Sebelum cahaya kebenaran yang dibawa Nabi akhir zaman itu datang, orang Arab Jahiliyah hidup dalam lembah gelapnya kebodohan, bahkan mereka melestarikan beberapa tradisi dan budaya yang tidak berperikemanusiaan. Lalu nabi akhir zaman –yang menjadi rahmat bagi seluruh alam- datang membawa cahaya kebenaran, menerangi lembah-lembah kebodohan, dan memadamkan segala macam kemunkaran.
Islam yang dibawa Nabi akhir zaman ini, adalah agama yang sangat toleran. Agama ini memang menghapus dan juga mengganti berbagai budaya dan tradisi masyarakat Jahiliyah yang telah berlaku sejak sebelum datangnya Islam, yaitu yang tidak sesuai dengan dasar dan prinsip ajaran yang dibawa Nabiﷺ, seperti Riba, minum khamer/arak dan lain-lain. Tetapi, tidak kalah pula banyak tradisi dan adat istiadat Arab Jahiliyah yang oleh Islam diakomodir secara apa adanya karena tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Nabiﷺ. atau bertentangan, tetapi setelah termodifikasi, akhirnya bisa selaras dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Nabi ﷺ misalnya, menghapus kebiasaan budaya Arab Jahiliyah yang berupa tradisi membunuh anak perempuan mereka. Dan jika tidak membunuhnya, mereka tidak memasukkan anak perempuan sebagai ahli waris yang dapat mewarisi harta peninggalan keluarga yang meninggal. Lalu Islam datang mengganti kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut dengan menempatkan posisi anak perempuan sama berharganya dengan anak laki-laki, sehingga anak perempuan yang sebelumnya tidak berhak menerima warisan, akhirnya menjadi sepadan dengan laki-laki dalam hal keduanya sama-sama menjadi ahli waris. Menaggapi hal tersebut, Syekh Mutawalli As-Sya’rawi dalam kitabnya yang bernama al-Fiqhu al-Marah al-Islamiyah mengatakan:
إِنَّ الْإِسْلَامَ حِينَ جَاءَ إِلَى الْعَالَمِ رَفَعَ مَكَانَةَ الْمَرْأَةِ وَأَعْطَاهَا حُرِّيَّتَهَا وَ كَرَمَاتِهَا وَشَخْصِيَّتَهَا وَسَاوَى بَيْنَهَا وَ بَيْنَ الرَّجُلِ فِي الْحُقُوقِ وَ الْوَاجِبَاتِ
“sesungguhnya Islam datang mengangkat drajat perempuan, memberi kebebasan, kemuliaan dan kedudukan, serta menyamakan dengan laki –laki dalam segi hak- hak dan kewajiban.”
Didalam kitab al-Milal wa an-Nihal, karangan Syekh Ibnu Qosim Abdul Karim asy-Syahrastani, pun juga dijelaskan, bahwa banyak kegiatan-kegiatan dan kebiasaan-kebiasaan orang Arab jahiliyah yang diakamodir dan dimodifikasi oleh Islam. Hal tersebut dijelaskan secara detail dalam bab تقاليد العرب التي أقرها الإسلام و بعض عاداتهم (keyakinan-keyakinan dan sebagian kebiasaan orang Arab yang di tetapkan oleh Islam) di antaranya seperti siwak, memotong kuku, khitan, dan lain-lain, yang kemudian oleh Islam ditetapkan sebagai kesunnahan.
Baca Juga: Keabsahan Dhuha Berjamaah
Diantara tradisi yang berlaku di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah adalah Poligami. Di masa jahiliyah, poligami tanpa dibatasi, bahkan ada yang sampai mempunyai sepuluh Istri, sebagaimana hadis berikut ini:
عن سلبم عن أبيه رضي الله عنه ( أن غيلان بن سلامة أسلم وله عشرة نسوة فأسلمن معه, فأمره النبي صلى الله عليه وسلم أن يتخير منهن أربعا) رواه أحمد و الترمذي.
