Belakangan ini, kita sering dibingungkan oleh istilah moderat dan radikal. Seperti dalam kasus larangan memakai busana muslimah di Austria yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Mereka beralasan bahwa kebijakan ini dinilai lebih moderat. Dengan melarang muslimah memakai jilbab, kaum muslimah bisa lebih bebas dari berbagai macam hinaan dan diskriminasi. Padahal, secara tidak langsung mereka sendiri telah mendiskriminasi perempuan muslimah dengan melarang mereka mengenakan jilbab. Herannya, ketika mereka melihat muslimah-muslimah itu menggugat pelarangan ini mereka langsung menghujat ‘mereka Islam Radikal’.
QS. An-Nuur:31 :
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya…”
Sebenarnya siapa yang moderat? Dan siapa yang radikal?
Ketika kita mendefinisikan dua kata ini, kita akan dihadapkan pada dua kubu pemikiran; Liberal dan non-Liberal. Dengan mengetahui dua buah pemikiran ini maka kita akan menemukan titik perbedaannya. Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi menjelaskan bahwa kelompok liberal lebih mendahulukan konteks (situasi lingkungan) seperti yang terjadi pada kasus Austria di atas. Sedangkan non-Liberal bervariasi; ada yang lebih mendahulukan teks, ada yang mendahulukan teks tapi menggunakan akal, ada yang seimbang antara konteks dan akal. (Misykat hal.179).
Baca Juga : Bias Tuduhan Liberal dan Radikal
Jika diibaratkan, pemikir yang lebih mendahulukan teks al-Quran menggunakan akal di atas adalah para dalang dari organisasi-organisasi radikal yang mengatasnamakan dirinya sebagai orgainisasi islam. Seperti pada tahun 1932, terjadi penyerangan oleh orang Wahabi terhadap orang-orang muslim di kota makkah dengan alasan mereka telah kafir. Atau organisasi ISIS di Syiria yang keberadaannya justru menghancurkan orang muslim sendiri.
Perbedaan dua kubu pemikiran ini akan memunculkan definisi yang berbeda pula. Agaknya, dalam memaknai istilah moderat orang liberal Indonesia lebih membebek pada pemikir Barat postmodern Graham Fuller yang menyatakan bahwa “Muslim Moderat adalah mereka yang tidak mendahulukan teks dalam memahami kitab suci (Al-Quran) dan menekankan persamaan dengan agama lain dan bahkan tidak menolak kebenaran agama lain”. Sehingga,mengenai kasus Austria mereka melihat pada konteks atau keadaan muslimah yang ada di sana. Ketika orang-orang muslimah dihina dan didiskriminasi di tempat mereka; sekolah. Maka, dengan begitu mereka menyetujui pelarangan pemakaian busananya. Bagaimana dengan larangan membuka aurat yang ada di Al-Quran?. Mereka akan mencarikan penafsiran baru yang menurut mereka lebih sesuai dengan zaman sekarang ini. Dan untuk orang yang menolak keputusan ini, mereka otomatis dicap sebagai kelompok yang tidak moderat atau radikal.
Baca Juga: Maksud Aswaja Itu Moderat
Sekarang, kita bandingkan jika definisi ini diambil dari sudut pandang Islam yang lebih mendahulukan teks al-Quran. Maka, sebagaimana yang dinyatakan oleh Muqtedar Khan cendekiawan muslim asal Canada “Moderat itu adalah yang berfikiran terbuka, kritis, menghormati semua orang , bermoral, beramar makruf nahi mungkar”. Hal ini senada dengan surah Ali Imran ayat 110 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” Dengan begitu, kita akan memiliki pandangan bahwa yang moderat adalah mereka yang membiarkan muslimah memakai jilbab. Karena, moderat versi kita adalah mereka yang membiarkan orang-orang muslim menerapkan syariat. Dan yang radikal adalah mereka yang melakukan pelarangan tanpa pengesahan dari syariat.
Hal ini senada dengan definisi radikal (tatharruf) versi cendekiawan muslim Syekh Wahbah Al-Zuhaili “setiap tindakan kekerasan, agresi, atau kejahatan yang tidak memiliki pengesahan secara syar’i” (Qadhâyâ al-Fiqh al-Muâshir hal.398)
Dalam definisi tersebut Syekh Wahbah Az-Zuhaili lebih menekankan jika tindakan yang diambil tidak memiliki pengesahan dari syariat maka dialah yang tervonis ekstrim. Kesimpulannya, jika kita melihat kasus Austria di atas seharusnya yang divonis sebagai radikal adalah mereka yang melarang para muslimah mengenakan jilbab. Karena merekalah yang melakukan kejahatan tanpa adanya legalitas dari syar’i. Wallâhua’lam.
Abdul Muid |Penulis adalah salah satu aggota LITBANG ACS
Dan aktivis KOMUBA