Setelah kita memahami hakikat Ahlussunnah wal Jamaah dan rumusan Ahlussunnah wal Jamaah, sebagaimana telah dijelaskan pada dua tulisan sebelumnya, maka tentu kita sebagai golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah bisa memahami bahwa al-Imam al-Asy’ari dalam kitab-kitab beliau tidak membikin suatu pemahaman yang baru, karena beliau sekadar menjelaskan, menghimpun, dan merumuskan pokok-pokok akidah yang dianut oleh mayoritas umat Islam sesuai dengan al-Quran dan hadis, yang telah diajarkan dan dijalankan sejak zaman Nabi SAW. bersama para sahabat beliau (mā anā ‘alaihi wa aṣḥābī). Di samping itu, dalam kitab-kitab itu, al-Imam al-Asy’ari juga membantah akidah-akidah sesat yang diusung oleh sekte-sekte yang menyimpang dari mayoritas umat Islam (Ahlussunnah wal Jamaah), dengan hujah yang kuat dan rasional.
Baca Juga: Hakikat Ahlussunnah wal Jamaah
Jadi sejak zaman Nabi dan sahabat, tabi’in, tabi’it-tabi’in dan sesudahnya, akidah seluruh (atau mayoritas) umat Islam sama persis dengan apa yang dirumuskan oleh al-Imam al-Asy’ari itu. Hanya saja pada zaman sahabat, akidah yang benar, lurus dan utuh itu tak membutuhkan rumusan apapun, karena memang seluruh umat sudah ada pada keyakinan yang sama. Lalu pada zaman berikutnya, ketika sekte-sekte menyimpang mulai muncul, rumusan seperti yang kelak dibentuk oleh al-Imam al-Asy’ari dan al-Maturidi itu juga belum terlalu dibutuhkan, mengingat kelompok yang menyimpang masih sangat sedikit, sehingga mereka mudah dikenali, dan tidak berpengaruh apa-apa pada mayoritas umat Islam.
Pada zaman berikutnya, ketika sekte-sekte menyimpang sudah mulai menjamur, mayoritas ulama bersikap dengan sangat hati-hati, lebih memilih untuk menghindari syubhat-syubhat pemikiran (akidah-akidah sesat) yang terjadi, agar kesesatan-kesesatan itu tidak semakin menyebar ke tengah-tengah umat. Tenimbang ikut terlibat di dalam fitnah-fitnah itu, mereka lebih memilih untuk membimbing umat agar tetap ada dalam titian yang benar, sesuai dengan apa yang telah ada sejak zaman Nabi dan para sahabat.
Tenimbang ikut terlibat dalam memperbincangkan akidah-akidah sesat yang bermunculan itu, mayoritas ulama saat itu juga lebih memilih untuk berkonsentrasi pada bidang-bidang keilmuan mereka masing-masing; ahli hadis berkonsentrasi pada hadis, ahli fikih berkonsentrasi pada fikih, ahli tafsir berkonsentrasi pada tafsir, dan begitu seterusnya. Hingga kemudian al-Imam al-Asy’ari muncul ke permukaan, mengajukan rumusan akidah yang telah dipeluk oleh mayoritas umat Islam sejak zaman Nabi bersama para sahabat beliau berdasarkan al-Quran dan hadis, serta dengan penuh keberanian mengungkap kebatilan akidah-akidah yang dipeluk oleh sekte-sekte yang menyimpang dari Ahlussunah wal Jamaah (mayoritas umat), dengan hujah yang kuat dan rasional.
Baca Juga: Memahami Rumusan Ahlussunnah wal Jamaah
Nah, begitu al-Imam al-Asy’ari muncul ke permukaan dengan kepahlawanan yang luar biasa seperti itu, segeralah nama beliau membubung ke angkasa dan dikenal oleh mayoritas umat di seluruh penjuru dunia Islam. Dan, begitu para ulama (dalam berbagai disiplin ilmu yang berbeda-beda tadi) melihat rumusan akidah yang benar oleh al-Imam al-Asy’ari itu, mereka pun langsung menyepakatinya, sebab akidah seperti itulah yang selama ini mereka peluk dan yakini, sesuai dengan yang mereka pelajari dari guru-guru mereka dengan sanad yang bersambung kepada para sahabat dan Nabi SAW. Dan sebab itu pula, para ulama di berbagai penjuru dunia Islam, dengan keahlian di bidang-bidang ilmu yang berbeda-beda itu, dalam hal akidah mereka bersepakat untuk berafiliasi kepada al-Imam al-Asy’ari. Dari sinilah kemudian terbentuk Asy‘ariyyah (dan Maturidiyyah) “Ahlussunnah wal Jamaah”.