“Sesungguhnya sahabat Ghailan masuk Islam bersama sepuluh orang istrinya, lalu Nabi menyuruhnya agar memilih empat di antara mereka” (HR. Ahmad&Turmudzi)
Dari hadis tadi, kita bisa menyimpulkan bahwa Islam tidak menghapus berlakunya poligami, tetapi membatasi jumlah isteri yang dipoligami maksimal hanya empat orang isteri. Maka bagi lelaki yang masuk Islam yang sebelumnya telah memiliki lebih dari empat orang isteri seperti sahabat Ghailan tersebut, ia hanya boleh mempertahankan empat orang isteri yang ia pilih, dan selebihnya harus ia ceraikan. Ketentuan ini disampaikan secara jelas melalui hadis-hadis Nabiﷺ. Didalam al Quran, pembatasan itu dituturkan dalam Surah an-Nisa [4]: 3 sebagaimana berikut;
فَانْكِحُوۡا مَا طَابَ لَـكُمۡ مِّنَ النِّسَآءِ مَثۡنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تَعۡدِلُوۡا فَوَاحِدَةً اَوۡ مَا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُكُمۡ
“Maka menikahilah perempuan yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Tapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka seorang saja atau hamba sahaja perempuan yang kamu miliki”.
Dari beberapa contoh diatas, dapat disimpulkan bahwa Nabi ﷺ dengan syariat Islamnya, tidak memiliki keinginan untuk menentang tradisi-tradisi masyarakat yang telah berjalan, selama hal itu tidak bertentangan dengan misi dakwah yang beliau bawa.
Di tanah air kita, peran Walisanga dan ulama begitu besar dalam menyebarkan Islam, khususnya di tanah Jawa. Kemampuan mereka mendakwahkan Islam kepada masyarakat Nusantara dengan jalan damai dan mengakomodir tradisi lokal, membuat masyarakat kita dapat dengan cepat dan mudah menerima ajaran mereka. Beberapa tokoh Walisanga yang menjadi penasehat raja-raja Jawa Islam periode pertama misalnya, memasukkan nilai-nilai Islam dalam budaya Jawa.
Baca Juga:Tinjauan Kritis Akidah Pokok Syiah
Upacara “Sadranan” sebagai salah satu contoh. Tradisi ini telah menjadi adat masyarakat Jawa semenjak masyarakat di pulau ini masih beragama Hindu, Budha dan penganut animisme dan dinamisme. Sadranan dilaksanakan sebagai pemujaan kepada arwah leluhur yang telah meninggal, sekaligus permintaan kepada arwah itu untuk keselamatan orang orang yang masih hidup. Karena menurut keyakinan mereka, arwah orang yang meninggal itu masih hidup dan dipercaya masih bisa memberi keselamatan dan kesejahteraan bagi orang-orang yang masih hidup di dunia. Maka setiap bulan “Ruwah”, masyarakat selalu membuat sesaji/sesajen yang diperuntukkan untuk para arwah tersebut. Sesaji pada masa lalu, berupa makanan mentah, yakni darah dan dupa. Sesaji tersebut diletakkan di kuburan-kuburan, punden, pohon besar ataupun tempat yang dianggap keramat lainnya.
Kemudian, pada era kerajaan Islam Demak dibawah kepemerintahan Raden Fatah, dengan penasehat-penasehat spiritualnya dari beberapa tokoh Walisanga, diadakanlah perubahan yang sangat mendasar atas tradisi Sadranan itu. Tokoh-tokoh Walisanga itu tetap mempertahankan tradisi Sadranan, tetapi substansinya diisi dengan nilai-nilai Islam, sehingga Sadranan kemudian tidak lagi dipersembahkan kepada arwah leluhur, tetapi merupakan sarana untuk mendoakan agar arwah para leluhur bisa tentram, dan tenang di sisi Allah ﷻ. Makanan yang semula berupa makanan mentah, diganti dengan makanan dan minuman yang merupakan hasil dari pertanian dan peternakan masyarakat setempat. Tempat Sadranan pun dipindahkan ke masjid-masjid atau rumah sesepuh kampung.
Jadi, setelah kedatangan Islam di negeri ini, “Wadah” dari istiadat peninggalan masa lalu, tetap berasal dari budaya Jawa, tetapi substansinya telah sesuai dengan ajaran Islam.
Muhammad Hafidz | annajahsidogiri.id