Opini dan gagasan ini saya tulis berdasarkan kesimpulan sebuah diskusi yang saya lakukan dengan beberapa orang di telegram. Beberapa hari yang lalu saya sempat melakukan diskusi panjang yang kebetulan membahas epistimologi filsafat, dengan keterbatasan pengetahuan saya tentang filsafat akhirnya saya lebih banyak menyimak dan membaca satu persatu gagasan mereka. Namun, suasana tiba-tiba berubah menjadi semacam “konflik” tentu bukan sebuah pertikaian melainkan debat opini yang semula membahas epistimologi kemudian mengalir begitu saja pada topik yang menurut saya negatif. Saya bertindak sebagai oposisi pandangan tersebut, topik yang diperbincangkan pun bukan mengenai filsafat modern seperti yang dikenal sebelumnya, akan tetapi beralih menjadi pandangan liberalisme yang mana saya tidak setuju dengan konklusinya. Oleh karena itu akan saya tampilkan beberapa kesimpulan dan bantahan saya terhadap mereka.
Pertama
Pandangan mereka terhadap hijab. Hijab adalah salah satu syariat islam yang telah, final jumhur ulama menyatakan bahwa wanita wajib berhijab. Meskipun begitu ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa hijab bukanlah sebuah kewajiban melainkan anjuran saja, pendapat ini diwakili oleh syeikh al-asymawy di dalam _laysa al-hijab faridhatan._ tentu saya tidak akan membahasnya di sini sebab ini merupakan ranah fikih yang bersifat khilaf walaupun mendapat bantahan keras dari jumhur al-azhar.
Adapun yang saya sesalkan bukan pendapat seorang ulama mengenai hijab, tapi pandangan subjektif seseorang yang kemudian disebarkan ke publik, ini jelas-jelas keliru. Sebab pendapat subjektif seperti itu bukanlah konsumsi publik. Dia beralasan bahwa jilbab tidak wajib karena secara teori silogisme (gabungan beberapa premis dan divalidasikan dengan konklusi) menghasilkan kesimpulan tidak wajib. Ini salah besar. Mengapa demikian? Karena di dalam syariat telah ada alat yang digunakan sebagai parameter untuk memutuskan hukum yakni ushul fikih, bukan silogisme aristoteles. Saya rasa pendapat lawan bicara saya itu terlalu arogan dan terkesan memaksa sehingga dia tidak lagi menemukan hujjah untuk memperkuat argumentasinya mengenai hijab.
Kedua
mengenai makna liberalisme dan pluralisme. Mereka beralasan bahwa kebebasan berpikir tidak memiliki batas yang menghalangi untuk berpikir logis demi menemukan sebuah kebenaran. _”saya orang liberal, artinya orang yang merdeka berpikir,”_ dengan bangga dia mengklaim sebagai orang yang merdeka secara berpikir. Kita sepakat bahwa arti liberal secara literal adalah bebas, tidak terbatas oleh tuntutan apa pun. Hal ini sama sekali tidak kita permasalahkan tentu hal tersebut sangat didukung bila objek kajiannya adalah fisika, filsafat, dan kajian yang bukan melibatkan doktrin keagamaan tertentu. Masalahnya timbul bila “berpikir bebas” dijadikan kedok untuk medekonstruksi syariat islam seperti kasus jilbab di atas, hal tersebut tidak akan pernah bisa ditoleransi hanya karena beralasan kebebasan berpikir.
Baca Juga: Hijab Bukan Hasil Budaya Arab
Di dalam syariat telah diatur mengenai hukum dan subjek hukum, akal memang berperan penting bagi keberlangsungan hidup manusia tetapi syariat bukanlah sesuatu yang bisa dibuat akal-akalan ada etika yang perlu diterapkan dalam berpikir, tidak semuanya cocok dijadikan objek “pemikiran liberal” seperti tadi. Selanjutnya mengenai istilah “pluralisme”. Ketika membayangkan kata tersebut yang ada di dalam benak adalah pencampur-adukan ritus keagamaan, dan hal-hal semacamnya. Lawan bicara saya berkata _”mengapa kata pluralisme begitu dibenci? Apakah karena tidak memahami apa arti pluralisme yang sebenarnya?,”_ ungkapnya. Saya akan mengatakan, bahwa pluralisme yang kita tolak bukanlah kemajemukan atau pun ragam sosial yang begitu banyak, melainkan pluralisme teologis dan aspek-aspek pokok agama (ushul al-din). Akan sangat naif sekali bila yang dijadikan polemik adalah istilahnya saja tanpa melihat konflik dan konteks yang sedang berlaku saat ini.
Baca Juga: Artikel Lain Tentang Liberal.
Saya menolak pluralisme yang dihubungkan dengan sinkretisme yang merupakan perpaduan beberapa ajaran yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan, dan sebagainya. Dia berkata lagi _”sinkretisme keyakinan ibarat sebuah pecahan cermin yang dijadikan satu, masing-masing dari cermin tersebut adalah kebenaran.”_ saya menjawabnya dengan mengatakan bahwa setiap agama memiliki prinsip yang berbeda, perbedaan tersebut mustahil bisa disatukan. Kita menerima pluralitas sebagai fakta sosial bukan teologis, buktinya umat islam dengan nasrani bisa hidup berdampingan tanpa ada konflik sosial yang mencampur-adukkan keyakinan mereka. Umat islam boleh berkeyakinan bahwa agama yang benar adalah islam sementara yang lain salah, sementara umat nasrani juga tidak dilarang mengklaim hal yang sama selama hanya terbatas pada keyakinan bukan sebuah tindakan yang bisa memicu konflik. Pendapat yang saya kemukakan ini pun masih belum sepenuhnya diterima padahal tidak ada satu pun agama di dunia ini yang mengadopsi pluralisme teologis kecuali beberapa aliran sesat yang muncul dalam skala kecil.
Sebenarnya masih banyak lagi yang ingin saya tulis namun karena keterbatasan space dan media yang digunakan maka saya cukupkan pada dua konklusi di atas, dan akan dilanjutkan di tulisan berikutnya, insyaallah.
Dimas Aji Suharbillah | Annajahsidogiri.id