiny.”[1]
Jadi Kegiatan yang dilakukan masyarakat Jawa dalam memperingati kematian seseorang, meski Entah sejak kapan tradisi ini dimulai dan menyebar, akan tetapi jika kita lihat pada isi tradisi, yakni kalimat thayyibah, istighfar, berdoa bersama serta tidak adanya hal-hal yang dilarang oleh syariat, maka tidak ada salahnya jika tradisi ini terus dilanjutkan dan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Wallahu a’lam
Lubbil Labib | Annajahsidogiri.id
[1] Nihayah al-Zain, syaikh nawawi al-Bantani, hal. 281