Ketika membahas taqiyyah, tentu erat kaitannya dengan Syiah. Sebab, Taqiyyah merupakan salah satu konsep keagamaan Syiah. Bahkan, taqiyyah menurut Syiah merupakan salah satu pokok agama yang harus dilakukan. Sehingga, seseorang yang tidak melakukan taqiyah divonis kafir karena dianggap tidak melaksanakan pokok agama. Namun, dalam Ahlusunah sendiri ternyata taqiyyah merupakan sesuatu yang diperbolehkan. Lantas, apa perbedaan antara taqiyyah menurut Syiah dan Ahlusunah?
Taqiyyah Versi Ahlusunah
Dalam Islam, setiap Muslim wajib untuk menampakkan ajaran Islamnya di manapun ia berada. Jika ia tidak bisa melakukan kewajiban ini di tempat ia berada, disebabkan di tempat tersebut terdapat orang kafir, maka kewajiban selanjutnya adalah hijrah ke tempat yang bisa untuk dijadikan ladang menyebarkan ajaran Islam. Namun, jika orang tersebut tidak bisa hijrah karena dicegah oleh orang kafir, dan dia dipaksa untuk masuk ke agamanya. maka boleh baginya untuk mengucapkan kekafiran dengan syarat hatinya tetap beriman kepada Allah ﷻ. Inilah yang disebut dengan taqiyyah yang legal menurut para ulama. Oleh karena itu, taqiyyah hanya boleh ketika darurat saja. Hal ini dijelaskan dalam kitab Mawâlâh wal-Maadâh fis-Syarîat al-Islâmiyah.
Ulama Ahlusunah masih berbeda pendapat mengenai hukum taqiyyah. Menurut sebagian ulama, taqiyyah tidak menjadi bagian dari ushûlud-dîn sebagaimana yang diklaim oleh Syiah. Sahabat Mu‘adz bin Jabal dan Mujahid mengatakan bahwa taqiyyah boleh dilakukan hanya ketika masa rapuhnya Islam; sebelum Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah. Maka dari itu, sebagian ulama salaf berpendapat bahwa pada zaman sekarang, taqiyyah tidak diperbolehkan karena Islam sudah kuat dan tidak lemah seperti zaman dulu.
Dalam memperbolehkan taqiyyah, para ulama berpegangan dengan ayat 16 Surah an-Nahl:
مَنۡ كَفَرَ بِاللّٰهِ مِنۡۢ بَعۡدِ اِيۡمَانِهٖۤ اِلَّا مَنۡ اُكۡرِهَ وَقَلۡبُهٗ مُطۡمَٮِٕنٌّۢ بِالۡاِيۡمَانِ وَلٰـكِنۡ مَّنۡ شَرَحَ بِالۡكُفۡرِ صَدۡرًا فَعَلَيۡهِمۡ غَضَبٌ مِّنَ اللّٰهِۚ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيۡمٌ
Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar. (QS. an-Nahl [16]:106)
Dalam kitab Tafsîr at-Thabarî, Imam at-Thabari menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan manakala sahabat ‘Ammar bin Yasir ditangkap oleh Bani Mughirah. mereka menyiksa beliau habis-habisan dengan membuangnya ke sumur Maimun dan memaksa beliau agar mengkufuri Rasulullah ﷺ. Lantas, dengan keterpaksaan, beliau pun mengikuti keinginan mereka dengan mengatakan bahwa beliau tidak beriman kepada Rasulullah ﷺ. Namun, dalam hatinya beliau tetap beriman kepada Rasulluah ﷺ.
Ayat lain yang menjadi landasan para ulama dalam taqiyyah adalah:
لَّا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكٰفِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَن يَفْعَلْ ذٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِى شَىْءٍ إِلَّآ أَن تَتَّقُوا۟ مِنْهُمْ تُقَىٰةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُۥ ۗ وَإِلَى اللهِ الْمَصِيرُ
Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apapun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah tempat kembali. (Q.S al-Imran [02]:28)
Dalam kitab Mawalah wal-Maadah fis-Syariat al-Islamiyah, dijelaskan bahwa maksud dari ayat ini adalah seseorang yang diselimuti rasa takut terhadap paksaan orang kafir, maka boleh baginya untuk menampakan rasa suka kepada mereka menggunakan lisannya, agar terhindar dari ancaman mereka. Hal tersebut jika dalam hatinya masih beriman kepada Allah ﷻ.
