Al-Imam al-Allamah Syaikhul-Islam Ibnu al-Qayim pernah memberikan intrepetasi miring terhadap hadis nabi Muhammad . Doa ma’tsur yang diajarkan oleh nabi setelah salat kepada Sayidina Muadz bin Jabal terkomentar oleh beliau dan hebatnya bisa dihadirkan dengan nuansa baru. Ini merupakan sebuah dobrakan asing dan sebuah pandangan menarik yang mendorong ulama lain untuk mengkajinya lagi.
Rasullullah bersabda:
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ قَالَ جَوْفَ اللَّيْلِ الْأَخِيرَ وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ
“Ditanyakan kepada Rasullallah SAW apa doa yang paling terdengar? Nabi bersabda:”doa di akhir tengah malam dan setelah sholat fardhu.”
Kebanyakan Faham ulama tentang lafal دبر dari hadis tersebut berarti setelah atau sinonim dari lafal بعد dan عقيب. Sekilas ada dua waktu yang paling mustajab (didengar oleh allah SWT) sebagaimana hadis di atas: tengah malam dan setelah salat fardu. ini berbeda dengan interpretasi Syaikhul-Islam Ibnu al-Qayim yang menjadi acuan kelompok salafi untuk membidahkan amaliah kaum muslimin. Sebagaimana redaksi yang telah tercatat rapi dalam kitab Zadul-Ma’ad karangan Syaikhul-Islam Ibnu al-Qayim, sebagai berikut:
أَمَّا الدُّعَاءُ بَعْدَ السَّلَامِ مِنْ الصَّلَاةِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَوْ الْمَأْمُومِينَ، فَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مِنْ هَدْيِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْلًاً، وَلَا رُوِيَ عَنْهُ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ، وَلَا حَسَنٍ. وَأَمَّا تَخْصِيصُ ذَلِكَ بِصَلَاتَيْ الْفَجْرِ وَالْعَصْرِ، فَلَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ هُوَ وَلَا أَحَدٌ مِنْ خُلَفَائِهِ، وَلَا أُرْشِدُ إِلَيْهِ أُمَّتَهُ، وَإِنَّمَا هُوَ اسْتِحْسَانٌ رَآهُ مَنْ رَآهُ عِوَضًاً مِنْ السُّنَّةِ بَعْدَهُمَا، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ. وَعَامَّةُ الْأَدْعِيَةِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالصَّلَاةِ إنَّمَا فَعَلَهَا فِيهَا
“Adapun berdoa setelah salam dari salat dengan menghadap kiblat atau (menghadap) makmum, hal itu bukanlah petunjuk Nabi, dan tidak pernah ada riwayat dari Nabi baik hadis sahih atau hasan. Adapun mengkhususkannya pada dua shalat: Subuh dan Ashar, tidak pernah Beliau lakukan, ataupun seorang dari para khalifahnya, dan beliaupun tidak memberikan arahan kepada umatnya untuk hal itu. Ini hanyalah hal yang dipandang baik oleh orang yang memandangnya sebagai ganti dari sunah setelah kedua salat itu. Allah Maha Mengetahui (Segalanya). Umumnya doa-doa yang berkaitan dengan salat hanya dilakukan di dalam salat, dan diperintahkan membacanya di dalam saalat.”
Sebagaimana redaksi di atas, menurut Imam Ibnu al-Qayim, doa yang terdapat dalam hadis tersebut hanya bisa dilaksanakan sebelum salat usai. Demikian ini, karena menurutnya salat adalah waktu yang pas untuk memohon dan berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa. Sebab, saat itu adalah waktu di mana seorang hamba menghadap (bermunajat) kepada tuhannya. Jika ia telah selesai bermunajat, berarti ia telah berpaling dari-Nya, sehingga menurut Ibnu al-Qayim, tidak pantas seorang hamba meminta hajatnya dikabulkan ketika ia telah berpaling dari tuhannya (selesai salat).
Terlihat Imam satu ini, melakukan tanam paksa etika menyembah. Ibnu al-Qayim memberikan interpretasi pada lafadh dubur dengan قبيل السلام (sebelum salam). Serta memvonis doa setelah sholat sebagai suatu yang baru (محدث), dan setiap perkara baru (dalam ibadah) adalah bidah. Pendapat ini sangatlah nyeleneh dan kontradiksi dengan pendapat mayoritas ulama. lantas bagaimana pakar islam menanggapi faham miring Syaikhulislam Ibnu al-Qayim ini?
