Adalah fakta sejarah bahwa revolusi ilmu pengetahuan mengalami perkembangan di barat, bukan di dunia Muslim.
Perves Amrali Hoodbhoy, salah satu ilmuwan barat yang sering menggaungkan kritikan tak terbantahkan tentang kegagalan revolusi sains terjadi di dunia Muslim, dia beranggapan doktrin fatalisme yang diajarkan Islam lah yang menjadi dalang di baliknya. Sebab masyarakat yang berorientasi pada doktrin fatalisme, atau seorang yang terlalu diintervensi oleh tuhan yang menjadi entitas di balik konsep sebab-akibat akan menghasilkan individu-individu yang kurang tertarik untuk menyelidiki hal-hal yang tidak diketahui dengan piranti sains.[1] Dengan doktrin ini, ketika terjadi suatu hal yang tidak mereka ketahui, seperti sebab turunnya hujan, terjadinya gempa bumi, dan lain sebagainya, mereka langsung mengatakan bahwa tuhanlah yang menyebabkan hal itu terjadi, tanpa melakukan penelitian terhadap kejadian tersebut.
Benarkah teologi Islam dalang di balik kegagalan revolusi sains di dunia Muslim?
Tentu, tuduhan teologi Islam sebagai dalang di balik kegagalan revolusi sains di dunia Muslim tidak benar adanya. Sebab di sisi lain ajarannya, Islam menyerukan kepada penganutnya untuk mengobservasi alam serta merefleksikannya. Sebagaimana surah Al-Ghasyiyah [17-20] yang menyiratkan seruan untuk bertafakur dan mengobservasi alam yang merupakan ciptaan Allah ﷻ.
Hingga, dengan seruan ini banyak bermunculan ilmuan Muslim yang melakukan peneiltian alam dalam berbagai bidang.
Dalam bidang astronomi terdapat al-Farazi, merupakan astronom Muslim pertama dengan penemuan Astrolabenya yang digunakan sebagai alat penunjuk waktu berdasarkan posisi Matahari[2], al-Battani, ilmuwan yang memiliki banyak penemuan dalam bidang astronomi yang lebih akurat daripada Plotemy (pakar astronom Yunani) yang ketika itu mendominasi, juga terdapat al-Zarkali, al-Farghani, Tabit bin Qurra, dan masih banyak lagi dengan penemuan spektakuler masing-masing.
Baca Juga; Nabi Muhammmad ﷺ Seorang Tokoh Pluralisme?
Dalam matematika terdapat al-Khawarizmi (835 M) yang dijuluki bapak al-Jabar dunia, Abu Wafa al Bawzajani (w. 998 M) Salah seorang ahli matematika Muslim terbesar. Ia dikenal sebagai ahli astronomi dan pengembang trigonometri (ilmu ukur sudut), dan orang pertama yang mengajukan beberapa rumus penting dalam trigonometri. Salah satu rumus yang didedikasikan kepadanya adalah Cos C= Cos a.cos b. juga Abu Nasr Mansur (w.1039 M) seorang ahli matematika asal Persia yang diyakini sebagai salah seorang penemu hukum sinus, dan masih banyak lagi.[3]
Dalam ilmu kimia, di situ ada Muhammad ibnu Zakariya ar-Razi: Ar-Razi (w. 925 M) yang berjasa saat revolusi kimia, Jabir bin Hayyan (w.815 M) sang pengembang ilmiah dua operasi utama kimia, yaitu kalnikasi dan reduksi kimia. Ia juga memperbaiki metode penguapan, sublimasi, peleburan, dan kristalisasi. Ibnu Sina (w. 1037), Penemu manfaat etanol. Juga Abbas ibn Firnas (w. 887 M) Pencipta ide terbang pertama di dunia dan masih banyak lagi.[4]
Dalam fisika Islam mempunyai Al-Haitham (w.1040) yang dijuluki sebagai bapak optik dan peneliti cahaya. Abdurrahman Al-Khazini (1039 M) penemu jam air sebagai alat pengukur waktu. Abu Rayhan al-Biruni, penemu persamaan sinus, juga Abdurrahman Al-Jazari, ahli mekanik (ahli mesin) yang hidup tahun 1.100 M, membuat mesin penggilingan, jam air, pompa hidrolik dan mesin-mesin otomatis yang menggunakan air sebagai penggeraknya.
Selain membantah tuduhan Amrali, fakta banyaknya ilmuwan Muslim dalam bidang sains sekaligus membuktikan bahwa penemuan-penemuan ilmiah, eksperimen dan teori yang pernah dilakukan Muslim sangatlah luas. Kajian mereka tentang sains amatlah komprehensif untuk mendukung lahirnya revolusi ilmu pengetahuan di dunia Muslim.
Lantas apa penyebab yang merintangi lahirnya revolusi sains di dunia Muslim?
Dr. Umar A.M Kasule salah satu aktivis Insist dan direktur program pascasarjana dan Dosen fakultas studi Islam dan bahasa arab, Universitas Islam Uganda dalam salah satu artikelnya mengatakan terdapat dua faktor yang merintangi lahirnya revolusi sains di dunia Muslim.
- Faktor eksternal
Dua invasi yang berdampak permusuhan telah dilakukan terhadap dunia Muslim, yakni invasi Mongolia dan kaum Salib. Bangsa Mongolia terkenal dangan kebiadabannya dalam meninvasi suatu daerah. Mereka adalah penyamun kota dan dalang di balik lululantahnya berbagai peradaban yang telah lama kokoh, mulai dari Cina hingga Eropa, yang kemudian menyerang timur tengah dan menguasainya selama setengah abad. Selain melakukan teror terhadap masyarakat, mereka juga aktif menghancurkan struktur-struktur penting yang merupakan hasil sains yang agung.
