Sumber Pemikiran Prof. Musdah Mulia
Ada dua poin besar yang menjadi simpul pemikiran Prof. Musdah Mulia mengenai ayat tersebut: 1. Wanita juga berhak dan layak mengemban amanah sebagai pemimpin dalam rumah tangga 2. Surat an-nisa’ ayat 34 itu hanya menjelaskan tentang qawamah dalam keluarga saja. Setelah kita telaah lebih mendalam lagi mengenai poin pertama, kita dapat memahami bahwa kesimpulan tersebut bersumber dari pemaham kata ar-rijal yang tercantum dalam ayat tersebut yang ia kategorikan sebagai kata general (‘am), dalam literatur ilmu ushul fiqh dijelaskan bahwa suatu lafadz dapat dikategorikan sebagai lafadz ‘am jika memenuhi kriteria tertentu.
Dr. Muhammad Hasan Hito menjelaskan bahwa lafadz ‘am dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk, salah satunya adalah al-‘am al-mustafad min wadl’i al-lughah, yakni lafadz ‘am yang ditinjau dari peletakannya secara bahasa, lafadaz ‘am dalam kategori ini dapat dipahami dari indikator-indikator tertentu, dan lafadz ar-rijal tergolong isim jins[1] yang dalalah-nya ‘am sesuai dengan pernyataan Prof. Musdah Mulia sebab indikator yang ada di dalamnya yang berupa jama’ yang di-ma’rifatkan dengan alif dan lam (al)[2]. Sedangkan masalik al-illah (metode pencetusan illat) yang dipakai untuk menetapkan illat dari hak qawamah itu sendiri lebih mendekati pada maslak al-ima’. Maslak al-Ima’ atau yang biasa disebut dengan at-tanbih adalah adanya suatu sifat yang disertai hukum yang tidak pantas jika dikatakan bahwa sifat tersebut bukanlah illat, maslak ini mempunyai beberapa macam, salah satunya adalah menuturkan sifat beserta hukum tertentu yang seandainya sifat tersebut bukan illat maka tidak ada faidah dalam penyebutannya[3]. Hak qawamah yang dicantumkan dalam penggalan ayat tersebut disertai dengan penyebutan sifat yang berupa ar-rujulah, maka sifat ar-rujulah ini yang dijadikan illat bagi hak qawamah, dan setiap individual baik laki-laki atau wanita yang memiliki sifat ar-rujulah maka ia berhak memiliki qawamah.
Adapun poin kedua yang ia sampaikan bersumber dari asbab an-nuzul dari ayat tersebut. Abu Hayyan al-Andalusi menyatakan bahwa latar belakang turunnya ayat tersebut masih diperselisihkan oleh kalangan ulama, ada yang mengatakan bahwa ayat tersebut turun sebab laki-laki yang menampar istrinya, akhirnya ia melaporkan kekerasan itu kepada rasulullah, rasulullah menetapkan qishash (pembalasan yang sama dengan perlakuannya) bagi si laki-laki, lalu turunlah ayat tersebut kemudian rasulullah bersabda:
أَرَدْتُ أَمْرًا وَأَرَادَ اللَّهُ غَيْرَهُ
Artinya: “Aku menginginkan suatu perkara dan Allah menghendaki yang lain”
Akhirnya Ia menggugurkan qishash yang telah Ia putuskan sebelumnya. Demikian pendapat yang disampaikan oleh imam Hasan, Qatadah dan Ibnu Juraij[4]. Oleh karena ayat ini diturunkan saat cekcok yang terjadi antara pasutri dikalangan keluarga saja, maka menurut Prof. Musdah Mulia hukum yang terkandung dalam ayat ini hanya dalam wilayah kekeluargaan saja, dan tidak sampai menjalar ke wilayah politik.
Tanggapan
Dari ulasan di atas ada dua celah yang ditemukan oleh penulis. Pertama, menggeneralkan makna dari lafadz ar-rijal tidak bisa dibenarkan, sebab alasan hak qawamah yang tercantum dalam nash tersebut ada dua macam, wahbi dan kasbi. Alasan wahbi tersebut berupa tafdhil atau keutamaan mutlak yang Allah anugrahkan bagi salah satu dari kedua golongan tersebut. Keutamaan yang dimaksud adalah kekuatan, kecakapan dan wilayah khasah, dan semua keutamaan ini hanya dimiliki oleh kaum laki-laki sehingga dengan keutamaan ini hanya laki-laki yang Allah berikan amanah untuk menjadi nabi, pemimpin dan Allah lebihkan bagiannya saat pembagian harta warisan.
