Setelah dijelaskan pada beberapa tulisan sebelumnya, bahwa hakikat Ahlusunah wal-Jamaah adalah kemurnian dan keutuhan ajaran Islam yang telah dijalankan oleh Nabi dan para sahabat, lalu ajaran itu diwarisi oleh generasi selanjutnya dan generasi yang selanjutnya lagi, terjaga secara berkesinambungan, maka disimpulkan bahwa dengan demikian tidak tepat jika Ahlusunah wal-Jamaah dipersepsi sebagai salah satu sekte yang muncul dari dalam tubuh umat Islam. Tidak tepat pula persepsi bahwa al-Imam al-Asy’ari dan al-Maturidi membangun konsep yang baru sama sekali, melainkan bahwa beliau berdua hanya merumuskan akidah yang telah ada sejak zaman Rasulullah dan diikuti oleh mayoritas umat Islam. Bahkan akhir-akhir ini perebutan lebel Moderat antar oknum tidak bisa di bendung lagi, lantas siapakah pemegang label Moderat itu?
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka tidak benar jika ada anggapan bahwa pandangan-pandangan konseptual Ahlusunah wal-Jamaah sepenuhnya merupakan reaksi dari pandangan-pandangan yang dilontarkan oleh sekte-sekte yang telah ada sebelumnya. Misalnya, sekte A memunculkan satu pandangan yang ekstrem kanan, lalu muncul sekte B memunculkan pandangan yang ekstrem kiri, karena itu sebagai reaksi dari dua kutub pandangan yang berlawanan itu, maka tampil Ahlusunah wal-Jamaah yang memunculkan pandangan ketiga, untuk menengah-nengahi kedua pandangan ekstrem yang telah ada sebelumnya.
Nah, jika kita memahami bahwa hakikat Ahlusunah wal-Jamaah adalah ajaran Islam yang diikuti oleh mayoritas umat, di mana ajaran itu telah ada sejak periode Nabi dan para sahabat beliau, maka itu artinya bahwa apa yang dilakukan oleh al-Imam al-Asy’ari (dan para ulama Aswaja yang lain) tak lebih dari sekadar mengetengahkan kembali hakikat ajaran itu dengan hujah yang kuat dan nalar yang logis. Dan, ketika ajaran itu kembali diketengahkan dengan landasan dan nalar ilmiah, maka ia menghasilkan kesimpulan yang lurus, moderat, wasatiyyah, i’tidal; tidak esktrem kanan juga tidak ekstrem kiri.
Baca Juga: Mengapa Asy’ariyah dan Maturidiyah?
jika setiap poin dari ajaran Islam Ahlusunah wal-Jamaah dihadap-hadapkan dengan pandangan sekte-sekte sempalan, maka hasilnya akan selalu menempatkan pandangan Ahlusunah wal-Jamaah sebagai pandangan yang lurus dan moderat; tidak ekstrem kanan maupun kiri, sehingga pada akhirnya “at-tawassuth wal-i’tidal” (moderat) dikenali sebagai ciri khas pandangan Ahlusunah wal-Jamaah.
Alhasil, di sini bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud “at-tawassuth wal-i’tidal” itu bukan sekadar moderat. Karena moderat itu tak lebih dari sekadar gambar yang ditangkap ketika pandangan Ahlusunah wal-Jamaah dihadap-hadapkan dengan pandangan di luarnya. Bahkan lebih tepatnya, maksud dari “at-tawassuth wal-i’tidal” di sini tak lain adalah “pandangan yang benar dan lurus yang merupakan hakikat dari ajaran Islam”. Gampangnya, yang dimaksud “Aswaja Itu Moderat” adalah Aswaja itu kelompok yang benar, sedangkan yang lain telah menyimpang dari jalur yang benar itu, baik menyimpangnya sedikit, hampir parah, atau sangat parah; baik menyimpang ke kanan maupun ke kiri.
