Islam merupakan agama universal yang mewajibkan kepada umatnya untuk menyebarluaskan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat manusia. Sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, Islam selalu menjaminkan hubungan kedamaian dan kesejahteraan bagi umatnya, baik antara sesama muslim atau dalam skala lebih luas antaragama.
Hingga saat ini, salah satu konsep atau gagasan pemikiran yang ramai diperbincangkan dari berbagai kalangan adalah konsep “pluralisme agama”. Diskursus mengenai pluralisme agama ini mendapat respon yang beragam dan sangat tajam, hal tersebut seiring dengan perkembangan pemahaman keagamaan, serta kekhawatiran berbagai pihak atas keterlibatan yang akan ditimbulkan oleh gagasan tersebut.
Vonis bahaya, sesat dan menyesatkan yang telah dikeluarkan oleh MUI secara jelas tercantum dalam keputusan fatwa MUI Nomor 7/Munas VII/ MUI/11/2005 tanggal 29 Juli 2005, tak mempengaruhi pemahaman sesat ini tersebar luas di dunia maupun di Indonesia.
Secara definisi, pluralisme agama menurut Anis Malik Thoha- seorang tokoh Islam dan akademis Indonesia- adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.
Pengertian di atas benar dan sesuai dengan sejarah munculnya pluralisme itu sendiri pada masa yang disebut abad pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi.
Namun, istilah pluralisme agama akhir-akhir ini sering disalahpahami. Pluralisme agama sering diartikan sebagai asumsi bahwa semua agama memiliki jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Semua agama adalah jalan menuju keselamatan. Perbedaan hanya terletak pada praktik dan zahir agama. Singkatnya, semua agama adalah benar. Pengertian semacam ini memliki makna yang kabur dan tidak berpegang pada suatu dasar apapun.
Di samping itu, wujud tantangan yang sangat jelas dalam paham ini adalah bentuk toleransi untuk memelihara kerukunan hidup antarumat beragama di tengah keragaman yang ada. Dengan menyatakan bahwa semua agama benar, para pengusung pluralisme agama berharap tidak ada lagi agama yang mengklaim sebagai pemilik kebenaran hakiki, sebab pada hakikatnya agama itu merupakan hasil dari berbagai perasaan dan pengalaman keberagamaan manusia, sehingga setiap agama yang ada di dunia ini mengandung kebenaran. Dari sini, maka lahirlah pandangan bahwa kebenaran yang diakui oleh setiap aliran (agama) bersifat relatif, dengan kata lain tidak ada kebenaran tunggal.
Baca Juga: Hakekat Pluralisme
Doktrin relativisme kebenaran semacam ini digunakan oleh tokoh pluralisme terkenal seperti John Hick untuk melebur batas-batas agama. Ia mengklaim bahwa kebenaran itu relatif, yang absolut hanya Tuhan dan manusia tidak pernah mampu memahami Tuhan. Apa yang dipahami manusia mengenai Tuhan hanyalah bersifat relatif. Dan tatkala kebenaran bersifat relatif, maka setiap agama tidak boleh mengklaim bahwa dirinya yang paling benar.
Hal semacam ini malahan akan memunculkan masalah baru, sebab nilai eksklusivitas suatu agama tidak bisa dinafikan. Menanggapi paham ini, Anis Malik Thoha menjelaskan bahwa pluralisme agama adalah “agama baru” oleh karena itu konsep ini sangat berbahaya, dan perlu mendapat perhatian dan kewaspadaan yang ekstra ketat dari seluruh pemeluk tiap-tiap agama di dunia.[1]
Dari kalangan tokoh Katolik, tokoh sekaliber Paus Yohannes Paulus II, telah mengeluarkan sebuah dekrit yang disebut Dekrit Dominus Jesus pada tahun 2000 untuk menolak paham pluralisme agama. Dekrit ini menyatakan secara tegas penolakan Gereja Katolik terhadap paham pluralisme agama, sekaligus mempertegas kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantar keselamatan Tuhan dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus.
Di kalangan umat Hindu juga melakukan perlawanan dan menyatakan bahwa pluralisme agama adalah paham universalisme radikal yang intinya menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Dari sini dipahami bahwa paham ini sejatinya ditolak oleh para penganut agama-agama.
Lantas bagaimana dengan pandangan Islam sendiri? Islam mengakui adanya pluralitas agama, ras dan kultur sebagai kehendak Allah SWT, tapi Islam tidak mengakui pluralisme yang memandang semua agama sama. Hal ini karena terdapat perbedaan fundamental secara teologis antara agama. Islam dengan ajaran tauhidnya hanya mengakui Allah SWT sebagai Tuhan semesta alam. Yahudi mengakui Yahweh sebagai Tuhan khusus dalam agama mereka. Kristen mengimani satu Tuhan namun memiliki tiga unsur; Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Ruh Kudus, atau dikenal dengan Trinitas. Sementara agama non-samawi seperti Hindu, Budha, dan lainnya beriman kepada para-Dewa yang dipercayai.
Perbedaan fundamental tersebut menjadikan Islam tidak mentolerir secara teologis bahwa agama-agama lain sama dengan Islam. Jika pluralisme membenarkan semua agama, Islam tidaklah demikian. Islam menegaskan bahwa ia berbeda dengan agama-agama lain. Bagi Islam, agama yang benar adalah Islam, yang lain tidak. Tidak ada toleransi dalam tataran akidah. Perbedaan ini terlihat dari konsep keselamatan yang ada dalam Islam yang meyakini bahwa barang siapa yang beragama selainnya, maka orang tersebut tidak akan selamat.
“Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima di akhirat dan dia termasuk orang yang rugi”. (QS. Ali Imran: 85).
Mohammad Iklil | Annajahsidogiri.ID
[1] Anis Malik Thoha, “Konsep World Theology dan Global Theology Eksposisi Doktrin Pluralisme Agama, Smith dan Hick” dalam ISLAMIA. Thn. 1 No 4, Januari–Maret, 2005, 59