Bagaimana perkembangan singkat dari empat mazhab tersebut?
Mazhab Hanafi adalah mazhab fikih tertua yang berkembang hingga kini. Menurut para sejarawan, mazhab ini tersebar luas berkat jasa Imam Abu Yusuf (113182 H/731-797 M), murid senior Imam Abu Hanifah, yang memangku jabatan hakim agung pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid (149-193 H/766-809 M) dan dua Khalifah sebelumnya. Hafizh al-Khathib al-Baghdadi (392-463 H/1002-1072 M) berkata: “Abu Yusuf, adalah murid Abu Hanifah, fakih terhebat pada masanya, orang pertama yang menulis kitab-kitab ushul fiqih berdasarkan mazhab Abu Hanifah, mendiktekan dan menyebarkan sekian banyak masalah fiqih, dan menyebarkan ilmu Abu Hanifah di banyak daerah.”
Mazhab Maliki diakui oleh para sejarawan sebagai mazhab fikih yang berkembang dan tersebar luas pada masa Imam Malik, pendiri mazhab. Mazhab Maliki dapat mendominasi negeri Mesir pada masa Malik. Menurut sebagian sejarawan, orang pertama yang menyebarkan madzhab Imam Malik di Mesir adalah Abdurrahman ibn al-Qasim (w. 191 H/764 M), dan ada pula yang mengatakan Utsman ibn al-Hakam al-Judzami (w. 163 H/869 M). Sedangkan tersebarluasnya mazhab Maliki di Andalusia berkat jasa ‘Isa ibn Dinar al-Andalusi (w. 212 H/827 M) dan Yahya ibn Yahya al-Laitsi (161-234 H/778-849 M).
Mazhab Syafi’i adalah madzhab fikih terbesar yang diikuti oleh mayoritas Ahlusunah Waljamaah. Mazhab ini tersebar pada masa Imam Syafii, dengan banyaknya para ulama yang belajar kepada beliau dan menyebarluaskan ilmunya kepada masyarakat. Al-Hafiz Muhammad ibn Abdurahman Sakhawi (w. 902 H/1492 M) berkata: “Sesungguhnya Al-Hafiz Abdullah ibn Muhammad ibn Isa al-Marwazi (w. 293 H/906 M) yang menyebarkan mazhab Syafii di Marwa dan Khurasan setelah sebelumnya disebarkan oleh Ahmad ibn Sayyar (w. 268 H/980 M). Sedangkan al-Hafizh Abu Awanah (w. 316 H/929 M) adalah orang pertama yang membawa mazhab Syafii dan karangan-karangannya ke Asfarayin.”
Mazhab Hanbali adalah mazhab fikih yang paling sedikit pengikutnya. Sedikitnya pengikut mazhab Hanbali ini disebabkan lahirnya mazhab ini setelah mazhab-mazhab besar lainnya terutama Hanafi, Maliki dan Syafii membumi dan tersosialisasi secara luas di kalangan masyarakat. Namun demikian, melalui murid-murid Imam Ahmad yang setia menyebarkan mazhabnya, seperti Abu Bakar al-Marwazi (w. 275 H/898 M), Abdul Malik Al-Maimuni (w. 274 H/897 M) Ibrahim ibn Ishaq al-Harbi (198-285 H/813-898 M) dan lain-lain, mazhab Hambali dapat berkembang dan eksis hingga kini.
Berdasarkan pemaparan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa tradisi bermazhab dengan mazhab-mazhab Fikih yang ada telah berlangsung sejak generasi salaf, bahkan sejak para imam mujtahid yang bersangkutan masih hidup, sebagaimana dapat dibaca dalam sejarah perkembangan mazhab-mazhab Fikih di atas. Dan bahwa tradisi bermazhab bukanlah dibuat oleh kalangan awam yang melakukan taklid untuk diri mereka sebagaimana asumsi sebagian kalangan. Bahkan disamping sebagai keniscayaan dari kondisi sosial umat Islam yang secara faktual sebagian besar tidak dapat melakukan ijtihad, tradisi bermazhab juga disebarkan oleh para ulama besar yang juga telah mencapai derajat mujtahid dan berguru secara langsung kepada para imam mujtahid yang bersangkutan. Oleh karena pengkafiran terhadap para pengikut mazhab seperti yang dilakukan oleh Mahrus Ali dan Mu’ammal Hamidy, berarti pengafiran terhadap kaum Muslimin sejak generasi salaf.
