Konon, kalau ada yang meninggal dari kalangan orang Hindu, sanak saudara, para keluarga dan para tetangga akan berkumpul di rumah yang berduka cita. Si tuan rumah biasanya menyuguhkan makanan bagi para pelayat yang datang. Selain itu mereka juga meminum tuak yang disediakan tuan rumah atau yang mereka bawa sendiri dari rumah. Selain itu perjudian dan sabung ayam akan mudah ditemukan di dalam perkumpulan itu. Hal seperti itu akan terus mereka lakukan hingga pada hari ke tujuh dari wafatnya mayat.
Singkat cerita, datanglah Walisongo yang membawa misi islamisasi di tanah Nusantara. Cara dakwah mereka adalah santun dan mudah berbaur dengan masyarakat. Sekiranya tradisi yang tidak melanggar syari’at islam mereka biarkan. Tapi jika ada praktik-praktik yang bertentangan dengan hukum islam, mereka akan membrangus habis tanpa sisa.
Oleh karenanya, tradisi masyarakat Hindu yang ikut berbelasungkawa ketika ada yang meninggal tidak serta-merta dihilangkan begitu saja. karena hukum melayat seseorang yang terkena musibah merupakan syari’at islam. Dalam hal ini Rasulullah bersabda:
مَنْ عَزَّى مُصَابًا فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ
“seseorang yang menyambangi orang yang terkena musibah, ia akan medapat pahala sebesar pahala yang terkena musibah”.1
Hanya saja tradisi yang berupa perjudian dan hal munkarat lainnya diganti dengan zikir-zikir dan bacaan ayat-ayat al-Qur’an.
Seiring pesatnya pertumbuhan islam di tanah Nusantara, tradisi tersebut kian melekat di dalam kehidupan masyarakatnya. Kemudian tradisi itu dikenal dengan sebutan tahlilan, sebab porsi kalimat “laa ilaaha illallah” lebih banyak dari pada bacaan yang lain. Tradisi tahlilan ini tetap lestari hingga kini. Terutama di kalangan masyarakat dan Pesantren berbasis NU.
Namun, dalam dasawarsa terakhir, datanglah suatu ajaran yang katanya ingin memurnikan ajaran-ajaran islam dari tradisi-tradisi sesat dan syirik. Ajaran ini dikenal dengan nama Salafi-Wahabi. Mereka dengan mudah mensesatkan bahkan mensyirikkan masyarakat Indonesia yang telah susah payah diislamkan oleh Walisongo.
Kaum Salafi-Wahabi berambisi ingin membumi-hanguskan islamisasi tradisi yang dilakuklan Walisongo, dengan alasan tradisi-tradisi itu tidak ditemukan pada masa Rasulullah dan masa Sahabat. Termasuk tradisi tahlilan tidak luput dari serangan kaum Salafi-Wahabi ini. Mereka berdalih bahwa tradisi tahlilan mencaplok tradisi agama Hindu dan bukan berasal dari ajaran islam. Oleh karena tradisi ini haram dilakukan oleh setiap muslim.
Tahlilan dan Kita
Adalah kesalahan besar apabila menyamaakan tahlilan dengan tradisi masyarakat Hindu sebagaimana tersebut di atas. Perbedaan ini tampak jelas karena dalam tahlilan, terdapat bacaan-bacaan zikir dan ayat suci al-Qur’an dan praktek sedekah yang semuanya adalah syari’at islam. Sedangkan kebiasaan buruk dalam tradisi Hindu seperti perjudian dan semacamnya tidak ditemukan dalam tahlilan. Tahlilan yang isinya jelas baik adalah sebagai pembanding dari tradisi Hindu tersebut. hal ini senada dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud berikut ini:
Rasulullah bersabda: “orang yang berdzikir pada Allah di antara kaum yang lalai kepada-Nya, sederajat dengan orang yang sabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan perang”.2
Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan Ibnu Hibban, Rasulullah memerintahkan para sahabatnya agar berbicara dengan pembicaraan yang baik jika ada orang yang meninggal dunia. Dan praktik hadis ini dapat kita temukan dalam tradisi tahlilan. Hadis tersebut sebagaimana berikut:
إِذَا حَضَرْتُمُ الْمَيِّتَ فَقُولُوا خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ
“Apabila ada yang meninggal dunia di antara kalian, berkatalah dengan perkataan yang baik. Sesungguhnya malaikat ikut mengamini apa yang kalian katakan”.3
Lagi pula, banyak kalangan yang meyakini selamatan sampai tujuh hari bagi yang meninggal bukanllah berasal dari tradisi masyarakat Hindu. Namun tradisi semacam ini telah dikenal pada masa Salafuna as-Salih. Al-lmam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al- Zuhd:
Dari Imam Sufyan bahwa Imam Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan bersedekah makanan untuk keluarga yang meninggal selama tujuh hari tersebut.”
Pendapat ini diperkuat oleh pendapat Imam al-Hafizh as-Suyuthi yang mengatakan bahwa tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah.
Sampai di sini sangat jelas bahwa tradisi tahlilan yang dikenal dan diamalkan oleh masyarakat indonesia tidak boleh disamakan dengan tradisi Hindu yang penuh dengan kemunkaran. Sebab tradisi tahlilan sama-sekali tidak bertentangan dengan syari’at islam. bahkan di dalamnya terdapat praktik sedekah dan bacaan-bacaan yang sangat baik di dalam agama islam. oleh karenanya tradisi baik tersebut harus kita amalkan dan harus kita jaga kelestariannya. Wallahu a’lam.
Baqir Madani/Annajah.co
Catatan Akhir:
- Sunan al-Kubra Lil Baihaki, vol 4/59
- R at-Thabari dalam al-Mu’jamul Kabir
- Sahih Ibnu Hibban, vol 7/274