Adapun alasan kasbi tersebut dapat diserap dari lafadz وَبِما أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوالِهِمْ, dalam artian hak qawamah itu ada sebab kewajiban infaq yang telah dilaksanakan oleh pemilik hak tersebut, dan kewajiban infaq hanya Allah limpahkan pada kaum laki-laki saja berdasarkan ayat 233 surat al-baqarah:
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ بِهِ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya”
Maka dari itu, hak qawamah tidak bisa diberikan pada laki-laki dan wanita sebab ada qawadih al-illah (celah dalam pencetusan illat) yang berupa fasad al-i’tibar atau adanya hukum yang ditetapkan bersebrangan dengan alasan yang tercantum dalam nash tersebut, meski secara konteks bahasa lafadz ar-rijal juga mencakup pada wanita yang memiliki sifat ar-rujulah sebagaimana lafadz rajul yang ada di ayat 4 surat al-ahzab[5]:
مَا جَعَلَ اللهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ
Artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya”
Adapun celah yang kedua adalah, memahami bahwa ayat tersebut hanya menjelaskan tentang qawamah dalam rumah tangga saja dan hanya mengacu pada asbab an-nuzul yang terbatas tidak bisa dibenarkan. Dalam literatur fan ilmu tafsir terdapat kaidah umum yang berbunyi:
اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Yang dianggap dalam mencetuskan sebuah hukum adalah keumuman lafadznya bukan kekhususan sebab turunnya suatu nash. Imam As-Subki menyebutkan bahwa kaidah ini berlaku selagi tidak ada nash lain yang menentangnya[6]. Maka dari itu hak qawamah yang disebutkan dalam ayat tersebut umum dan menyeluruh pada semua wilayah baik wilayah khasah seperti rumah tangga ataupun wilayah ammah seperti politik karena tidak ada nash lain yang menentangnya.
Dari tanggapan di atas bukan berarti Islam mendiskriminasi kaum wanita dan mengekang mereka dan tidak memberikan wanita keleluasaan dalam rumah tangga. Justru Allah memulyakan mereka dengan hak-hak yang Ia limpahkan. Secara fitrah hal kepemimpinan hanya dibebankan pada laki-laki, meski demikian Islam tidak menutup ruang lingkup wanita untuk menyalurkan pendapatnya dalam rumah tangga ataupun politik selain dalam ranah imamah (kepemimpinan tertinggi dalam negara).
Dan jika dalam kenyataannya ada segelintir laki-laki yang tidak mampu menjalankan qawamah tersebut, maka saat itu wanita berhak mengembannya sebab keadaan dlarurat yang menuntut hal itu[7]. Namun dalam keadaan tersebut bukan berarti kewajiban infaq beralih pada wanita dan si suami wajib menta’atinya, karena yang dimaksud dengan qawamah ini adalah qawamah himayah (menjaga keteraturan rumah tangga) bukan qawamah qahr wa at-tasalluth (hak sewenang-wenang) sedangkan infaq dan kewajiban ta’at tersebut tergolong wilayah mutabadilah yang tak bisa tergantikan oleh pihak lain.
Irvan Maulana Ramadani | Annajahsidogiri.id
[1] Al-Andalusi, Abu Hayyan. Al-Bahru al-Muhith. Hal.3/622
[2] Dr. Muhammad Hasan Hito. Al-Waajiz fi Ushul at-tasyri’ al-Islami. Hal.118
[3] Ibid
[4] Al-Andalusi, Abu Hayyan. Al-Bahru al-Muhith. Hal.3/622
[5] Mu’jam al-Lughah al-Arabiyyah al-Mu’ashirah. Hal 1334
[6] As-Subki. Al-Asybah wa an-nadza’ir. Hal. 2/136
[7] Dr. Al-Buthi, Sa’id Ramadhan. La Ya’tihi al-Bathil. Hal. 153