Allah telah menjanjikan kecukupan bagi hambanya yang bertawakal dan memasrahkan urusannya kepada Allah. Tak terhitung jumlah nas yang menjelaskan keutamaan bertawakal kepada Allah baik dari al-Qur’an maupun hadis. Sebagiamana firman Allah dalam surah at-Talaq:
وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Dan Dia memberi hamba-Nya rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu” (QS: at-Talaq: 3)
Tawakal merupakan buah keimanan, orang yang beriman terhadap Allah dan seluruh sifat-sifat kesempurnaan-Nya pasti akan memasrahkan segala urusannya kepada Allah, karena itulah Allah memerintahkan dan mengaitkan tawakal dengan iman dalam firmannya surah al-Maidah:
وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوْٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
“Dan bertawakallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang beriman.” (QS: al-Maidah:23).
Sayangnya, tak jarang orang yang salah dalam memahami esensi tawakal. Mereka menyangka bahwa tawakal berarti pasrah penuh terhadap ketetapan Allah tanpa adanya amal dan usaha. Mereka memandang bahwa tawakal dan usaha (amal) adalah dua kubu berbeda yang bertentangan, sehingga jika melakukan salah satunya harus meninggalkan yang lain. Tak heran jika ada orang yang tidak mau melakukan usaha dengan dalih tawakal.
Maka dari itu penting rasanya bagi kita membahas apa sebenarnya esensi tawakal, agar kita tidak salah dalam memahaminya.
Takrif Tawakal
Ibnu ‘Ajibah dalam Mi’rajut-Taswauf menjelaskan definisi dari tawakal. Beliau menjelaskan;
“Tawakal adalah mantapnya hati kepada Allah, hingga hati tidak bergantung terhadap apapun selainnya.” (Mi’rajut-Taswauf, hal. 8).
Definisi yang sama juga dipaparkan oleh Abu Said al-Kharraz dalam kitabnya at-Tarik ilallah, sebagaimana pemaparan beliau;
“Tawakal adalah percaya dan bersandar kepada Allah dalam segala hal yang sudah ditanggung oleh-Nya, serta tidak susah dalam urusan dunia dan rezeki yang telah Dia tetapkan.“ (At-Tarik Ilallah, hal. 56 ).
Dari definisi ini kita tahu bahwa tawakal merupakan pekerjaan hati, sedangkan usaha dan amal adalah pekerjaan tubuh. Tidak ada pertentangan antara keduanya, bahkan sama-sama diperintah oleh Allah. Orang yang sakit misalnya, dengan bertawakal bukan berarti dia tidak berobat, karena Allah sendiri yang memerintahkan untuk berusaha mencari kesembuhan dengan berobat. Maksud dari tawakal adalah ia memasrahkan urusan kesembuhannya kepada Allah setelah berusaha berobat serta tidak menggantungkan kesembuhannya terhadap obat.
Antara Tawakal dengan Ikhtiyar (Usaha)
Al-Qusyairi seorang pemuka sufi memberikan penjelasan bahwa tawakal tidak kemudian menafikan usaha, hal ini bisa kita lihat dari keterangan beliau dalam kitab ar-Risalah al-Qusyairiyah,
وَاعْلَمْ أَنَّ التَّوَكُّلَ مَحَلُّهُ القَلْبُ وَالحَرَكَةُ بِالظَّاهِرِ لاَ تُنَافِي التَّوَكُّلَ بِالقَلْبِ بَعْدَ مَا تَحَقَّقَ العَبْدُ أَنَّ التَّقْدِيْرِ مِنْ قِبَلِ اللهِ وَإِنْ تَعثر شَيْئٌ فَبِتَقْدِيْرِهِ وَإِنْ اِتَّفَقَ شَيْئٌ فَبِتَيْسِيْرِهِ
“Ketahuilah bahwa tawakal bertempat dalam hati, dan usaha lahiriah tidaklah merusak sifat tawakal dalam hati selama sang hamba meyakini bahwa takdir datang dari sisi Allah. Apabila suatu perkara terasa sulit maka hal tersebut datang dari takdir Allah. Apabila suatu perkara selaras dengan keinginannya maka hal tersebut datang dari pertolongan Allah.”
Kita juga bisa mengambil pelajaran dari sebuah kisah yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi dalam kitab Sifatul-Kiyamah bahwa ada seseorang datang kepada Rasulullah dengan membawa unta, lalu ia bertanya kepada Nabi, “Bagaimana jika aku lepaskan untaku dan bertawakal?” Rasulullah pun menjawab, “Ikat dulu untamu dan bertawakal.”
Dari cerita di atas kita bisa memahami bahwa Rasulullah memerintahkan untuk melakukan usaha lahiriyah terlebih dahulu, dan hasilnya kita pasrahkan kepada Allah. Begitulah tawakal yang diajarkan Nabi. Jadi sudah jelas tidak ada pertentangan antara usaha dan tawakal, bahkan keduanya bisa kita laksanakan secara bersamaan.
Adapun orang yang memahami bahwa tawakal dan usaha adalah dua hal yang kontradiktif merupakan kesalahan yang datangnya dari orang-orang bodoh, mereka yang seenaknya menafsirkan ajaran agama dengan pikiran mereka tanpa dasar ilmu. Keberadaan orang-orang bodoh semacam ini telah Imam al-Ghazali jelaskan dalam kitabnya al-Arba’in Fi Ushuliddin,
قَدْ يَظُنُّ الجُهَّالُ أَنَّ شَرْطَ التَّوَكُّلِ تَرْكُ الكَسْبِ وَتَرْكُ التَّدَاوِيْ وَالْلاِسْتِلاَمِ لِلْمُهْلِكَاتِ. وَذَالِكَ خَطَأٌ لِأَنَّ ذَالِكَ حَرَامٌ فِي الشَّرْعِ وَالشَّرْعُ قَدْ أَثْنَى عَلَى التَّوَكُّلِ وَنَدَبَ عَلَيْهِ فَكَيْفَ يُنَالُ ذَاِلكَ بِمَحْظُوْرِهِ
“Orang-orang bodoh terkadang mengira bahwa syarat tawakal adalah meninggalkan usaha dan berobat serta pasrah terhadap hal yang membahayakan, hal tersebut adalah paham yang salah, karena membahyakan diri diharamkan dalam syariat, sedangkan syariat menganjurkannya. Bagaimana mungkin hal yang dianjurkan syariat justru adalah larangannya.”
Kesimpulan
Bertawakal bukan berarti meninggalakan usaha, melainkan memantapkan hati kepada Allah dan meyakini bahwa apa yang sudah menjadi takdir-Nya adalah yang terbaik bagin kita. Namun, kita juga tetap berkewajiban melakukan usaha, karena itu merupakan perintah dari Allah serta tidak menggantungkan hasil usaha tersebut terhadap pekerjaan kita sendiri.
Muhammad Nuruddin | Annajahsidogiri.id