Beberapa bulan yang lalu, Masyarakat Indonesia telah merayakan kemerdekaannya yang ke-74. Sebuah perayaan untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan kemerdekaan. Dan kebanyakan para pahlawan terdiri dari para kiai serta para santrinya dari berbagai pesantren. Mereka disamping berjuang untuk kemerdekaan negara ini, juga bersemangat untuk menyebarkan paham Ahlusunah Waljamaah yang kemudian dilanjutkan oleh penerusnya hingga saat ini. Kendati demikian, dibalik itu semua terdapat bermacam-macam sekte yang juga ikut mewarnai kehidupan di negeri pertiwi ini.
Baca Juga: Kesalahan Hizbut-Tahrir Memahami Khilafah
Diantara sekte yang sering membuat kontroversi adalah sekte HT (Hizbut Tahrir). Sebab sekte tersebut mempromosikan Khilafah Islamiah yang notabenenya bertentangan dengan sistem yang berlaku di Indonesia. Namun benarkah pandangan ideologi tersebut. Mari kita bahas.
Hizbut Tahrir merupakan sebuah partai politik yang didirikan pada tahun 1952 oleh Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani. Partai tersebut didirikan sebab kekecewaan atas politik yang dilakukan Ikhwanul Muslimin. Visi dan Misi mereka adalah menyatukan negeri-negeri Muslim di berbagai negara dalam satu komando satu Khilafah. Karena mereka menganggap bahwa keadaan orang-orang Islam berada di dar al-Kufr, sedangkan pemimpinnya disebut thaghut.
Apabila mereka melihat kepada pemerintahan yang ada di Indonesia yang berlandasan pada Pancasila dan berstatus negara kesatuan, maka pasti mereka secara gegabah berusaha agar segera menerapkan sistem khilafah di Indonesia yang dianggap dar al-Kufr. Apalagi mereka mengklaim, ketika terdapat pemimpin yang fasik atau dzalim maka harus dilengserkan.
Sementara Aswaja juga berkeyakinan wajib menegakkan khilafah. Namun bedanya, Aswaja tidak menganggap Indonesia merupakan dar al-Kufr, sebab masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, sehingga Indonesia berstatus dar al-Islam. Sebagaimana keterangan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj.
Baca Juga: Bersinergi dengan Ormas
Dan juga tidak gegabah untuk mengubah pemerintahan di Indonesia, tapi dengan cara perlahan-lahan. Hal itu karena tidak memungkinkan, dan karena memandang maslahah rajihah. Yaitu, jika kita gegagah untuk mengubah pemerintahan Indonesia, tentu akan terjadi perpecahan dan pertikaian dengan orang yang tidak menyetujuinya. Dan hal itu akan dimanfaatkan oleh para penjajah untuk kembali menjajah ke Indonesia, dan pupuslah harapan masyarakat Indonesia untuk merdeka, serta sia-sia perjuangan para pahlawan mereka.
Pandangan di atas berdasarkan pada pendapat Imam Ibnul Qayyim al-Jauziah dalam kitabnya Zâd al-Mu’âd fî Hadyi Khairi al-‘Ibâd, yang artinya:
Sesungguhnya melakulan perdamaian dengan orang muysrik meskipun terdapat syarat yang memberatkan kepada orang Muslim diperbolehkan. Demikian apabila memandang pada maslahah yang rajihah dan mencegah bahaya. Dan hal tersebut merupakan mencegah lebih tingginya dua mafsadah. (Zâd al-Mu’âd fî Hadyi Khairi al-‘Ibâd, vol. 3, hal. 267) Walhasil, menegakkan khilafah hukumnya wajib. Namun dengan melihat situasi dan kondisi terlebih dahulu, serta meninjau maslahah dan mafsadah yang akan muncul. Wallahu a’lam.
Khotibul Umam | Annajahsidogiri.id