Sering kali kita dikejutkan dengan beragam pernyataan menjebak yang keluar dari mulut orang-orang sekular-liberal. Misalnya, pernyataan tentang “Pertentangan antara Agama (Islam) dengan ilmu”.
Banyak (liberalis) yang mengakui bahwa sebetulnya Agama tidak dibangun atas dasar ilmu, alias, sama sekali tidak ilmiah. Mereka berdalih bahwa segala apa yang diajarkan dalam Agama sebatas doktrinitas yang tak pernah terbukti secara riil, dan hanya berakar pada satu sumber, yakni apa yang diyakini oleh para pemeluk agama-agama sebagai ‘Wahyu’.
Lebih-lebih bila kita menengok pada ideologi keagamaan berupa paham ‘Ghaibiyat’. Sesuai dengan definisinya; sesuatu yang abstrak dan tak dapat dinalar oleh akal-rasio, hal-hal ghaib seperti keberadaan surga atau neraka, kita dipaksa untuk mengakui, meyakini dan mengimaninya, padahal kita tidak pernah menyaksikan dan melihatnya secara kasat mata. Oleh sebab itu, kata mereka, yang semua itu patut dipertanyakan dan kalau perlu dikaji ulang perihal keotentikannya, sebab tak ada satupun bukti empiristik yang menunjukkan atas keberadaan hal-hal ghaib tersebut. Sedang sesuatu yang tak pernah terbukti secara empiris, otomatis tidak ilmiyah. Bila tidak ilmiah berarti bukan fakta, alias dusta belaka.
Contoh-contoh pemikiran serupa telah banyak berseliweran di tengah umat dewasa ini. Untuk itu, perlu kiranya dilakukan kajian yang objektif-argumentatif guna mengklarifikasi apakah pernyataan tersebut benar-benar telah memenuhi standar kebenaran atau bahkan penuh dengan klaim sesat-menyesatkan. Mari kita kaji lebih lanjut!
Bila kita cermati, terdapat setidaknya ada dua faktor yang melatarbelakangi munculnya persepsi tersebut:
Pertama: Perubahan Definisi Ilmu
Syekh Said Ramadhan al-Buthi menyampaikan bahwa akar atau bibit lahirnya pandangan ‘Agama dengan ilmu laksana dua kutub yang tidak akan pernah bisa bersatu’ merujuk pada era kebangkitan eropa dari masa yang mereka sebut sebagai ‘Dark age’ atau era kegelapan. Renaissance telah menjadikan ilmu mengalami perubahan dan pergeseran arti beserta definisinya. Jauh ratusan tahun silam sebelum era kebangkitan eropa umat manusia baik ulama maupun filosof sepakat mendefinisikan ilmu sebagai ‘Sebuah pengetahuan tentang sesuatu yang sesuai kenyataan dan dibuktikan menggunakan dalil atau argumentasi’. Artinya, tidak ada limitasi apakah ia pernah terbukti melalui panca indra atau tidak, empiristik atau tidak. Namun, semenjak era renaissance, kemudian lanjut pencerahan eropa, modern, post-modern hingga sekarang ilmu benar-benar lepas dari makna asalnya. Jauh meninggalkan jati dirinya. Ilmu tidak lagi diartikan sebagai sesuatu yang universal dan komprehensif. Ilmu telah bertranformasi ke bentuk yang lebih sempit, limited dan terbatas terhadap hal-hal yang serba empiristik atau fisik. Di luar itu tidak dikatakan ilmu atau tidak ilmiah. Maka tak heran bila dalam pandangan Syed Naquib al-Attas “Peradaban eropa telah membuat ilmu menjadi problematis”. Sekalipun peradaban eropa (Barat) juga menghasilkan ilmu bermanfaat. Namun, peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia.
Kedua: Perbedaan Epistemologi
Faktor kedua ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari faktor pertama. Sebab, bila ilmu dalam kaitannya dibatasi terhadap hal-hal yang bersifat materi, empiris atau fisik, sudah tentu akan berkonsekuensi pada epistemologi atau sumber perolehan ilmu atau pengetahuan.
Dalam hal ini, satu-satunya epistemologi tersebut adalah panca indra; tidak kurang dan tidak lebih. Maka tentang keberadaan surga, neraka, dan hal-hal ghaib lainnya, dianggap sekadar mitologi atau ilusi transenden belaka, yang absen dari alam nyata dan tidak dapat dikatakan ilmiah. Sebab, ilmu hanya merujuk dan berorientasi pada unsur-unsur empiristik-materialistik.
Berbeda dengan Barat, Islam memiliki epistemologi yang super lengkap, tidak minus dan tidak parsial. Sebagaimana sudah maklum, Islam memiliki satu epistemologi yang tidak dimiliki oleh Barat, dan barangkali hanya Islam yang memiliknya, yaitu khabar shadiq. Yakni proses di mana seseorang sampai pada suatu pengetahuan melalui pemberitaan seseorang yang memang dapat dipercaya, bisa karena jumlah pihak sumber berita yang secara akal-rasio mustahil mereka berdusta secara bersamaan (mutawatir), atau berupa sumber individu yang memang dipastikan (diyakini) keabsahannya, semisal Nabi atau al-Qur’an, yang merupakan kalam Allah, dan dipastikan kebenarannya.
Hanya kemudian, apa yang terkadang membuat seorang itu ragu pada kenyataan tersebut adalah pertanyaan, “Apakah khabar shadiq betul-betul bisa dijadikan pijakan? Untuk pertanyaan itu, tidak membutuhkan jawaban. Sebab faktanya, manusia dalam kesehariannya telah terlibat dalam proses serah-terima ilmu via khabar.
Sebagai contoh, ketika seorang yang sepanjang usianya hidup di pedesaan dan hanya mengetahui bahwa suatu kendaraan baru bisa bergerak bila ditarik oleh seekor hewan, lalu datang sejumlah orang dari kota menemuinya, memberitahukan bahwa di seberang kota sana terdapat kendaraan yang bisa bergerak meski tanpa ditarik seekor hewan. Masing-masing dari mereka membenarkan apa yang disampaikan oleh temannya itu. Maka apa kemungkinan terbesar tanggapan lelaki pedesaan tersebut? Tentu ia akan menerima fakta itu, meski ia sendiri belum pernah melihat atau menyaksikannya. Sebab mungkin terjadinya kebohongan bagi mereka sangat nihil, berupa kesamaan informasi yang dibawa oleh sejumlah orang yang datang dari daerah yang berbeda-beda.
Bila kita mau berfikir lebih cermat, terdapat banyak hal yang kita yakini keberadaannya, padahal tidak pernah kita temukan atau rasakan secara kasat mata melalui panca indra kita. Apa itu? Ide atau pikiran. Adakah yang pernah melihat, mendengar atau bahkan merabanya? Tidak ada, samasekali tidak. Ini membuktikan bahwa tak semua sesuatu yang wujud harus tampak dalam bentuk yang dikenali oleh panca indra, kenapa? Karena memang faktanya demikian, semua tidak harus serba empiristik. Dari sini kita tahu bahwa pertentangan itu tidak terjadi antara ilmu dengan Agama melainkan antara epistemologi Barat dengan epistemologi yang ada dalam Agama.
Abdul Jalil | Annajahsidogiri.ID