Selain itu, ulama selanjutnya memberikan kriteria taqiyyah yang diperbolehkan, yaitu taqiyyah hanya boleh menggunakan lisan saja, tidak sampai tahap perbuatan. Hal tersebut diterangkan dalam Kitabul-Istida’af wa Ahkamihi fil-Fiqhi al-Islamy.
Taqiyyah Versi Syiah
Berbeda dengan Ahlusunah, Syiah memiliki pandangan sendiri dalam taqiyyah. Salah satunya dalam mendefinisikannya. Taqiyyah menurut Syiah sebagaimana dijelaskan dalam kitab Mustalah fi Kutubil-Aqaid:
أَمَّا التَّقِيَّةُ فِي اصْطِلَاحِ الشِّيعَةِ فَهِيَ كَمَا عَرَفَهَا شَيْخُهُمْ الْمُفِيدُ بِقَوْلِهِ: التَّقِيَّةُ كِتْمَانُ الْحَقِّ، وَسَتْرُ الِاعْتِقَادِ فِيهِ، وَكِتْمَانُ الْمُخَالِفِينَ، وَتَرْكُ مُظَاهَرَتِهِمْ بِمَا يَعْقُبُ ضَرَرًاً فِي الدِّينِ أَوْ الدُّنْيَا
Taqiyyah menurut terminologi Syiah, sebagaimana yang digambarkan oleh guru mereka, Syekh Al-Mufid, adalah menyembunyikan kebenaran, menyembunyikan iktikad, menyembunyikannya dari selain syiah, dan tidak melawan argumen mereka dengan apa yang merugikan agama atau dunia.
Selain itu, Mereka tidak memasukkan taqiyyah dalam kategori Rukhshah sebagaimana Ahlusunah. Justru, mereka menganggap bahwa Taqiyyah merupakan rukun agama yang harus dilakukan oleh seluruh umat Islam di penjuru dunia. Taqiyyah menurut Syiah tak ubahnya shalat yang merupakan suatu kewajiban. Hal tersebut diterangkan langsung oleh Ibnu Babawaih, salah satu imam Syiah, dalam kitab Musthalahat fi Kutubil-Aqaid:
قَالَ إِبْنُ بَابَوَيْهِ: إِعْتِقَادُنَا فِي التَّقِيَّةِ أَنَّهَا وَاجِبَةٌ مَنْ تَرَكَهَا بِمَنْزِلَةِ مَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ
Ibnu Babawaih berkata: Keyakinan kami pada taqiyyah adalah wajib. jika seseorang melalaikannya maka sama halnya dengan orang yang meninggalkan shalat.
Bukan hanya itu, dalam kitab yang sama, Mustholahat fi Kutubil-Aqaid, bahwa ulama menganggap taqiyyah yang dilakukan Syiah hanyalah bentuk kebohongan dan kemunafikan yang di baliknya mereka menyembunyikan keyakinannya, dan inilah gambaran orang-orang munafik yang Allah swt jelaskan gambaran mereka dalam banyak ayat Al-Quran, seperti dalam firman-Nya:
وَإِذَا لَقُواْ الَّذِينَ آمَنُواْ قَالُواْ آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْاْ إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُواْ إِنَّا مَعَكْمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, “Kami telah beriman.” Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, “Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok.”(Q.S al-Baqarah [01]: 14)
Mereka sebenarnya memiliki dalil dalam al-Quran persis seperti dalil yang digunakan Ahlusunah, Yakni surat Al-Imran ayat 28. namun, perbedaanya adalah mereka tidak mengetahui penyebab turunnya ayat tersebut. Padahal, sudah kami jelaskan di atas bahwa ayat ini turun kepada orang mukmin yang merasa takut di hadapan orang kafir. Untuk menjaga diri dari orang kafir, maka boleh bagi orang mukmin tersebut untuk ber-taqiyyah karena darurat.
Di samping itu, Syiah menganggap bahwa taqiyyah tidak hanya dilakukan ketika berpapasan dengan orang kafir saja. Justru, mereka lebih menekankan agar ber-taqiyyah ketika berpapasan dengan umat Muslim lebih-lebih Ahlusunah. Sebagaimana dalam kitab Wasâilusy-Syî‘ah.
Kesimpulannya, terdapat perbedaan yang signifikan antara taqiyyah Syiah dan Ahlusunah. Meskipun Ahlusunah sendiri memperbolehkan taqiyyah, namun taqiyyah yang dimaksud bukanlah seperti yang dikatakan Syiah. Melainkan Taqiyyah yang harus memenuhi hal-hal yang disebutkan di atas. Wallâhu a‘lamu bish-shawâb.
Moh Zaim Rabbani | annajahsidogiri.id