Identifikasi terhadap konseptualisasi al-Asy’ari dapat dianalisa dengan cermat dalam buku-buku magnum opus-nya, seperti al-`Ibânah fî `Ushûl ad-Diyânah, al-Luma’ fî Radd ‘alâ `Ahli az-Zaygi wa al-Bida’, `Istihsân al-Khawdl fî ‘Ilm al-Kalâm, dan Maqâlât al-`Islâmiyyîn wa `Ikhtilâf al-Mushallîn. Dengan tasyrih yang lengkap, pembaca akan mendapati bahwa yang dominan buku-buku al-Asy’ari berbentuk konfrontatif-ofensif pada lawan teologinya, secara spesifik dilakukannya kepada Muktazilah dengan mengejewantahkan teori dan aksioma mereka, baru mendiskusikan dan mengkritiknya. Sikap yang semacam ini perlu dilakukan olehnya, untuk mempertegas sisi diferensial metodologi dan konklusi mazhabnya yang baru dengan pihak lain. Afirmasi mazhabnya tidak hanya yang tertulis dalam kitab-kitab bermuatan akidah, namun juga dalam buku tafsir yang ditulisnya, Tafsîr al-Qur`ân wa ar-Radd ‘alâ Man Khâlafa al-Bayân min `Ahli al-`Ifk wa al-Buhtân.[1]
Baca Juga: Akar Pluralisme Agama: Justifikasi Spekulatif Demi Tujuan Utopis (#4)
Pertama kali yang dilakukan al-Asy’ari dalam al-`Ibânah, memperjelas posisi mazhab barunya sebagai representasi dari Ahlusunah wal Jama’ah, sebelum dia mendeskripsikan lebih jauh paradigmanya. Untuk itu dalam bab bab awal al-`Ibânah-nya, al-Asy’ari menyebutkan bahwa Imam Ahmad bin Hambal sebagai imam panutan Ahlusunah wal Jama’ah. Dialah yang berkonstribusi besar bagi keberlangsungan mazhab Ahlusunah wal Jama’ah di masa inkuisisi Dinasti Abbasiah, era Khalifah al-Makmun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq.[2] Sehingga dengan menyebut Ibn Hambal, secara otomatis ulama dan masyarakat kal itu mengetahui pihak yang didukung oleh al-Asy’ari.
Sebab Ibn Hambal adalah tokoh sentral Ahlusunah di kurun pertengahan awal abad ketiga hijriah. Di buku ini, al-Asy’ari tidak berbincang soal konsepsi ikhtiyar dan perbuatan makhluk. Dia berkonsentrasi pada persoalan kemungkinan melihat Allah Swt. di akhirat dan objek yang berhubungan dengan Zat Allah Swt. dan eskatologi, seperti interpretasi kata istiwâ` (bersemayam, red), yad (tangan, red), wajh (wajah, red), hawdl (telaga, red), mîzân (timbangan amal, red), dan shîrâth (titian lurus, red). Dua objek kajian yang juga mendapatkan perhatian lebih dari al-Asy’ari, adalah perdebatan mengenai Alquran bukan makhluk dan dimungkinkan untuk melihat Allah Swt., yang menjadi musabab Ibn Hambal menerima agitasi ideologi dan persikusi dari tiga khalifah sebelum al-Mutawakkil. Oleh karenanya untuk menggiring opini masyarakat pada isu-isu krusial yang masih memiliki social impacts and teologies, apa yang dilakukan oleh al-Asy’ari dalam al-`Ibânah adalah langkah yang tepat waktu itu.[3]
Penjelasan barusan menyimpulkan bahwa pendapat yang benar al-`Ibânah buku yang pertama kali ditulis oleh al-Asy’ari di masa transisi, itu dilihat dari narasi yang ditulis olehnya lebih mengarah pada isu-isu krusial dan bertaut kelindan dengan yang dihadapi oleh Ibn Hambal di zaman fitnah khalq al-Qur`ân. Sedangkan al-Luma’ ditulis olehnya di masa kematangan intelektual dalam konseptualisasi teologinya yang baru. Di antara premis yang dibuat oleh Jalal Musa, adalah isi bahasan dalam al-Luma’ memuat soal konsepsi perbuatan makhluk dan metode untuk menyucikan Allah Swt. dari syubhat-syubhat yang mempersepsikan-Nya sebagai entitas yang sama dengan makhluk-Nya. Tentu dalam mengkajinya tidak cukup hanya dengan dalil nas Alquran dan Hadis, tapi juga diperlukan nalar logis untuk melakukan tanzîh (menyucikan Zat Allah Swt., red).
Premis selanjutnya dia mengkritisi pendapat orientalis seperti Ignác Goldziher dan Duncan Black MacDonald, yang menyebutkan al-`Ibânah ditulis lebih akhir dari al-Luma’. Jalal Musa mengutip penelitian Hamudah Gharabah yang mempersepsikan bahwa postulat-postulat yang dibangun oleh kedua orientalis itu tidak benar, sebab alibi keduanya mengatakan bahwa penetepan kata istiwâ`, yad, dan wajh dalam al-`Ibânah dikarenakan pertemuan al-`Asy’ari di akhir hayatnya dengan utusan ulama Hanabilah.[4]
Postulat ini tidak dibenarkan, sebab akan mereduksi bangunan teologi al-Asy’ari yang memang mengamini istiwâ`, yad, dan wajh bagi Allah Swt., namun tanpa mendeskripsikannya seperti yang dilakukan oleh Hanabilah ekstrim sepeninggal Ibn Hambal. Deskripsi yang dimaksud ialah meyakini Allah Swt. memiliki tangan dan wajah namun berbeda dengan yang ada di makhluk-Nya. Al-Asy’ari sendiri tidak sampai bertindak seperti itu, cukup dengan menyerahkan makna tiga redaksi tersebut kepada Allah Swt.[5]
Ahmad Ilham Zamzami | Annajahsidogiri.id
[1] Bagi Fawqiah Husain Mahmud, judul yang tepat hanya “Tafsîr al-Qur`ân”. Namun Richard Joseph McCarthy menambahkannya dengan Tafsîr al-Qur`ân wa ar-Radd ‘alâ Man Khâlafa al-Bayân min `Ahli al-`Ifk wa al-Buhtân, landasannya dengan apa yang disebutkan oleh Ibn ‘Asakir dalam Tabyîn Kidzb al-Muftarî. Tafsir ini didedikasikannya untuk mengkritik takwil dalam penafsiran Alquran oleh Ali al-Jubba’i dan al-Balkhi. Lihat, op. Cit, pengantar al-`Ibânah ‘an `Ushûl ad-Diyânah, hlm. 59.
[2] Op. Cit, al-`Ibânah ‘an `Ushûl ad-Diyânah, hlm. 20-21.
[3] Op. Cit, Nasy`ah al-`Asy’ariah wa Tathawwuruhâ, hlm. 210.
[4] Op. Cit, `Abû al-Hasan al-`Asy’ari, hlm. 132-133.
[5] Op. Cit, Nasy`ah al-`Asy’ariah wa Tathawwuruhâ, hlm. 210-211.