Dalam dunia marketing, kita tahu bahwa untuk meningkatkan kualitas pemasaran suatu barang, kehadiran design yang menarik dan slogan yang memikat, adalah salah satu ‘rukun’ yang tidak bisa ditinggalkan. Karena tanpa hal tersebut, produk yang dipasarkan akan menyelam dan dipandang sebelah mata oleh pelanggan. Hanya saja jika kita berposisi sebagai konsumen, tentu harus wawas diri terhadap sponsor yang dipasang. Karena bisa jadi, sponsor itu hanya sebagai pemanis dan penarik pelanggan.
Bisa dibilang salah satu yang mengaplikasikan teori marketing ini adalah sekte wahabi di negeri kita. Untuk memasarkan ajarannya, memerlukan sponsor dan slogan yang bernas. Agar masyarakat bisa tertarik terhadap produk yang mereka pasarkan. Salah satu sponsor yang sering bising terdengar adalah mengajak masyarakat untuk ‘kembali pada al-Qur.’an dan hadis’. Tidak sedikit dari kalangan akar rumput yang terbelai dengan iklan ini. Mereka kebanyakan hanya melihat dari bungkus, tanpa membelah dan menelaah isi yang terkandung di dalamnya.
Lalu apa sebenarnya yang harus kita waspadai dari iklan ini? Bukankah kita memang berkewajiban untuk mengembalikan semua problem terhadap dua sumber utama hukum Agama tersebut? Mari kita bongkar kerancuan yang mereka sembunyikan di balik sponsor indah tersebut.
Pertama
Slogan ‘Kembali pada al-Qur’.an dan hadis’ yang diusung Wahabi, secara zahir memang benar. Hanya saja maksud dan tujuan yang mereka selipkan di dalamnya yang menjadi tumpu permasalahan dan kerancuan. Karena mewajibkan seluruh elemen masyarakat untuk lepas landas menggali hukum secara langsung terhadap Al-Qur’.an dan hadis adalah hal yang mustahil secara akal, dan melabrak keniscayaan. Sebab kapasitas dan kapabilitas seseorang dalam memahami dua sumber utama tersebut tidak akan sama. Allah berfirman:
اُنْظُرْ كَيْفَ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ
“Perhatikanlah bagaimana Kami melebihkan sebagian mereka atas sebagian (yang lain).” (QS. Al-Isra’ ayat:21)
Dari ayat di atas sudah jelas bahwa memang manusia diciptakan dengan kemampuan dan keterampilan yang berebeda. Hal ini disampaikan oleh Imam Abi Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi (w.333 H) dalam kitabnya yang berjudul Takwîlâtu Ahlisunah (hlm 24/7) ketika menjelaskan ayat tersebut.
Kedua
Mewajibkan masyarakat untuk menggali hukum secara langsung kepada al-Qur’.an dan hadis justru akan membebani masyarakat awam dengan hal yang tidak bisa terjangkau oleh kemampuan dan kapasitas mereka. Bayangkan saja orang yang tidak pernah mengeyam pendidikan agama, sama sekali tidak mengenal kosa kata Arab, malah disuruh untuk menggali hukum secara langsung pada al-Qur’.an dan hadis. Jangankan untuk menggali, membaca saja kadang mereka kesulitan dan tertatih-tatih. Sedangkan dalam al-Qur’.an sudah di jelaskan;
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS.Al-Baqarah [02]: 286)
Syekh mutawalli Asy-Sya’rawi saat menafsiri ayat tersebut dalam kitabnya; Al-Khawâthîr al-îmaniyah, menjelaskan bahwa seorang muslim tidak akan ditaklif dengan sesuatu yang jelas tidak bisa dijangkau olehnya.
Ketiga
Sponsor tersebut secara tidak langsung mengajak masyarakat agar tidak mengikuti atau bahkan membenci pendapat para ulama, sehingga mereka akan enggan dan anti untuk bermazhab. Hal ini sekali lagi sangat sulit untuk dicerna akal. Mengapa demikian? Kembali pada alinea sebelumnya, bahwa tidak semua orang bisa menyelam pada al-Qur’.an dan hadis, sehingga kewajiban mereka adalah bermakmum pada rumusan hukum para mujtahid yang tidak diragukan lagi kapasitas keilmuannya. Dr. Said Ramadan al-Bhuthi dalam kitabnya; al–Lâ Mazhabiyah (hal. 101) menjelaskan bahwa orang awam tidak diperkenankan menggali hukum secara langsung pada al-Qur’an dan hadis. Kewajiban bagi mereka adalah bertanya pada ulama atau ahludz-dzikri. Sebagaimana firman Allah:
فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
“Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Anbiya’ []:07)
Jadi teks Al-Qur’.an dan hadis tidak bisa kita pahami seenaknya. Perlu usaha yang super ekstra untuk menelaah hukum langsung pada keduanya. Dan hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh para mujtahid. Sedangkan orang awam seperti kita cukup mengkonsumsi hasil jadinya saja. Imam asy Syatibi dalam kitab Al-Muwâfaqât lisy-Syâthibî (4/290-292) menuturkan;
فَتَاوَى الْمُجْتَهِدِيْنَ بِالنِّسْبَةِ اِلَى الْعَوَامِ، كَالْأَدِلَّةِ الشّرْعِيَّةِ بِالنِّسْبَةِ اِلَى الْمُجْتَهِدِيْنَ
“Fatwa-fatwa para mujtahid jika dinisbatkan pada orang awam, ibarat dalil-dalil syariat jika dinisbatkan pada para mujtahid.”
Kesimpulan
Dari sederet uraian di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa jargon ‘kembali pada al-Qur’.an dan hadis’ yang dikoar-koarkan oleh Wahabi, tidak seindah yang sebagian orang bayangkan. Banyak sekali duri yang harus kita waspadai dan racun yang harus kita hindari. Jangan sampai kita terbuai dengan hanya melirik bungkus tanpa memerhatikan dan mementingkan isi.
Ilwa Nafis Sadad | Annajahsidogiri.id