Pada artikel sebelumnya, kami telah menjelaskan kegagalpahaman kelompok mainstream dalam menilai bid‘ah tahlilan. Nah, untuk kali ini yang akan kita bahas terkait kegagalpahaman mereka yang kedua dengan mengatakan bahwa tradisi tahlilan itu tasyabbuh dengan tradisi Sraddha milik Hindu.
Kedua, terkait masalah tasyabbuh. Hadis yang biasa mereka jadikan dasar dalam hal ini adalah hadis riwayat Imam Abu Dawud (no. 4031) yang berbunyi:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم (رواه ابو داود)
“Siapapun yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud)
Golongan kontra-tahlil juga biasa memakai hadis ini untuk melarang tradisi tahlilan. Sebagaimana kemungkinan yang telah kita jelaskan sebelumnya, bahwa bisa jadi tahlilan merupakan tradisi serapan dari Sraddha yang merupakan tradisi Hindu.
Jika demikian benar adanya, berarti orang yang melakukan tahlilan itu sudah tasyabbuh pada orang kafir, dan tentu konsekuensi hukum terendah adalah haram. Apa benar demikian?
Sebelum kita berbincang panjang-lebar terkait tasyabbuh, perlu penekanan kembali bahwa tahlilan sekadar menyerap, bukan meng-copy-paste tradisi Sraddha. Membuang kesyirikannya dan mengantinya dengan ruh Islam. Jadi hanya tradisinya saja yang kita ikuti. Sedang dalam Islam, tak ada masalah bila mengikuti tradisinya saja, asal tidak dengan kesyirikannya. Allah berfiman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ (الأعراف [۷]: ۹۹)
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (Al-A’raf [07]: 99)
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kita untuk berbuat makruf (al-‘urfu). Al-‘urfu dalam Kaidah Fikih berarti sebuah tradisi yang dianggap baik. Dengan demikian, pemahaman ayat tersebut adalah, agar kita menetap dengan tradisi yang baik dan membuang hal-hal yang buruk.
Baca Juga: Menyoal Ilmu Hikmah Ala Samsudin Jadab
Penting untuk digaris bawahi, tradisi sangatlah penting dalam dakwah Islam. Tidak seyogianya kita keluar dari suatu tradisi selagi tradisi tersebut tidak terbilang buruk dan berbahaya. Hal ini pernah terjadi di masa awal-awal Islam, sebagaimana yang termaktub dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari (no. 1480) berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا أَلَمْ تَرَيْ أَنَّ قَوْمَكِ لَمَّا بَنَوْا الْكَعْبَةَ اقْتَصَرُوا عَنْ قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَرُدُّهَا عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَفَعَلْتُ … (رواه البخاري)
“Dari Aisyah, bahwa Rasulullah bersabda, ‘Apakah engkau tidak melihat kaummu di kala membangun kakbah, mereka memendekkannya dari pondasi-pondasi Ibrahim?’ Maka aku (Aisyah) menjawab, ‘Apakah tidak dikembalikan saja sebagaimana pondasi semula, Rasul?’ Nabi berkata, ‘Andai tidak mempertimbangkan kaummu yang masih lekat dengan kekufuran, tentu aku akan melakukannya…’.” (HR. Bukhari)
Hadis tersebut memperlihatkan sikap bijak Rasul untuk tidak merombak ulang kakbah yang telah diotak-atik dan diubah dari pondasi asalnya (pondasi yang Nabi Ibrahim bangun). Demikian itu beliau lakukan karena khawatir umat Islam kembali murtad dikarenakan keimanan yang masih belum melekat sempurna di hatinya.
Dari hadis tersebut, banyak ulama yang menghimbau untuk tidak keluar dari adat kebiasaan masyarakat selagi tidak benar-benar melenceng. Hal ini sebagaimana penuturan Abdullah Muhammad bin Muflih al-Muqdisi dalam al-Adâb asy-Syar’iyyah (2/47).
وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْتُ النَّاسَ لَا يَعْرِفُونَهُ وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ أَخَافُ أَن يَّقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ
“Ibnu ‘Aqil dalam kitab Funûn berkata, ‘Tidak seyogianya keluar dari tradisi yang telah mengakar di masyarakat kecuali hal-hal yang jelas haram. Sebab Rasulullah membiarkan kakbah dan berkata, ‘Andai tidak mempertimbangkan kaum jahiliah’.”
“Umar berkata, ‘Andai tidak dikata bahwa Umar telah menambahkah al-Quran, niscaya akan ku tulis ayat rajam.”
“Imam Ahmad tidak melaksanakan salat qabliyah magrib sebab masyarakatnya mengingkari hal itu.”
“Dalam kitab al-Fushûl tertulis bahwa Imam Ahmad melaksanakan salat dua rakaat sebelum magrib lalu meninggalkannya (tidak melakukan lagi) dengan alasan bahwa masyarakat tidak mengenal hal itu.”
“Imam Ahmad juga memakruhkan salat qada di musallah waktu pelaksaan salat ied dan berkata, ‘Aku khawatir masyarakat ikut-ikutan melaksanakannya’.”
Kesimpulan
Dari sekian rentetan penjelasan di atas, semakin jelaslah akan legalitas tahlilan. Suatu tradisi tak bisa langsung kita vonis bid‘ah apalagi tasyabbuh hanya karena menyamai dengan tradisi sebuah kaum. Perlu peninjauan ulang terkait tasyabbuh ini. Jika yang kita ikutisekadar kulitnya saja, tentu no problem sama dengan mereka. Asal tidak melampaui syariat dan juga menerobos akidah, semuanya aman-aman saja.
Ghazali | Annajahsidogiri.id