Sedikit mengulas dan mereview pada pembahasan sebelumnya, bahwa Khawarij adalah aliran sempalan Islam yang memiliki beberapa cabang, yang masing-masing cabang tersebut memiliki beberapa ideologi yang tentunya menjadi pembeda antara satu dengan yang lain. Namun, setiap ideologi dari cabang tersebut dapat kita kerucutkan menjadi satu kesatuan yang mengenalkan bahwa komunitas yang memiliki identitas tersebut adalah khawarij, ideologi itu adalah mengkafirkan pelaku dosa besar.
Khawarij adalah satu-satunya aliran yang identik dengan mengkafirkan pelaku dosa besar. Pernyataan ini mencakup semua cabang khawarij hingga yang bernama al-Azarqiah. Nah, pada tulisan kali inilah akan kami singgung cabang tersebut dengan menampilkan beberapa ideologinya yang menjadi pembeda dengan cabang khawarij yang lain.
Azariqah adalah sempalan Khawarij yang dipelopori oleh Nafik bin Azraq. Sempalan ini adalah yang paling kuat diantara sempalan khawarij yang lain. Sempalan inilah yang memerangi Ibnu Zubair dan Bani Umayyah yang berlangsung selama 19 tahun.[1]
Beberapa ideologi dari kelompok ini dapat kita petakan menjadi dua bagian, yaitu secara akidah dan fikih;
Akidah
- Nabi boleh kafir; kelompok ini memiliki pemahaman bahwa Allah ﷻ bisa saja mengutus para nabi yang nantinya akan kufur setelah kenabiannya, atau memang kafir sebelum diutus menjadi nabi. Demikian pula, menurut mereka, nabi juga bisa saja melakukan dosa baik besar maupun kecil. Padahal, konsensus ulama telah menyatakan bahwa orang yang melegalkan dosa besar maupun kecil pada nabi sejatinya orang tersebut telah kufur.[2]
- Status Pelaku dosa besar; anggapan mereka, status pelaku dosa besar adalah kafir yang keluar dari agama, serta mereka menghukumi bahwa pelaku dosa besar tersebut akan kekal di neraka, meskipun orang tersebut masih meyakini bahwa Allah ﷻ adalah tuhannya. Mereka berdalil dengan realita iblis yang melanggar perintah Allah ﷻ dengan tidak bersujud pada nabi Adam. Sehingga Allah ﷻ memasukkan iblis ke neraka. Padahal dalam kondisi tersebut iblis tetap meyakini Allah ﷻ sebagai tuhan seperti keterangan dalam ayat berikut:
وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ اَبٰى وَاسْتَكْبَرَۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ (البقرة (02) 34)
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS. Al-Baqarah [02]: 34)
Fikih
- Tidak wajib rajam bagi pezina; seseorang yang telah berzina menurut mereka tidak harus dirajam. Dalam konteks ini mereka hanya mengambil zahirnya ayat saja, seperti potongan dalam ayat berikut:
اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍۖ (النور (24) 2)
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali” (QS. An-Nûr [24] 02)
Kemudian, dari ayat tersebut mereka menyimpulkan bahwa had rajam ada ketetapan dari nash al-Qur’an. Di sisi lain mereka juga tidak mempertimbangkan ketetapan had rajam yang ada di sebuah hadis[3]
- Gugurnya had qazaf; dengan meninjau zahir ayat pula, dalam kasus tuduhan zina, had qazaf tidak perlu dilaksanakan saat yang dituduh adalah selain perempuan muhsan (sudah pernah bersuami). Dengan artian, dalam kasus tuduhan zina, saat yang dituduh adalah laki-laki yang telah beristri, maka had qodzaf tidak perlu dilaksanakan.
- Hukuman pencuri; telah menjadi ketetapan nash syariat bahwa orang mencuri harus dipotong tangannya. Namun, hal demikian tetap meninjau kadar (nishab) barang curian yang telah ditentukan syariat. Berbeda dengan Azariqah yang tidak mempertimbangkan adanya nishab. Dalam artian seorang wajib dipotong tangannya, baik barang yang dicuri sedikit ataupun banyak.[4] Sekali lagi, dalam konteks ini mereka hanya melirik pada zahirnya ayat yang tertera dalam ayat berikut:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقۡطَعُوۡۤا اَيۡدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَـكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ؕ وَاللّٰهُ عَزِيۡزٌ حَكِيۡمٌ
“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana”. (QS. al-Mâidah [5] (38)
Dengan ideologi-ideologi tersebut dapat kita simpulkan bahwa titik kesesatan pada kelompok ini adalah menghukumi sesuatu dengan lahiriah ayat al-Qur’an hanya melalui perantara pikiran saja. Dalam hal ini, sudah jelas terdapat larangan daripada nabi dalam sebuah hadisnya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: مَنْ قَالَ فِي الْقُرْأَنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang berpendapat pada al-Qur’an dengan akalnya maka hendaknya ia ambil tempatnya di neraka”.
Maka benarlah pernyataan Abu Zahrah dalam karyanya, Thârikh al-Madzâhib al-Islâmiyyah, bahwa salah satu ciri dari komunitas khawarij adalah hanya meninjau pada zahirnya nash. Wallahu a’lam.
Moch. Rizky Febriansyah | Annajahsidogiri.id
[1] Abu Zahra, Tarikhul Madzahib al-Islamiyyah, hlm.71
[2] As-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, hlm.122
[3] Abu Zahrah, Tarikhul Madzahib al-Islamiyyah, hlm.72
[4] Al-Baghdadi, al-Farqu Bainal Firaq, hlm.57