Mengapa harus mengikuti empat mazhab?
Empat mazhab ini memang mazhab yang mu’tabarah. Karena, pandangan-pandangannya sudah dikodifikasikan secara rapi dan dapat dikonfirmasi walaupun tidak langsung dari tangan-tangan pencetus mazhab tersebut. Karena bisa jadi mereka tidak ingin membangun mazhab. Akan tetapi karena diikuti dan banyak murid, serta metodologinya jelas bisa dilihat dan terbukukan dengan baik sehingga mazhab-mazhab ini ditetapkan dan diakui sebagai sebuah mazhab.
Bolehkah mengikuti selain mazhab yang empat?
Selain dari mazhab empat itu tidak terkodifikasikan dan terstruktur dengan baik bagaimana metode istinbat yang nantinya bisa kita lakukan untuk penelitian dan pengkajian hingga saat ini. Atau paling tidak menegerti cara beristinbat yang dilakukan oleh paran ahlinya, meskipun para pengkaji tersebut tidak sampai pada derajat berijtihad. Maka dari itu, selain mazhab empat tersebut tidak masuk pada kategori yang diakui dalam mazhab Ahlusunah Waljamaah.
Di satu sisi, mengikuti salah satu di antara mazhab yang empat menjadi suatu keharusan bagi kaum muslimin. Akan tetapi di sisi lain, kita dapati bahwa di antara mazhab-mazhab yang empat tersebut terjadi sekian banyak perbedaan pendapat. Bagaimana pendapat Kiai?
Persoalannya adalah, “Apakah dengan terjadinya sekian banyak perbedaan pendapat, bukan berarti keberadaan mazhab yang empat tersebut akan menjadi malapetaka bagi kaum Muslimin yang akan menyebabkan timbulnya perpecahan di antara mereka, sehingga pada akhirnya kita perlu mengikuti himbauan sebagian kalangan yang menyerukan penyatuan mazhab fiqih dalam Islam dan melepaskan baju bermazhab dari tengah-tengah kehidupan kaum muslimin?” Demikian pertanyaan yang tidak jarang kita dengar akhir-akhir ini.
Perbedaan pendapat di antara mazhab Fikih yang empat memang banyak sekali terjadi dan menjadi realitas sejarah yang tidak dapat kita pungkiri. Akan tetapi apabila dicermati, perbedaan pendapat tersebut bukankah unsur kekurangan dan sumber malapetaka bagi kaum muslimin. Bahkan sebaliknya, perbedaan pendapat tersebut termasuk unsur kesempurnaan syariah Islam dan menjadi rahmat bagi kaum muslimin. Hal ini setidaknya dapat dilihat dengan memperhatikan dalil-dalil yang mengakui eksistensi perbedaan pendapat di kalangan mujtahid serta hikmah yang tersimpan dibalik perbedaan tersebut.
Dampak jika tidak mengikuti mazhab secara umum?
Sebenarnya, tidak ada orang yang tidak terpengaruh dengan pemikiran orang sebelumnya. Jadi, ketika orang sekarang ini mengatakan tidak bermazhab dan mengajak orang agar tidak bermazhab, sebetulnya dia mengajak orang lain untuk bermazhab kepada mazhabnya dia. Syekh Ramdhan al-Buthi mengatakan bahwa alla mazhabiyah fîl-Islam itu sesuatu yang sangat menghawatirkan, karena tidak adanya metode baku yang kemudian diikuti dan ditetapkan. Apalagi kemudian mencampur terhadap pendapat-pendapat dan mengambil yang termudah dari mazhab-mazhab tersebut. Sehingga, menghasilkan suatu konklusi bahwa apa yang kita kerjakan tidak benar menurut siapapun.
Pesan Kiai untuk kaum muslim yang bermazhab?
Tekuni dan kaji secara mendalam. Jangan hanya kita menerima pandangan para imam mazhab, tetapi kita juga bisa menggunakan nalar kritis kita untuk melihat secara lebih jauh dan detail dari istinbat hukum yang keluar dari pandangan imam mazhab tersebut. Ikutilah anjuran bermazhab secara proporsional ala Nahdatul ulama, yakni sikap pertengahan antara taklid buta dan ijtihad membabi buta.
Mohmmad Iklil | Annajahsidogiri.id