Tanggapan Ulama terhadap Pendapat Ibnu al-Qayim
Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul-Bari memberi tanggapan keras terhadap pendapat miring ini, sebagai berikut:
وَمَا ادَّعَاهُ مِنَ النَّفْيِ مُطْلَقًا مَرْدُودٌ فَقَدْ ثَبَتَ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ يَا مُعَاذُ إِنِّي وَاللَّهِ لَأُحِبُّكَ فَلَا تَدَعْ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ أَنْ تَقُولَ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيّ وَصَححهُ بن حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ
“Dakwaan (Ibnu Qayyim) yang meniadakan doa setelah salat terbantahkan. Telah menjadi riwayat yang tetap dari sahabat Mu’adz bin Jabal bahwa Nabi bersabda kepadanya: “Wahai Muadz, Demi Allah aku sungguh mencintaimu. Maka Jangan kau tinggalkan setiap selesai salat untuk mengucapkan “Ya Allah, tolonglah aku untuk mengingat-Mu, menyukuri nikmat-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu.” (HR Abu Dawud dan Imam Nasa’i)
Iam salat meskipun redaksinya menggunakan lafal “dubur“. Terbukti, tidak pernah ada teladan (astar) dari satu ulamapun untuk melaksanakannya. Tidak sampai di situ saja, l-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani juga menolak penafsiran miring Ibnu al-Qayim tentang arti lafal “dubur“, sebagaimana redaksi berikut:
فَانَ قِيلَ الْمُرَادُ بِدُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ قُرْبَ اخِرِهَا وَهُوَ التَّشَهُّدُ قُلْنَا قَدْ وَرَدَ الْأَمْرُ بِالذِّكْرِ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ وَالْمُرَادُ بِهِ بَعْدَ السَّلَامِ إِجْمَاعًا فَكَذَا هَذَا حَتَّى يَثْبُتَ مَا يُخَالِفُهُ, وَقَدْ اخْرَجَ التِّرْمِذِيُّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي امَامَةَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيِ الدُّعَاءِ اسْمَعُ قَالَ جَوْفَ اللَّيْلِ الْأَخِيرِ وَدُبُرِ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ وَقَالَ حَسَنٌ وَاخْرَجِ الطَّبَرِيُّ مِنْ رِوَايَةِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ الصَّادِقِ قَالَ الدُّعَاءُ بَعْدَ الْمَكْتُوبَةِ أَفْضَلُ مِنَ الدُّعَاءِ بَعْدَ النَّافِلَةِ كَفَضْلِ الْمَكْتُوبَةِ عَلَى النَّافِلَةِ.
“Jika dikatakan yang dimaksud dengan lafadz دبر كل صلاة adalah hampir mendekati salam atau ketika tasyahud akhir, maka kami berpendapat bahwa yang dimaksud dari lafad دبر كل صلاة adalah setelah salam sebagaimana pendapat ijma’ ulama dan itulah pendapat kami hingga ada dalil yang menentangnya (realitanya tidak ada)”. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari hadis Abi Umamah “Dikatakan kepada Rasullullah SAW: apa doa yang paling terdengar? Nabi bersabda; doa di akhir tengah malam dan setelah salat fardu.” Imam at-Tirmidzi menilai hadis ini sebagai hadis hasan. Lalu Imam at-Thobari meriwayatkan dari sahabat Jakfar bin Muhammad as-Shodiq, ia berkata:” doa setelah (menggunakan lafadz بعد ) salat fardu lebih utama dari pada doa setelah salat sunnah sebagaimana selisih keutamaaan antara salat fardu dan sunah.”
Baca Juga:Kenapa Harus Bermadzhab?
Ditambah lagi, ada hadis marfu’ dari sahabat Suhaib yang menjelaskan bahwa nabi pernah berdoa seusai melaksanakan salat, sebagai berikut:
… كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِنْصَرَفَ مِنْ الصَّلَاةِ يَقُولُ : اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي
“Setelah selesai melaksanakan salat,Rasulullah SAW berdoa : Ya Allah perbaikilah agamaku…”
Hanya saja, Ibnu al-Qayim tidak serta-merta melarang untuk berdoa seusai salat, justru beliau memperbolehnya. Sebagaimana redaksi yang tercatat dalam kitab Zadul-Ma’ad karya Ibnu al-Qayim berikut:
إِلَّا أَنَّ هَهُنَا نُكْتَةٌ لَطِيفَةٌ وَ هُوَ أَنَّ الْمُصَلِّيَ إِذَا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ وَذَكَرَ اللَّهَ وَهَلَّلَهُ وَسَبَّحَهُ وَحَمِدَهُ وَ كَبَّرَهُ بِالِاذْكَارِ الْمَشْرُوعَةِ عَقِيبَ الصَّلَاةِ اسْتُحِبَّ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَدْعُوَ مَا يَشَاءُ
“Namun, ada lelucon yang bagus di sini, yaitu ketika seorang selesai melaksanakan sholatnya dan berdzikir kepada Allah, mengagungkan-Nya, memuji-Nya, dan Menghormatinya dengan zikir yang ditentukan setelah sholat. Disunnahkan baginya untuk bersalawat kepada Nabi Muhammad SAW dan berdoa sesukanya”.
Hanya saja, pendapat beliau ini dipotong oleh kelompok kanan, kaum Salafi dan hanya mengambil pendapat Ibnu al-Qayim tentang maksud dari berdoa “duburi kulli salat” yang menyalahi pendapat mayoritas ulama. Andai saja kaum salafi mau mengikuti pendapat Ibnu al-Qayim secara utuh, niscaya mereka tidak akan mudah menuding bidah terhadap amaliyah-amaliyah Ahlusunah wal-Jamaah.
Kholil | Annajahsidogiri.id