Hal demikian karena makna dari “al-‘adl” itu adalah “al-istiqamah”, yakni tegak-lurus. Jika sesuatu sudah tidak lurus, condong ke kanan maupun ke kiri, maka ia sudah keluar dari sifat al-‘adl secara total. Karena itu, di sini tidak mungkin didapati al-‘adl atau ‘adalah yang relatif. Jika seorang Muslim sudah menyimpang dari manhaj al-‘adalah, maka berarti ia sudah menyimpang dari titian yang benar. Dan, ketika seseorang sudah menyimpang dari manhaj al-‘adalah, maka posisi yang ditempatinya adalah posisi yang merupakan kebalikan dari al-‘adalah, yakni azh-zhulm (kezaliman). Hal demikian karena yang dimaksud “at-tawassuth wal-i’tidal” itu adalah “pandangan yang benar dan lurus yang merupakan hakikat dari ajaran Islam”.
Setelah kita memahami uraian di atas, kini mari kita masuk ke dalam beberapa sampel, untuk lebih memperjelas dan mempertegas kesimpulan yang sudah kita dapat: ketika muncul sekte Jabariyah yang punya pandangan ekstrem kanan tentang Qadha’ dan Qadar, lalu setelah itu muncul sekte Qadariyah yang punya pandangan ekstrem kiri tentang Qadha’ dan Qadar, maka rumusan al-Imam al-Asy’ari (Ahlusunah wal-Jamaah) tentang Qadha’ dan Qadar yang berada di tengah-tengah pandangan ekstrem kanan dan kiri itu (“at-tawassuth wal-i’tidal”), tak lain adalah hakekat ajaran Islam yang benar, yang telah ada sejak zaman Nabi dan sahabat, dan diimani oleh mayoritas umat Islam (as-Sawadul-A’zham).
Ketika muncul kelompok yang terlalu mencintai Sayyidina Ali dan Ahlul-Bait hingga mendorong mereka mencaci-maki para sahabat (dikenal dengan kelompok Syiah Rafidhah), lalu setelah itu muncul kelompok yang memuji-muji para sahabat secara khusus dan malah merendahkan Sayyidina Ali dan Ahlul-Bait (dikenal dengan kelompok Nawashib), maka al-Imam al-Asy’ari menegaskan bahwa Ahlusunah wal-Jamaah mencintai dan menghormati Sayyidna Ali dan semua Ahlul-Bait, serta mencintai dan menghormati seluruh sahabat tanpa terkecuali. Pandangan Ahlusunah wal-Jamaah ini adalah pandangan yang benar, yang berada di tengah-tengah dua pandangan yang keliru (“at-tawassuth wal-i’tidal”). Dan pandangan ini sudah ada sejak zaman Nabi dan sahabat, serta menjadi keyakinan mayoritas umat Islam (Ahlusunah wal-Jamaah).
Ketika kini kita mendapati kelompok yang gemar membidahkan, mengkafirkan, dan bahkan mensyirikkan sekian banyak amaliah yang dilakukan oleh umat Islam (ekstrem kanan, seperti Wahabi), lalu dari sisi yang berlawanan muncul pula kelompok yang justru menoleransi sekian banyak pemikiran, amaliah dan tradisi kemungkaran bahkan menoleransi kesyirikan (ekstrem kiri, liberal), maka Ahlusunah wal-Jamaah berdiri di tengah-tengah, tegak lurus dalam kebenaran (“at-tawassuth wal-i’tidal”); tidak mudah membidahkan, mengkafirkan, atau mensyirikkan, namun juga tidak menoleransi hal-hal yang jelas merupakan kemungkaran, apalagi kesyirikan.
Baca Juga: Catatan Kelam Sejarah Sekte Wahabi
Saya kira uraian di atas sudah cukup memberikan gambaran yang lugas kepada kita tentang apa arti konsep moderat dalam Ahlusunah wal-Jamaah, sehingga poin-poin atau kasus-kasus yang lain tinggal dikiaskan pada kesimpulan yang sudah kita dapat ini.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis: Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri (ACS)