Hukum Menegakkan Syariat
Belakangan ini, jika kita sebut kata ‘Penegakan syariat’, hal pertama yang terbesit dalam benak kita adalah kaku, kasar, radikal dan tidak mau menerima hal baru. Seakan-akan kita tergiring untuk memaknai kata ‘syariat’ dengan hal-hal negatif. Padahal, sebagaimana pernyataan Sayid Muhamad bin Alawi al-Maliki, semua umat Islam wajib mempunyai keinginan untuk memberlakukan syariat ke dalam kehidupan kita (Syarî’atullah al-Khâlidah, hal.9). Minimal jika kita benar-benar belum bisa menegakkan, kita masih wajib punya keinginan (‘azm).
Baca Juga: Mitoni; Antara Adat dan Syariat
Jika kita perhatikan, sepertinya media saat ini menggiring opini bahwa jika kita tegakkan syariat maka akan terjadi chaos. Sehingga, jika kita sebut kata ‘syariat’ maka yang terlintas dalam pikiran kita adalah had, kisas, khilafah dan hal-hal lain yang penerapannya tidak memungkinkan untuk Indonesia. Dan akhirnya, akan terjadi chaos. Padahal, kata syariat memiliki arti yang sangat luas dari beberapa arti tersebut. Dalam memperjuangkan syariat, ulama juga mempertimbangkan maslahah dan mudharat yang akan terjadi.
Sehingga, kita tidak bisa langsung memaknai kata ‘NKRI Bersyariah’ dengan hal yang negatif. Yang ulama maksud dalam ‘memperjuangkan syariat’ adalah memformalkan hukum-hukum Islam yang memiliki kemungkinan besar diterapkan di Negara Indonesia. Perlu kita, pertimbangan utama ulama dalam menerapkan hukum adalah persatuan umat. Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi menyatakan:
“Negara manapun, tidak akan tegak tanpa dasar persatuan umat” (Fiqhus-Sîrah an-Nabawiyah, hal.157)
Pola Penerapan Syariat
Menurut Nahdhatul Ulama, pola penerapan syariat di Indonesia terbagi menjadi tiga. Yaitu secara formal (rasmiyah), substantif (dzâtiyah) dan esensial (rûhaniyah) (Lihat: Hasil-Hasil Muktamar ke-32 Nahdhatul Ulama hal.248). Berikut adalah penjelasannya:
Pertama, secara formal (rasmiyah). Formal artinya penerapan hukum secara resmi dalam undang-undang negara. Menurut NU, ada beberapa hukum Islam yang sangat perlu dimasukkan dalam perundang-undangan negara. Dan undang-undang ini hanya berlaku bagi umat Islam. Seperti zakat, wakaf, peradilan agama, haji, hukum waris, wasiat, hibah dan transaksi perbankan maupun ekonomi syariah pada umumnya. Tentu hal ini tidak akan berpotensi mengganggu atau mendiskriminasi agama lain, karena tidak akan mengurangi hak-hak warga negara lainnya. Nah, hukum Islam semacam ini tentu sangat patut kita perjuangkan agar menjadi hukum nasional secara formal.
Kedua, substantif (dzâtiyah). Substantif artinya penerapan inti dari hukum Islam itu sendiri. Maka ada beberapa inti hukum Islam yang perlu kita perjuangkan agar maslahah dan nilai-nilai hukum tersebut bisa dirasakan di Indonesia. seperti halnya pelarangan pornografi, perjudian, penyalahgunaan narkoba, korupsi, perusakan lingkungan, pelacuran dan sebagainya.
Ketiga, secara esensial (Rûhiyah/Jauhariyah). Maksud esensial adalah hakikat atau hal pokok dari penerapan hukum yang berlaku. Seperti halnya jinâyât yang secara formal hukum belum bisa teraplikasikan untuk Indonesia. Ulama tetap memperjuangkan esensi hukum jinâyât ke dalam undang-undang. Misalnya dalam hukum pidana terhadap zina (ghairu muhshan) yang dalam KUHP tidak teranggap sebagai pidana. Maka harus kita perjuangkan agar menjadi delik pidana. Tapi dengan menggunakan hukuman ta’zîr (Menjadi Islam, Menjadi Indonesia, hal.22). Wallahua’lam.
Abdul Muid|Annajahsidogiri.id
Comments 0