Peran Ahlussunnah wal Jamaah Sebagai Identitas Diri
Dari uraian di atas, dan uraian pada tulisan di dua edisi sebelumnya, tampak jelas bagaimana akidah seluruh (mayoritas) umat Islam yang sebelumnya sudah ada, tanpa membutuhkan nama dan identitas apapun, kemudian seiring berjalannya waktu, karena banyaknya aliran sesat yang menyimpang dari ajaran mayoritas umat, maka diperlukan identitas khusus untuk membedakan ajaran yang benar (yang telah diikuti oleh mayoritas umat Islam) dari ajaran-ajaran menyimpang yang dimunculkan oleh sekte-sekte sempalan. Dan, nama “Ahlussunnah wal Jamaah” adalah identitas yang dipilih oleh umat Islam (bedasarkan dalil-dalil dari al-Quran dan hadis) untuk mengidentifikasi kelompok yang benar itu, yang sesuai dengan apa yang telah diajarkan dan dijalankan oleh Nabi bersama para sahabat beliau, dan diikuti oleh mayoritas umat Islam.
Sedangkan nama “Ahlussunnah wal Jamaah” itu diafiliasikan pada al-Imam al-Asy’ari dan al-Imam al-Maturidi (di bidang akidah), karena sebagaimana yang telah dijelaskan barusan, kedua ulama tersebut memiliki keistimewaan dengan pemikiran dan rumusannya yang hebat, dan kepahlawanannya dalam mengalahkan kebatilan akidah-akidah yang diciptakan oleh kelompok-kelompok menyimpang, sehingga seluruh ulama Islam di berbagai penjuru dunia mengafiliasikan diri mereka pada keduanya – meski tentu al-Imam al-Asy’ari lebih banyak pengikutnya ketimbang al-Imam al-Maturidi. Itulah sebabnya kenapa para ulama mengatakan: jika nama “Ahlussunnah wal Jamaah” diucapkan, maka yang dimaksud adalah pengikut ajaran Asya’irah dan al-Maturidiyah.
Baca Juga: Imam Abul Hasan al-Asyari; Pejuang Ideologi Sunni
Dengan penjabaran di atas, yakni setelah kita memahami apa itu hakikat Ahlussunnah wal-Jamaah dan penisbatannya pada Asy’ariyah dan al-Maturidiyah, maka tidak perlu lagi ada pertanyaan semisal, “kenapa kok harus al-Asy’ari dan al-Maturidi?” Atau pertanyaan, “sebelum al-Imam al-Asy’ari muncul, akidah umat Islam mengikuti siapa?” Atau pertanyaan, “kenapa kok akidah yang benar tidak langsung dinisbatkan pada Rasulullah SAW.?” dan pertanyaan-pertanyaan semacamnya, yang muncul dari ketidakpahaman akan hakikat Ahlussunah wal Jamaah itu sendiri.
Di sini dapat penulis tambahkan, bahwa rumusan Ahlussunah wal Jamaah yang dalam bidang fikih mengacu pada Mazhab Empat, dan dalam tasawuf mengacu pada al-Imam Junaid al-Bagdadi (dan al-Imam al-Gazali), juga memiliki alasan yang secara prinsip juga sama dengan ditetapkan Asy’ariyah dan al-Maturidiyah sebagai patokan dalam bidang akidah. Yakni karena para Imam Mazhab Empat (al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Ahmad bin Hanbal) serta al-Imam Junaid al-Bagdadi dan al-Imam al-Gazali, memiliki keistimewaan dalam hal rumusan ajaran (dalam fikih dan tasawuf), yang dengan itu para ulama di berbagai penjuru dunia, dari generasi ke generasi, bersepakat untuk mengikuti rumusan yang mereka tetapkan di kedua bidang tersebut.
Wallāhu a‘lamu biṣ-ṣawāb.
Penulis: Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri (ACS)