Beberapa hari yang lalu, beredar video yang menghebohkan sosial media. Dalam video tersebut, seorang tokoh kontrovesial menyampaikan bahwa garis keturunan Rasulullah itu aneh. Ia memberikan pernyataan bahwa keturunan Rasulullah sudah tidak ada. Serta para habaib sekarang itu cuma ngaku-ngaku. “Sekarang orang menonjolkan keturunan Nabi Muhammad. Aneh! Itu identitas aneh. Karena hidungnya mancung, terus ngaku-ngaku ‘saya habib’,” ujar tokoh tersebut.
Pernyataannya itu, dikutipnya dari surah al-Ahzāb ayat 40 yang berbunyi, “Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Lantas, benarkah pernyataan tersebut? Dan bagaimana cara kita menanggapinya?
Menanggapi pernyataan tokoh tersebut, perlu kita ketahui bahwa untuk memahami kandungan al-Qur’an, kita perlu merujuk kepada tafsiran para ulama. Dengan memahaminya, kita bisa mengetahui maksud dari suatu ayat beserta faktor turunnya (asbābun-nuzῡl). Sebab, jika kita enggan terhadap tafsiran para ulama, maka hasil akhirnya pasti menjerumuskan kita kepada kesalahfahaman akan isi al-Qur’an. Dari situ, sering kita jumpai pernyataan-pernyataan batil yang disandarkan pada al-Qur’an. Seperti: “Nabi Muhammad pernah sesat”[1], “Nabi Adam tidak maksum”[2], dan seperti pernyataan yang dilontarkan tokoh di atas.
Untuk memahami al-Qur’an, merujuk kepada kitab tafsir sangat penting dan sangat dibutuhkan. Dalam hal ini, Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki berkata:
وَامَا بَيَانُ الْحَاجَةِ اِلَيْهِ .. فَلِاَنَّ فَهْمَ الْقُرْأَنِ الْمُشْتَمِلِ عَلَى الاَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِي هِيَ مَدَارُ السَّعَادَةِ الاَبَدِيَّةِ ؛ وَهِيَ الْعُرْوَةُ الْوُثْقَى .. لَا يُهْتَدَي اِلَيْهِ اِلَّا بِتَوْفِيقٍ مِنْ اللَّطِيفِ الْخَبِيرِ ؛ حَتَّى انَّ الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى عُلُوِّ كَعْبِهِمْ فِي الْفَصَاحَةِ وَاسْتِنَارَةِ بَوَاطِنِهِمْ بِمَا اشْرَقَ عَلَيْهِمْ مِنْ مِشْكَاةِ النُّبُوَّةِ .. كَانُوا كَثِيرًا مَا يَرْجِعُونَ اِلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالسُّؤَالِ عَنْ اشْيَاءَ لَمْ يَعْرُجُوا عَلَيْهَا ، وَلَمْ تَصِلْ اَفْهَامُهُمْ اِلَيْهَا ، كَمَا وَقَعَ لِعَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ فِي الْخَيْطِ الاَسْوَدِ . وَلَا شَكَّ اَنَّا مُحْتَاجُوْنَ اِلَى مَا كَانُوْا مُحْتَاجِيْنَ اِلَيْهِ وَزِيَادَة
Adapun penjelasan bahwa ilmu Tafsir itu dibutuhkan yaitu karena tidak ada yang bisa memahami al-Qur’an kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah. Sahabat pun begitu, Mereka sering bertanya kepada Rasulullah tentang hal-hal yang tidak mereka ketahui dan pahami. Padahal, mereka sangat fasih serta hati mereka telah disinari oleh sinar kenabian. Sebagaimana yang terjadi kepada sahabat ‘Adi bin Hatim dalam permasalahan “al-khaiṭ al-aswad”. Maka, jika mereka saja butuh kepada tafsir, lebih-lebih kita.[3]
Setelah kita pahami betapa pentingnya ilmu Tafsir dalam memahami al-Qur’an, mari kita lihat bagaimana komentar para ulama mengenai ayat yang dikutip oleh tokoh di atas. Apakah pemahamannya sama sebagaimana yang disampaikan?
Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya at-Tafsīr al-Munīr memaparkan bahwa turunnya ayat “Mā kāna Muhammadun abā ahadin min rijālikum.” adalah berkenaan dengan asumsi orang munafik yang mengatakan bahwa Nabi telah menikahi bekas istri anaknya, Zaid bin Haritsah. Padahal dari segi nasab, Zaid itu bukanlah putra Nabi Muhammad, melainkan hanya putra angkat. Sehingga, Allah pun menurunkan ayat di atas demi menolak asumsi mereka. Maka, pemahaman ayat di atas adalah, “Muhammad itu bukanlah ayah dari Zaid.”
Berikut pemaparan beliau:
دَلَّتْ آيَةُ {مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ} عَلَى أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ بِأَبٍ شَرْعِيٍّ لِزَيْدٍ، وَلَيْسَ زَيْدٌ ابْنًا لَهُ، حَتَّى تَحْرُمَ عَلَيْهِ حَلِيلَتُهُ، وَلَكِنَّهُ أَبُو أُمَّتِهِ فِي التَّبْجِيلِ وَالتَّعْظِيمِ، وَأَنَّ نِسَاءَهُ عَلَيْهِمْ حَرَامٌ. فَأَذْهَبَ اللَّهُ بِهَذِهِ الْآيَةِ مَا وَقَعَ فِي نُفُوسِ الْمُنَافِقِينَ وَغَيْرِهِمْ، وَاعْتِرَاضِهِمْ بِقَوْلِهِمْ: تَزَوَّجَ النَّبِيُّ امْرَأَةَ ابْنِهِ؛ وَأعْلَمُ أَنَّ مُحَمَّدًا لَمْ يَكُنْ أَبَا أَحَدٍ مِنْ الرِّجَالِ الْمُعَاصِرِينَ لَهُ فِي الْحَقِيقَةِ.
Okelah, jika ayat di atas kita arahkan pemahamannya sebagaimana yang dipahami oleh tokoh kontrovesial di atas; keturunan Nabi sudah tidak ada, maka hasilnya tetap bertentangan. Sebab, jika keturunan Nabi dikatakan sudah tiada, niscaya hal itu berimbas kepada munculnya Imam Mahdi yang berasal dari keturunan beliau.
Di dalam Sunan Ibnu Mājah dan Sunanut-Turmuẓi tercantum riwayat:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو الْمَلِيحِ الرَّقِّيُّ، عَنْ زِيَادِ بْنِ بَيَانٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ نُفَيْلٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: كُنَّا عِنْدَ أُمِّ سَلَمَةَ فَتَذَاكَرْنَا الْمَهْدِيَّ، فَقَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «الْمَهْدِيُّ مِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ»
Diriwayatkan dari Said bin Musayyib, beliau berkata: suatu saat kami bersama Ummu Salamah. Kemudian kami memperbincanglkan tentang Imam Mahdi. Lalu Ummu Salamah berkata: aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Al-Mahdi berasal dari anak cucu Fatimah.”[4]
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ أَسْبَاطِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْقُرَشِيُّ الْكُوفِيُّ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ بَهْدَلَةَ ، عَنْ زِرٍّ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّى يَمْلِكَ الْعَرَبَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي»
Diriwayatkan dari Abdullah, beliau berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Dunia tidak akan binasa hingga ada seorang laki-laki dari keluargaku yang menguasai Arab. Namanya sama persis dengan namaku.”[5]
Sampai sini, bisa kita simpulkan bahwa pernyataan tokoh di atas sangatlah tidak benar, kontradiksi dengan al-Qur’an dan hadis, dan berlawanan dengan keyakinan para ulama Ahlusunah. Sebab, jika keturunan Nabi dikatakan telah tiada, Lantas Imam Mahdi berasal dari keturunan siapa?
Mohammad Ishaqi Al-Ayyubi | Annajahsidogiri.id
[1] Surah adh-Dhuha: 7
[2] Surah Thaha: 121
[3] Muhammad al-Maliki, Zubdatul-Itqān, hlm. 11
[4] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Mājah, no. 4086
[5] At-Turmudzi, Sunanut-Turmuẓi, no. 2230