Beberapa hari lalu ada yang bertanya, “Mengapa Allah memasukkan orang kafir ke neraka, padahal semua perbuatan makhluk adalah ciptaan-Nya? Bukankah Allah Maha Belas Kasih?” Dalam pertanyaan ini, terdapat beberapa poin yang dibenturkan mengenai kehendak Allah, padahal tidak ada kaitan sama sekali.
Tuhan Maha Belas Kasih kata lainnya ialah ar-Rahmân dan ar-Rahîm. Dalam mukadimah Fathul-Qarîb syarh Taqrîb, Syekh Ibnu Qasim memilah antara dua kata tersebut. Ar-Rahmân lebih utama daripada ar-Rahîm. Perbedaan keduanya terfokus pada obyek sosok yang dikasihani. Ar-Rahmân adalah rahmat Allah di dunia, mencakup muslim dan non-muslim, sedangkan ar-Rahîm ialah rahmat Allah di akhirat, yang diperuntukkan kepada muslim saja. Di kalangan ulama—sebagaimana penjelasan Dr. Ali Jum’ah dalam kitab ‘Aqîdah Ahlussunnah Wal jamaah (hal. 81)—masyhur doa, “Yâ Rahmanad-dunyâ, yâ Rahîmal-âkhirah”.
Dari penjelasan berikut, sangat tidak nyambung, bila yang dipertanyakan ialah sifat Rahîm Allah kepada non-muslim, kelak di akhirat. Sifat ar-Rahîm khusus kepada muslim saja.
Lantas, apakah Allah tidak rahmat kepada non-muslim? Allah rahmat dengan sifat ar-Rahmân-Nya. Namun, di dunia saja. Tidakkah Allah tergolong zalim, bila menyiksa makhluk-Nya? Jelas tidak. Coba buka lagi kitab Syarh Ummul-Barâhin (hal. 63) Allah mustahil zalim, karena zalim itu sendiri adalah tasharruf ‘alâ khilâfil-amri, perbuatan yang tidak pada semestinya. Allah adalah pemilik segalanya. Sudah menjadi hukum umum, semua barang milik terserah pemiliknya.
Baca Juga: Alasan Wajib Mengetahui Sifat Sifat Allah Swt
Contoh mudahnya begini. Saya punya dua sapi. Keduanya saya sembelih. Satu saya panggang. Satunya lagi saya potong-potong. Apakah saya zalim? Tidak, karena keduanya milik saya.
Penjelasan tersebut belum menjawab, tetapi nyaris. Jawaban lugas, bisa dengan mudah ditemukan di kitab al-Ma’man minadh-Dhalâlah (hal. 35) dalam pembahasan ayat ke-96 surah ash-Shaffat. Pada bagian itu, terdapat ayat yang memiliki arti Allah-lah yang menciptakan makhluk dan perbuatan makhluk.
KH. A. Nawawi bin Abd. Djalil di kitab tersebut (hal. 36) menulis, “Allah membalas hamba-Nya, lantaran pekerjaannya, bukan karena Allah menciptakan pekerjaan tersebut”. Kelanjutannya, beliau menyodorkan beberapa pertanyaan yang membuat kita lebih paham. Pertanyaannya begini:
“Apa kau tidak melihat, siapakah gerangan yang beriman kepada Allah? Siapakah yang mengerjakan amal saleh, dan menjauhi kejelekan? Siapa pula yang kafir kepada Allah? Siapa gerangan yang berbuat keburukan?”
Amat lucu bila kita menjawab, “Allah”. Ingat, Allah menciptakan perbuatan makhluk-Nya. Berarti yang berbuat adalah makhluk, hanya saja atas kehendak Allah. Jadi, bila Allah menghendaki fulan berzina, lalu ditanya, ‘Siapa gerangan yang zina?’ Jawabannya: fulan, bukan Tuhan. Allah dalam al-Quran menjanjikan akan memberikan balasan kepada yang berbuat, bukan kepada yang menciptakan.
Mengenai kehendak Allah dengan lebih lanjut, pada halaman 35 beliau menuliskan sebuah tamsil yang sangat bagus. Zaid bermain bola. Lalu, dia menendang bolanya ke arah comberan. Bola itu jatuh, dan dibiarkan. Pembiaran Zaid merupakan bentuk hukuman kepada bola, lantaran bolanya jatuh, bukan karena ditendang. Meski jatuhnya lantaran ditendang.
Dari penjalasan di atas, masih menyisakan sebuah pertanyaan: “Allah Maha Tahu segalanya. Dengan begitu Allah sudah tahu bahwa fulan kafir, jauh sebelum fulan diciptakan. Kalau begitu, kanapa Allah masih saja menciptakan fulan, yang berujung fulan masuk neraka? Mana belas-kasih-Nya?”
Perlu diingat kembali, andai fulan itu tidak diciptakan, mana mungkin dia bisa merasakan kenikmatan dunia. Allah menciptakan fulan merdeka; bebas memilih antara menjadi muslim atau tidak, merupakan nikmat, dan bentuk ar-Rahmân Allah. Rahmat ini tidak bisa hilang, lantaran fulan memilih untuk menjadi kafir. Demikian telah ditulis dengan jelas oleh Prof Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya al-Insân Musayyar am Mukhayyar (hal. 39).
Penulis: Muhammad ibnu Romli
Pemred Sidogiri.Net, CEO Tagtim Media, dan Aktivis Nahdhatul Ulama