Aliran syiah paling moderat serta paling dekat ajarannya dengan Aswaja adalah Zaidiyah. Mereka adalah para pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali. Aliran ini muncul pada tahun pertama abad ke 2 H/8 M.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa Zaid bukan Syiah secara mutlak dan pergerakannya bukan seperti Syiah, bahkan pergerakannya merupakan pergerakan Islam yang bertujuan keluar dari kepemimpinan imam yang zalim. Hal itu lebih diperkuat lagi dengan dakwah mereka yang merujuk pada al-Qur’an dan hadis, menegakkan sunah dan membasmi kebidahan.
Bahkan Syiah Itsna Asyariyah tidak menganggap Zaidiyah termasuk dari aliran mereka. Salah satu dari ulama mereka mengatakan:
“Zaidiyah sama sekali bukan termasuk bagian dari syiah karna tidak mewajibkan imamah secara nas, seperti halnya mereka bukan bagian dari Mu’tazilah karena mereka membatasi imamah hanya pada keturunan sayyidah Fatimah. Hanya saja mereka menggunakan fiqh mazhab imam Abu Hanifah atau mazhab fiqh mereka lebih dekat kepada mazhab imam Hanafi.”
Imam mereka, Zaid bin Ali Zainal abidin merupakan orang yang alim dan mempunyai derajat yang tinggi dalam ilmu Fikih, bahkan Imam Hanafi pernah belajar kepadanya. Akan tetapi, beliau masih belum puas akan hal itu, sehingga beliau kemudian belajar serta mendalami ilmu Ushul kepada Washil bin Ata’ (Pendiri Mazhab Mu’tazilah). Darisinilah yang membikin pemikiran Zaid bin Ali Zainal Abidin tercampur dengan pemikiran Muktazilah.
Dalam konsep imamah, Zaidiyah sangat berbeda dengan Itsna Asyariyah yang mengatakan bahwa imamah harus sesuai dengan nas. Hal ini dikarenakan Zaidiyah tidak mewajibkan imamah secara nas dan hanya terbatas pada setiap keturunan Sayidah Fatimah, baik dari jalur Sayid Hasan ataupun Husain. Mereka hanya menyaratkan alim, pemberani, zuhud, dan Mujtahid.
Selain itu, Syiah Zaidiyah juga terbagi menjadi beberapa golongan:
- Jarudiyah atau Sarhubiyah, adalah para pengikut Abu Jarud Ziyad bin Abu Ziyad. Aliran ini berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad menentukan Sayidina Ali sebagai imam. Menurut mereka seorang imam bisa dipilih lewat sistem musyawarah. Mereka juga meyakini raj’ah para imam, serta menyatakan bahwa Abu bakar, Umar dan sebagian sahabat adalah orang fasiq dan kafir.
- Batriyah dan Shalihiyah, adalah para pengikut Hasan bin Shalih bin Hayy Hamedani dan Abu Ismail bin Nafi’ Nawa’. Golongan ini meyakini bahwa penentuan imam dapat melalui musyawarah. Menurut keyakinan mereka, meskipun ada fadhil (orang yang tingkat keutamaannya lebih tinggi), -dengan keridhaan fadhil- mafdhul (orang yang tingkat keutamaannya lebih rendah) tetap bisa menjadi imam. Golongan ini tidak memberikan komentar tentang iman atau kekafiran Usman bin Affan. Mereka meyakini kewajiban amar makruf dan menentang taqiyah. Fikih yang mereka praktikkan mirip dengan dengan fikih Ahlusunah, dan golongan inilah yang paling dekat dengan Aswaja.
- Sulaimaniyah, adalah para pengikut Sulaiman bin Jarir Raqqi Zaidi. Sulaiman juga tidak meyakini tentang adanya bada’ dan taqiyah. Aliran ini beranggapan bahwa Imam Ali lebih layak jadi imam namun kekhalifahan Abu Bakar dan Umar juga sah, hanya saja umat salah berijtihad. Mereka tidak mengakui kekhalifahan Usman karena menurut mereka Usman h itu fasik dan kafir. mereka juga menganggap Aisyah, Thalhah dan Zubair telah kafir.
Ajaran-ajaran Syiah Zaidiyah:
- Fikih Zaidiyah
Dalam masalah Fikih, konsep yang digunakan oleh Zaidiyah untuk penyimpulan hukum sama seperti mazhab Hanafi, yaitu qiyas. Diantara ajaran mereka adalah pengucapan hayya ‘ala khairil-‘amal, dalam azan, bolehnya mengusap di atas sepatu, menafikan mut’ah, dan bolehnya mengonsumsi hasil sembelihan Ahlul-Kitab. Selain itu, mereka juga mewajibkan amar-makruf dan nahi-mungkar, sehingga mereka menganggap bahwa hijrah dari wilayah yang masyarakatnya gemar bermaksiat terang-terangan ke wilayah yang bersih dari maksiat adalah wajib.
- Akidah Zaidiyah
Akidah Zaidiyah tidaklah berbeda jauh dengan Muktazilah. Hal ini disebabkan oleh imam mereka (Zaid) belajar serta mendalami ilmu Ushul kepada Washil bin Ata’, sebagaimana yang sudah disebutkan di atas. Diantara ajaran-ajaran mereka adalah menyakini bahwa sifat Dzatiyah seperti kodrat, ‘ilmu dan yang lainnya tidak butuh pada sifat ma’ani, dan mereka menganggap bahwa ayat sifat termasuk dari ayat mutasyabih sehingga harus ditakwil oleh mereka. Hal ini sebagainana yang tertera dalam kitab Dirâsah ‘anil-Firâq fî-Târîkhil-Muslimîn (hlm. 263).
Yoseptian Nurdiasyah | Annajahsidogiri.id