Pada artikel sebelumnya telah kita lihat nasib malang perempuan di luar Islam, serta cara Islam mengubah nasib mereka menjadi lebih baik dan lebih bermartabat di dunia.
Hanya dari semua penjelasan yang telah dibahas dari awal mungkin masih tersisa kejanggalan yang masih belum terpecahkan: Mengapa dalam aturan syariat Islam, wanita selalu dibedakan dari laki-laki? Mengapa hukum-hukum syariat yang mengarah kepada kaum hawa terkesan begitu berat dan sangat ketat, seperti contoh batasan aurat? Mengapa mereka harus terikat dengan semua itu? Bukankah lebih baik jika mereka hidup bebas seperti perempuan Barat?
Mungkin akan sedikit rumit jika kita ingin menuntaskan persoalan itu dengan menggunakan akal. Karena memang tidak semua hukum yang ditetapkan dalam syariat Islam, bisa dinalar secara konkret dan jelas oleh akal yang kemampuannya sangat terbatas. Paling-paling akal hanya bisa menjangkau hikmah di balik pemberlakuan hukum tersebut. Hal itu pun, hanya bisa dilakukan oleh para ulama yang kapasitas ilmu agamanya mendalam dan tak diragukan lagi. Nah, dari penalaran yang dilakukan oleh para ulama, kita menjadi mengerti bahwa pasti ada berjuta bulir hikmah yang tersimpan di balik hukum yang telah ditetapkan Allah kepada seluruh hamba-Nya.
Misalnya hikmah di balik kewajiban menutup aurat. Karena aturan tersebut, akhirnya wanita bisa terjaga dari pandangan liar dan tidak lagi diusik lelaki jalang. Andai perempuan tak menutup aurat, maka bukan hanya akan menjadi korban pelecehan, tetapi juga akan ditindak diakhirat karena telah menyalahi aturan syariat.
Baca Juga: Bahaya tak Bermazhab Bagi Atta Halilintar
Misalnya lagi, mengapa syariat Islam melarang wanita untuk melakukan poliandri (wanita menikahi lebih dari satu suami)? Alasannya karena poliandri akan berdampak tidak jelasnya nasab si anak. Selain itu, secara fitrah, wanita memang tidak mampu untuk mengurusi lebih dari satu suami. Ia tidak akan mampu untuk melerai pertengkaran yang terjadi di antara suaminya. Oleh karena semua itu, poliandri dilarang oleh agama Islam. Dalam pembahasan hikmah ini, Syekh Ahmad al-Jurjâwi telah menulis secara lengkap dalam kitab Hikmatut-Tasyrî’ wa Falsafatuhu.
Secara umum jawaban dari semua pertanyaan di atas juga pernah disinggung oleh al-Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab al-Hikam. Beliau menjelaskan bahwa sebenarnya semua aturan Allah yang dibebankan kepada manusia, baik berupa perintah atau larangan, manfaatnya akan kembali pada mereka sendiri. Karena Allah sama sekali tidak membutuhkan aturan itu. Lebih jelasnya beliau menulis seperti ini:
لَا يَنْفَعُهُ طَاعَتُكَ وَلَا يَضُرهُ مَعْصيتُكَ وَانمَا امَركَ بهَذه ونَهاَكَ عَن هذه لِمَا يَعُودُ الَيْكَ
“Bagi Allah ketaatanmu tak ada gunanya dan maksiatmu tidak memberi bahaya. Allah memerintahkanmu begitu dan melarangmu begini, tak lain karena manfaat yang kembali pada dirimu sendiri.”
Al-Imam Ibnu al-Jauziyah dalam kitab I’lamul-Muwaqqi’in juga pernah menuturkan:
فَإِنَّ الشَّرِيْعَةَ مَبْنَاهَا وَأَسَاسُهَا علَى الحِكَم وَمَصاَلِحِ الْعِبَادِ فِى الْمَعَاشِ وَالْمَعَادِ. وَهيَ عدْلٌ كُلُّهَا, وَرَحْمَةٌ كلها, وَحكْمَةٌ كلُّهَا
“Semua syariat Islam dibangun di atas pondasi hikmah dan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Syariat adalah keadilan sepenuhnya, rahmat seluruhnya, dan hikmah seutuhnya.”
Dari penuturan Syekh Ibnu Athaillah dan Imam Ibnu al-Jauziyah tadi dapat kita pahami bahwa semua syariat Islam baik berupa perintah ataupun larangan, pasti memiki hikmah yang terpendam. Semua kemanfaatan diberlakukannya hukum-hukum tersebut murni kembali kepada orang yang mengerjakan. Karena Allah sama sekali tidak membutuhkan ketaatan kita. Bahkan jika kita membangkang perintahnya, sejatinya sama sekali tidak akan berbahaya kepada Allah.
Ilwa Nafis Sadad | Annajahsidogiri.id