Beberapa waktu lalu, sempat viral, seorang kiai yang mengklaim dirinya sebagai salah seorang mujadid atau pembaharu agama Islam di abad ini. Klaim ini menimbulkan banyak kritik dari kalangan ulama di Nusantara. Pengklaiman ini tentu perlu dikoreksi lagi dengan penjelasan konkrit, sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh para ulama.
Ada beberapa hal yang perlu dibahas untuk menanggapi permasalahan ini. Pertama, mengenai siapa itu mujadid. Kedua, kriteria dan ciri-ciri seorang mujadid. Ketiga, siapa saja ulama yang dinobatkan sebagai mujadid di setiap zaman hingga abad ini.
Baca juga: Ahmadiyah: Aliran Sesat atau Agama Baru [?]
Pengertian Mujadid dan Klasifikasinya
Pemahaman tentang mujaddid berawal dari hadis sahih yang diriwayatkan oleh ulama. Diantaranya, Imam Abu Dawud, Imam al-Baihaqi, dan Imam Hakim, yang berbunyi:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنهَا
“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun seseorang yang memperbaharui agamanya.”
Secara bahasa, mujadid berarti “pembaharu.” Sedangkan dalam konteks Islam, mujadid adalah seseorang yang berperan besar dalam memperbaiki nilai-nilai ajaran Islam yang sudah mulai memudar.
Jika kita merujuk pada hadis tentang tajdid, hampir semua ulama yang menjelaskan makna tajdid sepakat dengan definisi yang disampaikan oleh al-‘Azhim Abadi:
الْمُرَادُ مِنَ التَّجْدِيدِ إِحْيَاءُ مَا اندَرَسَ مِنَ الْعَمَلِ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْأَمْرِ بِمُقْتَضَاهُمَا وَإِمَاتَةُ مَا ظَهَرَ مِنَ الْبِدَعِ وَالْمُحْدَثَاتِ
“Maksud dari tajdid adalah menghidupkan kembali ajaran-ajaran Quran dan hadis yang telah ditinggalkan, memerintahkan apa yang diajarkan oleh kedua sumber tersebut, serta menghapus bidah dan yang dibuat-buat.”
Seorang mujadid tentu harus memiliki pengaruh besar pada masanya. Dia mesti memenuhi syarat-syarat tertentu yang disebutkan oleh Ibnu Ziyâd dalam kitab Ghayah Talkhis al-Murâd fî Fatawa Ibni Ziyâd, yaitu:
وَمِن شُرُوطِ المُجَدِّدِ أَنْ تَمْضِيَ المِائَةُ … وَيَنْصُرَ السُنَّةَ فِي كَلَامِهِ، وَأَنْ يَكُونَ جَامِعًا لِكُلِّ فَنٍّ، وَكَوْنُهُ فَرْدًا كَمَا هُوَ المَشْهُورُ فِي الحَدِيثِ وَعِندَ الجُمْهُورِ
“Dan di antara syarat-syarat seorang pembaharu (mujadid) adalah sudah berlalu seratus tahun… dan ia menegakkan sunnah dalam ucapannya, serta harus menguasai setiap cabang ilmu, dan orang yang tunggal dalam hadis dan di kalangan mayoritas.”
Syarat yang disepakati mengenai kemunculan mujadid adalah seperti yang disebutkan dalam hadits, yaitu pada setiap penghujung seratus tahun. Tahun yang dimaksud adalah tahun hijriah, yang bisa dihitung dari kelahiran Rasulullah, diutusnya, hijrahnya, atau wafatnya. Sedangkan mengenai ketunggalan seorang mujadid, hal ini masih diperselisihkan oleh para ulama.
Imam Ibnu Ziyad menyebutkan bahwa seorang mujadid harus tunggal, namun banyak ulama yang berpendapat bahwa seorang mujadid tidak harus tunggal dalam setiap periodenya. Ulama yang berpendapat demikian antara lain adalah ad-Dzahabi dalam Tarikhul Islam, Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Ruslan dalam Syarh Sunan Abi Dawud, Ibnu ‘Asyur, dan lain-lain.
Klaim Mujadid
Orang yang dapat mengklaim seseorang sebagai mujadid adalah ulama yang diakui dalam berbagai bidang keilmuannya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam as-Suyuti dalam kitab at-Tanbi`ah bi Man Yab’atsuhu Allah Ala Rasi Kulli Mi`ah, beliau menyebutkan para ulama yang mengklaim seseorang sebagai mujadid. Semua ulama yang disebutkan dalam kitab ini adalah ulama terkemuka yang diakui kecakapannya.
Baca juga: Meluruskan Makna Pasrah dalam Paham Pluralisme
Orang yang diklaim sebagai mujadid juga harus dianggap sangat berjasa dalam khazanah keilmuan Islam dan memiliki penguasaan dalam banyak bidang. Misalnya, di abad pertama, khalifah Umar bin Abdil Aziz disepakati oleh ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin sebagai seorang mujadid, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam as-Suyuti dalam kitabnya.
Kesimpulan
Oleh karena itu, tidak sembarang orang bisa mengklaim atau diklaim sebagai seorang mujadid. Syarat-syarat yang telah disebutkan oleh para ulama harus dipenuhi dan tidak bisa dianggap remeh. Jika ada seseorang yang mengklaim orang lain sebagai mujadid, kita harus mempertanyakan apakah orang tersebut memenuhi kriteria dan syarat sebagaimana yang telah disebutkan oleh ulama-ulama terkemuka, termasuk apakah orang yang mengklaim tersebut memiliki keahlian yang diakui.
Hadziqil Fahimi | Annajahsidogiri.ID