Semua problem orang-orang liberal berakar dari menggunakan tafsir hermeneutika, karena ketika al-Quran ditafsiri dengan sebebas-bebasnya maka muncullah sebuah penafsiran yang sangat melenceng dari kebenaran. Toh, penafsiran itu sendiri masih perkara yang tidak pasti. Sebenarnya tujunnya mereka baik. Yakni, untuk menuntaskan problem sosial yang terjadi di masyarakat. Sebab menurut mereka dalam al-Quran pasti ada solusi. Hanya saja mereka terlalu memaksakan diri seperti masalah LGBT, kesetaraan dan sebagainya.
Baca Juga: Hermeneutika Versus Tasfir al-Quran
Dalam sabdanya nabi berkata yang artinya, “Barang siapa yang menafsiri al-Quran dengan pendapatnya sendiri maka dia akan ditempatkan di neraka.” Begitu juga Hermeneutika yang menafsiri al-Quran dengan seenaknya. Walaupun Hermeneutika sendiri bermacam-macam jenisnya. Mereka para liberalis seringkali memelintir ayat-ayat al-Quran. Semisal dalam masalah LGBT yang mana hal ini dimasukkan dalam ranah HAM (Hak Asasi Manusia). Mereka berkicau, “Memang Allah melaknat kaum Nabi Luth sebab mereka mencintai sesama jenis. Hal tersebut karena mereka tidak diikat dengan tali pernikahan. Beda halnya jika diterapkan di zaman sekarang, asal dengan menikah, maka tidak masalah.”
Mereka seenakanya menafsiri ayat:
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُون
Artinya: “Sungguh kalian telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama laki-laki bukan kepada perempuan. Bahkan kalian kaum yang melampai batas. (QS. Al-A’raf [7]:81).
Dalam tafsir Khazin disebutkan, mereka (kaum Luth) melampai batas yang diperbolehkan kepada yang terlarang. Maka Allah mencela dan menghinakan mereka. Karena Allah menciptakan manusia dan memberikan syahwat nikah di dalam dirinya semata-mata untuk berkelanjutannya hidup keturunan, berlangsungnya kehidupan dunia, dan menjadikan wanita sebagai objek syahwat dan posisi keturunan. Sedangkan laki-laki bukanlah tempat melahirkan. Dan yang dimaksud manusia di atas adalah kaum Nabi Luth.
Mereka juga sering mengungkit masalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan baik dalam ranah warisan, menjadi pemimipin, sampai dalam ranah cara membersihkan kencing antara keduanya. Padahal Allah telah berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Artinya: Laki-laki (suami) adalah pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan mereka (laki-laki) dari sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. (QS. An-Nisa [4]:34).
Memang dalam warisan, bagian laki-laki lebih banyak dari perempuan, hal tersebut disebabkan seoarang laki-laki berkewajiban menafkahi keluarganya. Sedangkan perempuan tidak wajib mencari nafkah untuk itu. Hal demikian sudah mengangkat derajat perempuan toh bagian antara keduanya tidak sama. Pada masa Jahiliah sebelum datangnya Islam perempuan sangat dihinakan dan dicampakkan, ketika ada keluarga yang meninggal perempuan tidak mendapatkan warisan sedikit pun. Setelah Islam datang, perempuan diangkat derajatnya dengan mendapatkan warisan dan hak-haknya yang lain.
Baca Juga: Menafsirkan al-Quran dengan Hermeneutika, Bisakah?
Maka dari itu tidak semua orang bisa menafsiri al-Quran. Jika ia hendak menafsiri al-Quran harus memenuhi syarat yang sudah ditentukan seperti dengan meninjau pendapat para sahabat yang menyaksikan langsung ayat-ayat yang diturunkan dan ulama salaf yang sangat berhati-hati dalam berijtihad untuk suatu permasalahan. Dengan demikian, seseorang tidak akan semena-mena dalam mengambil sebuah keputusan untuk dijadikan sebuah hukum. Wallahu a’lam.
M Nuril Ashabi Lutfi | Annajahsidogiri.id