Sementara keenggenan imam mujtahid dengan ilmu ini, lebih disebabkan jika titik tolak pembahasannya tidak sesuai dengan prinsip keyakinan yang ada di Alquran dan Hadis. Namun bilamana sebaliknya, maka mereka menerimanya dengan tangan terbuka. Pendapat ini diperkuat oleh Imam Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzb al-Muftarî, kala menolak hipotesa sebagian orang yang berasumsi bahwa Imam Syafi’i bersikap skeptis terhadap pembahasan kalam. Dia menulis, “Pembahasan kalam yang tercela adalah (yang berasal dari) pemahaman orang yang penuh kontradiktif, dan yang dikamuflase oleh para pelaku bid’ah yang destruktif. Namun bilamana kalam yang sesuai dengan Alquran dan Sunah, yang (mampu) menjelaskan hakekat atas prinsip-prinsip keagamaan, ketika terjadi cobaan (atas agama) maka itu terpuji menurut para ulama. Dan asy-Syafi’i menganggap hal itu sebagai kebaikan, dan beliau pun telah berdialektika dengan salah seorang pelaku bid’ah, serta melontarkan argumen kepadanya hingga (persoalan bid’ah itu) usai.” Di sisi lain Imam Abu Hanifah memiliki karya di bidang ini, al-Fiqh al-`Akbar, serta Imam Ahmad bin Hanbal dengan judul, ar-Rad ‘alâ al-Jahmiyyah.
Baca Juga: Epistemologi dan Legalitas Diskursus Kalam #2
Alasan penolakan mereka yang ketiga, ialah bahwa ilmu kalam telah terinfiltrasi oleh filsafat Yunani, dari situ kelompok itu khawatir kemurnian akidah Islam tercemari oleh keyakinan paganisme dan politeisme mereka. Untuk menjawab ini perlu diketahui, bahwa mantik yang diaplikasikan dalam diskurus kalam oleh pakar teologi Islam, ialah teori logis yang sudah direformulasi dan rekonstruksi ulang dengan berdasarkan prinsip nalar Islam. Dan juga ilmu logis hanya sebatas mediator dalam merumuskan konklusi yang benar. Dengan begitu, benar dan tidaknya sebuah konklusi pemikiran tidak dihasilkan dari alat mediasi, namun bersinggungan dengan cara dan tujuan pemakaiannya.
Untuk kemusykilan mereka yang terakhir, adalah menggeneralisasi seluruh mutakallim dengan menuduh mereka bertindak desakralisasi terhadap Hadis. Perlu diingat, bahwa menyematkan label tersebut ke segenap mutakallim tidak benar, karena landasan berpikir mereka bertedensi pada Alquran dan Hadis, terlebih jika dari mazhab Asy’arian dan Maturudi. Oleh karenanya, tindakan kelompok kecil—Muktazilah—yang melebihi batas dalam memerankan akal, tidak bisa menjadi sample untuk menjustifikasi mutakallim dari mazhab lain yang mayoritas.
Dari semua pemaparan dalam tema ini, secara ringkas telah teridentifikasi bahwa motif kajian dalam diskursus kalam itu berguna sebagai imunitas dan langkah konfrontasi-difensif terhadap dogma-dogma agama dari infiltrasi pemahaman yang tidak sejalur dengan Islam. Tentu dengan latar yang sedemikian, konsep dan teori yang dipakai tidak bertentangan dengan garis yang ditetapkan oleh Alquran dan Hadis. Sehingga dari situlah, legalitas dalam mempelajari ilmu kalam sudah mendapatkan legitimasi dari para ulama terdahulu, dengan berdasarkan faktor-faktor argumentatif di atas.
Ahmad Ilham Zamzami | Peneliti Annajah Center Sidogiri, Mahasiswa tingkat akhir Fakultas Usuludin, Dept. Akidah & Filsafat, Universitas Al-Azhar, Mesir dan Direktur Kajian Teologi PCINU Mesir