Perang yang Rasulullah lakukan bersama para shahabatnya pada zaman dulu merupakan momentum yang tidak bisa kita lupakan. Misalnya, perang Badar yang terjadi pada tahun 2 hijriah. Dalam perang itu, terjadi pertempuran antara pasukan Muslimin dan pasukan kafir Quraisy, yang pada akhirnya peperangan dimenangkan oleh kaum Muslimin atas pertolongan Allah, hal ini Allah sebutkan dalam al-Quran:
(آل عمرن [٠٣]: ١۲٣) وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ ٱللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنتُمْ أَذِلَّةٌ
Dan sungguh, Allah telah menolong kamu dalam perang Badar, padahal kamu dalam keadaan lemah. (QS. Âli Imrân [03]: 123)
Namun, masih banyak orang yang tidak paham mengenai peperangan dalam agama Islam, utamanya jika dibenturkan dengan ayat berikut:
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ (البقرة [٠۲]: ۲٥٦)
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). (QS. al-Baqarah [02]: 256)
Mereka memberi kesimpulan bahwa ayat barusan sangat bertentangan dengan peperangan yang sahabat lakukan di zaman dulu. Mereka selalu bertanya bagaimana bisa peperangan terjadi pada zaman dahulu. Padahal, dalam peperangan mengandung pemaksaan untuk masuk Islam? Bukankah, ayat barusan menjelaskan bahwa tidak boleh ada paksaan untuk masuk Islam?
Maka untuk menjawabnya, ada beberapa hal yang perlu kita ketahui:
Tafsir Surah al-Baqarah 256
Ada beberapa penafsiran yang ulama lontarkan tentang ayat yang menjelaskan bahwa tidak ada paksaan dalam agama Islam. Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat tersebut dinasakh dengan ayat perang. Namun, sebagian yang lain mengatakan tidak. Salah satunya ialah Sayid Thanthawi, yang semasa hidupnya pernah menjadi Grand Syekh al-Azhar.
Beliau berpendapat ayat tersebut tetap berlaku dan tidak dinasakh oleh ayat perang. Hemat beliau, Islam itu tidak tersebar melalui jihad, sesuai ayat di atas. Sebab, selain karena berbeda konteks dengan ayat jihad. Dalam ayat tersebut mengindikasikan bahwa berislam melalui peperang itu tidak boleh. Peperangan yang Rasulullah lakukan kepada orang-orang Arab ketika itu bukan atas dasar memaksa mereka untuk memeluk Islam. Namun, untuk menjaga diri dari mereka yang menghunus pedang terlebih dahulu.[1]
Hal ini juga mendapatkan dukungan dari Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya tafsirnya, al-Wasîth, beliau menyebut ayat di atas dengan sebutan “al-hurriyah ad-dîniyyah fîl-Islam” (kebebasan beragama dalam Islam). Menurut beliau, ayat ini sekaligus menolak orang-orang yang mengatakan bahwa Islam tersebar melalui perang. Sebab, peperangan yang terjadi pada zaman Rasulullah tidak lain untuk membela diri dan mempertahankannya dari siksaan dan gangguan kaum Musyrikin.[2]
Perang pada Zaman Nabi
Dalam permasalahan kali ini, kita perlu mengetahui bagaimana prosedur perang dalam Islam.
Allah berfirman:
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَٰتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا۟ ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ (الحج [۲۲]: ٣۹)
Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (QS. al-Hajj [22]: 39)
Dalam ayat tersebut sangat jelas bahwa Allah mensyariatkan perang ketika umat Islam sedang terpuruk oleh gangguan kaum Musyrikin. Saat itu Muslimin harus berperang untuk menyelamatkan diri dan agama. Lebih tepatnya, orang musyrik Makkah-lah yang memancing umat Islam untuk berperang. Mereka yang menyebabkan Rasulullah hijrah, mereka mengusir beliau dan membatalkan perjanjian dengan beliau. Akibatnya, Allah langsung mengizinkan kaum Muslimin untuk berperang, untuk menjaga diri dari hinaan, cacian dan siksaan dari orang-orang kafir pada waktu itu.
Baca Juga: Jihad Tidak Melulu Perang
Kesimpulannya, bahwa tidak bisa kita bentrokan antara ayat yang menjelaskan tiada paksaan dalam memeluk agama Islam dengan ayat jihad. Sebab, sebagaimana dijelaskan oleh Sayid Thanthawi dan Syekh Wahbah az-Zuhaili, Islam tersebar bukan dengan pedang(perang). Sedangkan, jihad yang dilakukan Nabi dan shahabat tidak lain hanya untuk menjaga diri, agama dari siksaan orang-orang kafir pada masa itu, bukan untuk memaksa mereka untuk memeluk Islam. Wallâhu a‘lamu bish-shawâb.
Moh Zaim Robbani | Annajahsidogiri.id
[1] Muhammad Sayyid Thanthawi, at-Tafsîr al-Wasîth lil-Qur’ân al-Karîm, juz 1 hlm. 590.
[2] Dr. Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsîr al-Wasîth, juz 3 hlm. 148.