Baca Juga; Membongkar Mitos: Al-Ghazali dan Klaim Kemunduran Sains Islam (2/2)
Selain itu, mereka adalah bangsa nomaden. Di manapun mereka berpindah, mereka selalu membawa kuda dan keledai yang tidak diberi makan dengan makanan ternak, tapi digembalakan di padang rumput. Akibatnya bangsa Mongol tidak bisa jauh dari daerah pinggiran ketika menaklukkan kota manapun. Maka dari itu mereka tidak segan melenyapkan penduduk yang sudah terbiasa dengan pertanian, di mana kota, tempat kerja sains bergantung hidup padanya.
Selain itu invasi Mongolia yang penuh dengan teror telah melepaskan ikatan masyarakat Muslim dengan segala bentuknya untuk memperlambat semua formalitas peradaban termasuk perkembangan sains. tidak hanya pusat-pusat studi yang dirusak dan para ilmuannya yang dibunuh. Tapi juga semua tempat yang nyaman untuk penciptaan sains diganggu dengan hebatnya.
Hal serupa juga dilakukan oleh pasukan Salib ketika merebut Jerussalem dari tangan Muslim, mereka menjarah kota-kota Muslim, membunuh penduduknya, kemudian mengganggu ketenangan-ketenangan yang kondusif bagi perkembangan sains.
- Faktor internal
Sisi internal yang paling rasional atas kemandekan sains di dunia Muslim adalah kegagalan pemimpin memanfaatkan dan mengkoordinasikan disiplin ilmu sains. Semenjak awal, filosof dan ilmuwan sains Muslim sangat independen tanpa bantuan yang memadai dari khalifah. Bayt al-Hikmah yang didirikan khalifah Al-Ma’mun sekitar tahun 200 H/815 M, di mana di dalamnya terdapat perpustakaan dan observatorium adalah permulaan yang baik, namun tidak diteruskan oleh khalifah selanjutnya.
Di samping itu, Bayt al-Hikmah lebih merupakan pusat riset dari pada institusi pengajaran. Walaupun banyak pusat-pusat kajian yang dijumpai di dunia Muslim, seperti; Dar at-Ta’zim di Kairo (395H/1005 M), Nizam al-Mulk di Baghdad (459 H/1067 M) dan madrasah Granada (750 H/ 1349 M), tapi semua institusi ini tidak memperhatikan filsafat natural dan ilmu pasti secara murni. Hal ini berakibat pada kegagalan melembagakan filsafat natural dan sains. Filosof natural dan ilmuwan sains Muslim tampak sebagai individu-individu terpisah dan sebagai satu badan yang terorganisir. Mereka mempelajari filsafat secara privat dan walaupun bertugas di istana khalifah, mereka jarang didukung dengan kebijakan pemerintah untuk mengajar filsafat natural dan sains di Madaris. Ilmuwan lain yang tidak ada koneksi dengan kerajaan, mereka bebas mengajarkan ilmu mereka secara independen di mana murid datang seorang diri untuk mendapatkan pengajaran dari sang guru hingga tamat yang kemudian mendapat ijazah yang menjadi lisensi murid untuk mengajarkan pada orang lain apa yang diajarkan oleh gurunya.
Baca Juga; Membongkar Mitos: Al-Ghazali dan Klaim Kemunduran Sains Islam (1/2)
Pendidikan seperti ini memiliki keterbatasan tersendiri. Guru terbatas dengan idenya sendiri sementara murid hanya memiliki akses ide gurunya saja. Diskusi antar murid hampir tidak tercipta di sini. Sebab kondisi ini hanya dapat tercipta jika sebuah institusi akademi dan universitas didirikan. Dengan akademi murid akan terekspos oleh disiplin ilmu yang bermacam-macam dan oleh guru yang beragam, dengan cara sistematis yang memakai prosedur dan standar tertentu dilalui oleh murid sampai tamat masa belajarnya. Dalam kerangka seperti inilah sains diinstitusionalisasikan dalam rangka memenuhi penelitian sains yang terorganisasi sehingga berkembang menjadi revolusi sains.
Jadi, menurutnya, bukanlah tabiat Islam yang menyebabkan kegagalan terjadinya revolusi sains di dunia Muslim. Tapi lebih disebabkan oleh masalah dalam pengkoordiniran yang dibersamai dengan invasi Mongolia dan kaum Salib yang telah dijelaskan diatas. Siapa tahu, andai dua bangsa biadab itu tidak menghancurkan lahan-lahan kaum Muslim, maka pendirian institusi-institusi terorganisir yang dapat membuka gerbang terjadinya revolusi sains di dunia Muslim mungkin terealisasikan.[5]
Muhammad Aminulloh | Annajahsidogiri.id
[1]Dr. Umar A.M Kasule, Kenapa revolusi ilmu pengetahuan terjadi di Barat bukan didunia Muslim, ISLAM IA Thn 1, oktober-november hal.81
[2] https://kumparan.com/berita-hari-ini/5-ilmuwan-Muslim-di-bidang-astronomi-ada-al-fazari-hingga-al-battani-21aymKc0vey
[3] https://math.uin-suska.ac.id/tokoh-ilmuwan-matematika-dalam-peradaban-Islam /
[4] https://prismacendekia.id/mengenal-tokoh-Islam -di-bidang-kimia/
[5] Dr. Umar A.M Kasule, Kenapa revolusi ilmu pengetahuan terjadi di Barat bukan didunia Muslim, ISLAM IA Thn 1, oktober-november hal. 86































































