Kandungan majaz, kinayah, serta hal tersirat di Al-Qur’an tidak bisa kita ketahui secara dahir, bahkan tidak bisa kita pahami secara tekstual apalagi hanya diartikan memakai kamus, sebab butuh takwil dan semacamnya.
Mirisnya, ocehan memaknai Al-Qur’an secara tekstual tetap beredar. Teks Al-Qur’an mereka kira menyamai gramatika Bahasa Arab, yang isinya bisa kita pahami dengan kamus tanpa butuh takwil.
Ocehan ini tentu bertentangan dengan Ahlussunnah Waljamaah yang memahami teks Al-Qur’an dengan penafsiran, juga takwil. Namun sebelum memahami takwil, macam-macam ayat dalam Al-Qur’an perlu kita ketahui terlebih dahulu. Allah Swt. berfirman;
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ
“Dialah yang menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), di antaranya ada ayat-ayat muhkammat, itulah pokok-pokok kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat” (Qs. Al-Imran; 7)
Ayat tersebut menandakan bahwa Al-Qur’an terdapat dua model, yaitu ayat muhkam dan ayat mutasyabihat. Untuk memahami ayat muhkam dan mutasyabihat lebih jelas, dapat kita pahami dengan penuturan Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam kitab Zubdatul-Itqan, hlm. 69;
وَقَدْ اِخْتَلَفَ فِيْ تَعْيِيْنِ اْلمَحْكَم وَاْلمُتَشَابِهِ عَلَى اَقْوَالٍ فَقِيْلَ المُحْكَمُ مَا عرف المُرَادُ مِنْهُ اِمَّا بِالظُهُوْرِ وَاِمَّا بِالتَأْوِيْلِ. وَالْمُتَشَابِهِ مَا اِسْتَأْثَرَ اللَّهُ بِعِلْمِهِ كَقِيَامِ السَاعَةِ وَخُرُوْجِ الدَجَّالِ وَالْحُرُوْفِ المقطعة فِيْ أَوَائِلِ السُوَرِ. وَقِيْلَ المُحْكَمُ مَا وَضَحَ مَعْنَاهُ وَاْلمُتَشَابِهُ نَقِيْضُهُ. وَقِيْلَ المُحْكَمُ مَا لَا يَحْتَمِلُ مِنَ اْلتَأْوِيْلِ إِلَّا وَجْهًا وَاحِدًا وَاْلمُتَشَابِهُ مَا احْتَمَلَ اَوْجَهًا
Dari penuturan ini bisa kita pahami bahwa ayat muhkam adalah ayat yang jelas maknanya dan tidak memiliki kemungkinan makna lain. Adapun ayat mutasyabihat adalah ayat yang maknanya hanya Allah yang mengetahui.
Lalu bagaimana tanggapan Ahlussunnah pada golongan Mujassimah yang memaknai ayat mutsyabihat seperti “الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى”. Mereka memaknai “اسْتَوَى” dengan “menetap” dan “يَدُ اللَّهِ” dengan “tangan Allah”. Arti ini juga dipaparkan Ibnu Taimiyah, yang ia masukkan dalam trilogi akidah Asma’ Was Sifat-nya.
Pendapat Mujamassimah tentu tidak bisa biarkan. Jika ada yang membenarkan, maka ia juga menyebut bahwa Allah mempunyai jisim seperti keadaan mahluk. Pandangan Mujassimah ini sangat bertentangan dengan sifat mukhalafatu lilhawadisi-Nya. Allah Swt. menegaskan dalam al-Quran;
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Adapun Ahlussunnah mengartikan “الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى” dengan dua opsi. Pertama, memakai Takwil Ijmali, yakni memalingkan lafad dari makna aslinya tanpa menentukan arti dan memesrahkannya kepada Allah. Metode inilah yang banyak ulama salaf gunakan. Imam Malik berkata;
ٌّاَلْاِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَاْلكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالْاِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَمَا اَظُنُّكَ اِلَّا ضَال
“istiwa itu bukanlah perkara yang majhul, tatacaranya tidak bisa di akal, dan wajib mengimani hal tersebut. Sedangkan pertanyaan mengenai hal itu adalah bidah dan tidaklah yang kamu sangka dengan hal itu kecuali kesesatan “
Kedua, memakai Takwil Tafsili, yakni memalingkan lafad dari makna aslinya serta menentukan arti yang dimaksud sesuai dengan sifat-sifat yang pantas bagi Allah. Metode ini digunakan oleh ulama-ulama khalaf. Takwil Tafsili muncul berdasarkan firman Allah;
مَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“ Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata “ kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami “. Dan tidak dapat mengambil pelajaran ( darinya ) melainkan orang-orang yang berakal.” (Qs. al-Imran; 7)
Imam al-Bajuri di kitab Tuhfatul-Murid, hlm. 61 menyebutkan, lafad “الرَّاسِخُونَ” di atas diathafkan pada lafad “الله” , sedangkan lafad “يَقُولُونَ” menjadi khal.
Jadi, jika memaknai “الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى” dengan Takwil Tafsili, “اسْتَوَى” yang berarti “bersemayam” ditakwil dengan lafad “استولى” yang bermakna “menguasai”. Jika “اسْتَوَى” diartikan “bersemayang”, maka secara tidak langsung akan mengatakan bahwa Allah bertempat, sedangkan Allah mustahil bertempat. (Lihat Tafsir ar-Razi, juz 10, hlm. 351).
Imam Ibrahim al- Bajuri menyimpulkan, ketika ayat al-Quran atau hadis terdapat kalimat yang mengindikasikan bahwa Allah bertempat, jisim, bentuk atau rupa, dan anggota badan maka menurut pendapat Ahlul Haq (selain Mujasimmah dan Mutasyabihat) wajib men-takwil hal tersebut disebabkan Allah disucikan dari hal-hal yang serupa dengan makhluknya. (Lihat Tuhfatul-Murid, hlm. 62)
Dari paparan ini, jelas bahwa teks al-Quran tidak bisa dimaknai secara dahir. Pendapat Mujamassimah juga tidak bisa dibenarkan, bahkan jika ada golongan lain yang tidak memperbolehkan takwil apalagi mengharamkannya, maka mereka tergolong aneh sebab ulama tempo dulu selalu mengartikan ayat al-Quran atau hadis mutasyabihat dengan memakai takwil, baik Takwil Tafsili maupun Takwil Ijmali.
Muhammad Khufaidlon | Annajahsidogiri.id