Selanjutnya penulis akan memaparkan contoh kasus yang bisa menvisualisasikan tiga instrumen barusan dan konsepsi teologi al-Asy’ari dalam beberapa subjudul lanjutan, agar mempermudah pembaca untuk menganalisa metodologi yang diaplikasikan oleh al-Asy’ari dalam kajian akidah yang ditulisnya.
1.Afirmasi akan Keberadaan Allah Swt.
Dalam membangun premis akan keberadaan Allah Swt., al-Asy’ari memulai dengan observasi eksperimental yang dilakukannya pada siklus kehidupan yang terjadi pada manusia. Perpindahan fase manusia dari hanya berupa air mani yang bersentuhan dengan ovum dan berinkubasi dalam rahim perempuan, kemudian melahirkan manusia dalam wujud yang sempurna, merupakan bukti bahwa peralihan antar fase pada diri manusia digerakkan oleh Zat Yang Maha Menciptakan. Asy-Syahrastani mengungkapkan teori al-Asy’ari sebagai berikut: “Abul Hasan al-Asy’ari memakai teori (eksistensi Allah Swt. dengan) baharunya manusia dan terbentuknya ia dari setetes air mani, dan perpindahannya dalam masa penciptaan dan perkembangannya. Dan kami tidak ragu bahwa tidak ada yang bisa merubah bentuk manusia, begitu juga kedua orang tuanya, atau tabiat (lingkungan), maka secara pasti (perubahan tersebut) membutuhkan pada Zat Yang Menciptakan, Kadim, dan Kuasa untuk melakukannya.”[1]
Bagi al-Asy’ari, ketidakmampuan manusia untuk mengubah dirinya dari air mani menjadi manusia yang utuh, dan mempercepat atau memperlambat perkembangan dirinya saat fase anak-anak; remaja; hingga dewasa, menunjukkan bahwa adanya kuasa Tuhan yang Zat dan Sifat-Nya berbeda secara keseluruhan dengan manusia. Premis yang dibuat oleh al-Asy’ari tadi, ternyata memiliki kesaamaan prinsip dengan buku Fiqh al-`Akbar, karya yang dinisbatkan kepada Imam asy-Syafi—terlepas absah dan tidaknya statement tersebut[2]—dan bisa dipersepsikan jika al-Asy’ari mengadopsi teori keberadaan Allah Swt. dari karya asy-Syafi’i. Dia berkata: “Ketahuilah kalian semua! Bahwa Zat Yang Menciptakan alam semesta adalah Allah Swt., dalil yang menunjukkan hal tersebut telah ditetapkan sejak awal oleh pikiran, bahwa manusia meski sempurna bentuknya, tajam pikirannya, dan memiliki kemampuan, dia tidak mampu menciptakan indera pendengar dan penglihat bagi dirinya; atau dia tidak kuasa untuk mengembalikan anggota tubuhnya yang terputus, baik ketika dia sendiri, atau melalui bantuan manusia lain yang seepertinya.”[3]
2.Monoteisme atas Allah Swt.
Sikap untuk mengesakan Allah Swt., al-Asy’ari memakai teori tamânu’ (antitesis atau bertolak belakang, red), yaitu jika entitas Allah Swt. tidak tunggal, niscaya ciptaan yang dihasilkan oleh-Nya tidak mungkin simetris dan tidak seimbang, bahkan bisa jadi tidak ada yang bisa diciptakan. Namun kenyataan yang terjadi di alam semesta bertolak belakang dengan pengandaian entitas Tuhan itu dua. Karena jika dianalisa lebih jauh, andai saja Tuhan itu berwujud dua, akan dipastikan berimplikasi pada tiga kesimpulan. Pertama, jika subtansi dua Tuhan itu berbentuk layaknya makhluk, meski dengan bentuk yang berbeda, bisa jadi suatu waktu keduanya berkehendak untuk diam dan bergerak dalam keadaan yang sama. Demikian ini mustahil terjadi, sebab secara kausalitas gerak dan diam tidak mungkin terjadi secara bersamaan. Kedua, tidak terlaksananya kehendak dari keduanya, baik karena salah satunya tidak mampu mewujudkan atau menciptakan, atau karena terbatasnya kemampuan yang lain. Ini juga tidak mungkin terjadi, sebab Tuhan harus kuasa untuk menghadirkan kehendaknya. Ketiga, atau salah satu dari keduanya bisa memenuhi kehendaknya, sedangkan yang kedua tidak mampu.
Baca Juga: Telisik Prisma Berpikir Teologi Imam Al-Asy’ari (Bagian I)
Maka eksistensi ketuhanan bagi yang kedua hilang dengan sendirinya, sebab dia tidak mampu menciptakan apa yang dikehendaki. Selain memakai penalaran logika dalam mengukuhkan sikap monoteismenya, al-Asy’ari juga memakai ayat Alquran yang berbunyi: “Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Mahasuci Allah yang memiliki ‘Arsy, dari apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al-Anbiya`: 22). Dan ayat: “Katakanlah (Muhammad), “Jika ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagai-mana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai ’Arsy.” (QS. Al-Isra`: 42).[4]
Deduksi yang bisa diambil oleh penulis mengenai konseptualisasi teologi al-Asy’ari, adalah mengaplikasikan tiga instrumen sumber pengetahuan tersebut secara proporsional, guna menghasilkan metodologi yang moderat dalam berideologi dan berteologi. Sebab itulah spirit yang digaungkan oleh al-Asy’ari sejak pertama kali dia memproklamirkan mazhab baru yang dianutnya. Karena jika tidak demikian, maka sikap yang ekstrim dalam beragama akan tetap terjadi, baik yang berbentuk literal-tekstualis ataupun yang pure reason (akal murni, red), sehingga persatuan dan majunya peradaban umat Islam bisa terjadi.
Ahmad Ilham Zamzami | Annajahsidogiri.id
[1] Abdul Karim asy-Syahrastani, Nihâyah al-`Iqdâm, Kairo: Maktabah ats-Tsaqafah ad-Diniyah, 2009, hlm. 9.
[2] Untuk mengetahui lebih jelas kebenaran kitab tersebut dinisbatkan kepada asy-Syafi’i, bisa dilihat dalam Nasy’ah al-`Asy’ariyah wa Tathawwuruhâ, hlm. 212-213.
[3] Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Fiqh al-Akbar, hlm. 8.
[4] Op. Cit, Nasy’ah al-`Asy’ariyah wa Tathawwuruhâ, hlm. 213-214.