“Tidak ada daun yang jatuh dari tangkainya kecuali sudah ditetapkan oleh Allah sejak zaman azali”
Kira-kira begitulah sepenggal kalimat yang nyata kebenarannya tanpa adanya kekeliruan. Memang sejatinya segala hal yang sudah terjadi, yang sedang dijalani, dan yang akan dilalui, semuanya itu tidak akan luput dari catatan Allah di Lauhul Mahfûdz. Hal itu merupakan salah satu hal yang wajib diimani oleh setiap insan, lantaran tidak bisa dibilang sempurna iman seseorang kecuali sudah meyakini atau mengimani adanya qada dan qadar Allah, baik berupa kebaikan atau pun keburukan, sebagaimana bunyi hadis yang direkam oleh shahabat Umar dalam kitab Arba’în an Nawawî disebutkan:
Baca Juga: Pentingnya Memahami Qada Dan Qadar
“Iman ialah percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdir-Nya, yakni yang baik dan buruk”.
Untuk berdialog terkait qada dan qadar secara luas, alangkah baiknya bila kita mengidentifikasi terlebih dulu apa itu qada, dan apa itu qadar? “Qada adalah pengetahuan Allah pada segala sesuatu yang akan terjadi secara mutlak di zaman azali. Sementara qadar yaitu terjadinya segala sesuatu itu dalam kehidupan, dan pastinya hal itu mencocoki dengan qada Allah di zaman azali tadi”. Begitulah penjelasan yang diurai oleh Syekh Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya al-Insân Musayyar am Mukhayyar hal. 209dan kitab Kubra al-Yaqîniyât al-Kaunîyah hal. 160. Ada pula yang memahami qada dan qadar dengan arti sebaliknya dari definisi di atas, yakni qadar diartikan pengetahuan Allah akan segala hal dari zaman azali. Sedangkan qada ialah bentuk realisasi segala sesuatu tadi sesuai dengan ilmu Allah. Pemahaman ini merupakan pendapat golongan Maturidiah. (Tuhfatul-Murîd, hal. 76).
Nah, dari ulasan barusan, kemudian melahirkan sebuah pertanyaan. Apakah qadar Allah dapat menyalahi qada-Nya? mengingat ada hadis yang berbunyi, “Tidak ada yang dapat memanjangkan umur kecuali perbuatan baik, dan tidak ada yang bisa mengubah takdir kecuali doa. Seorang benar-benar terhalang rezekinya kalau ia mengerjakan dosa”. (HR. Ibnu Majah no. 87)
Syekh Ibrahim al-Bajuri dalam kitabnya yang bertajuk Tuhfatul-Murîd Alâ Jauharatit-Tauhîd menegaskan:
وانْقِسامٌ القَضاءِ إلى مُبْرَمٍ ومُعَلّقٍ ظَاهِرٌ بحَسَبِ اللَوْحِ المَحفُوظِ وأمّا بِحَسَبِ العِلْمِ فَجَميْعُ الأَشْياءِ مُبْرَمَةٌ لأنّهُ إن عَلِمَ اللهُ حُصُولَ المُعَلّق عليه حَصَلَ المُعَلّقُ ولا بُدّ وإنْ عَلِمَ اللهُ عدَمَ حُصولِهِ لَم يَحْصُل ولَا بُدّ لَكِن لَا يَتْرُك الشَخْصُ الدّعاءَ اتْكالاً على ذَلِكَ كما يَتْرُكُ الأَكْلَ اِتْكَالاً على إِبْرامِ اللهِ الأمر فِى الشّبعِ
“Pembagian Qada menjadi mubram dan muallaq itu jelas dengan meninjau Lauh Mahfûzh. Adapun dari sisi ilmu Allah, semua sesuatu itu bersifat mubram karena ketika Allah mengetahui datangnya keputusan muallaq, maka hasillah muallaq tersebut, dan itu sudah pasti. Dan ketika Allah mengetahui ketiadaan keputusan muallaq, maka tiadalah muallaq tersebut. Akan tetapi manusia tidak boleh meninggalkan doa hanya karena bersandar pada keputusan Qada tersebut sebagaimana larangan seseorang untuk meinggalkan makan karena bersandar pada putusan Allah perihal kenyang”. (Tuhfatul-Murîd, hal.102). Bersambung ke edisi selanjutnya…
Ismail | Annajahsidogiri.id