Dalam beberapa tema Akidah, terkadang terjadi sedikit perbedaan sudut pandang antara Asyairah dan Maturidiah. Setidaknya terdapat dua belas perbedaan antara golongan Asyairah dan Maturidiah yang tercatat dalam kitab al-Ikhtilâf bainal-Asyâ’irah wal- Mâturidiyah, karya Syekh Syamsuddin bin Ahmad atau yang lebih dikenal dengan Kamal Basya. Tetapi perbedaan yang terjadi antara Asyairah dan Maturidiah, hanya terbatas dalam ruang lingkup furû’ (cabang) dan tidak sampai menyentuh prinsip (ushûl) akidah.
Salah satu contoh perbedaan yang terjadi adalah, terkait peran akal dalam menentukan kebaikan dan keburukan (hasan-qabîh), sebelum pelita syariat hadir menerangi kehidupan. Dalam tema hasan-qabîh ini, tercatat ada tiga kelompok yang berbeda; Asyairah, Maturidiah, dan Muktazilah.
Versi Asyairah, segala kebaikan dan kejelekan (hasan-qabîh) tidak bisa diukur menggunakan akal. Menurut mereka, yang bisa mencetuskan suatu perkara dikatakan baik atau buruk hanyalah syariat. Sedangkan akal dalam hal ini tidak bisa memainkan perannya. Pendapat Asyairah ini, dalam istilah kitab lebih familiar dengan istilah al–husnu wal–qubhu syar’iyâni. (Tuhfatul–Murîd [hlm. 40])
Sedikit berbeda dengan Asyairah, golongan Maturidiah berpendapat bahwa akal memiliki peran dalam menentukan kebaikan dan keburukan. Dalam artian, suatu hal bisa dikatakan baik atau buruk dapat diukur dan dinalar oleh akal manusia. Namun kelanjutan permasalahannya, pandangan Maturidiah ini (seakan) serasi dengan pendapat Muktazilah. Oleh karena itu perlu kiranya kita selami perbedaan antara keduanya agar tidak muncul asumsi bahwa terdapat keselarasan pemahaman antara kubu Maturidiah dan Muktazilah.
Sebelum kita menyelami perbedaan antara Maturidiah dan Muktazilah, sebagai gambaran awal penulis terlebih dahulu akan menampilkan perbedaan definisi hasan-qabîh baik dari sudut pandang Ahlusunah atau Muktazilah. Definisi ini dipaparkan secara lugas oleh Syekh Ibrahim al-Baijuri dalam kitab Tuhfatul-Murîd;
فَالحَسنُ عِنْدهُم -أي عِنْدَ الْمُعتَزِلَةِ- مَا حَسَّنَهُ الْعَقْلُ, وَالقَبيحُ مَا قَبَّحَهُ الْعقْلُ وَأمَّا عِنْدَ أَهْلُ السنَّةِ فَالحسَنُ مَا حسًّنهُ الشَّرْعُ وَالقبيحُ مَا قَبَّحَهُ الشَّرْعُ
“Hasan versi Muktazilah adalah sesuatu yang dianggap baik oleh akal, sedangkan qabih adalah sesuatu yang dianggap buruk oleh akal. Sedangkan menurut Ahlusunah, hasan adalah sesuatu yang dianggap baik oleh syariat, dan qabih adalah sesuatu yang dianggap jelek menurut kacamata syariat.”
Inilah perbedaan definisi mengenai hasan hasan-qabîh Ahlusunah (Asyairah dan Maturidiah) dan muktazilah. Sekarang kita kembali ke akar permasalahan. Yaitu, membahas perbedaan peran akal antara Maturidiah dan Muktazilah.
Secara konsep dasar, Maturidiah memang menyatakan kalau akal dapat menentukan baik-buruknya suatu hal. Namun mereka tidak sampai menghubung-hubungkan kepada hukum syariat. Jadi menurut Maturidiah akal hanya bisa mengomentari namun tidak bisa menghukumi. Sehingga pemahaman mereka tetap tidak bersikutan dengan definisi yang dibawakan oleh Syekh Ibrahim al-Baijuri barusan.
Sedangkan nalar akal versi Muktazilah bukan hanya bisa menentukan suatu perkara dikatakan baik atau buruk. Tetapi juga bisa melahirkan hukum taklifi baik berupa hukum wajib atau haram. Lebih ringkasnya, kata Muktazilah, jika suatu hal sudah baik menurut akal, maka otomatis hal tersebut berhukum wajib. Sebaliknya jika akal mengatakan kalau suatu tersebut buruk maka hukumnya haram dikerjakan. Berangkat dari pemahaman semacam ini mereka kemudian menetapkan konsep wujubus-sholah wal aslah (Allah wajib berbuat baik dan lebih baik) kepada Allah.
Menurut Muktazilah kehadiran nas syariat itu hanya untuk menyempurnakan dan mengkokohkan nalar akal. Jadi akal adalah supir, dan nas syariat adalah penumpang. Berbanding terbalik dengan paham Ahlusunah yang menyatakan bahwa akal hanya sarana untuk memahami nas syariat. Tidak lebih. Semua penjelasan ini dapat kita lihat dalam kitab ‘Aunul-Murid fi Syarhi Jauharatut-Tauhid karya Syekh Abdurrahman Tatan.
Baca Juga : Ideologi Muktazilah; Penolakan Imam al-Asy’ari Terhadap Syekh al-Juba’i
Pandangan Muktazilah barusan, tentu sangat berbeda dengan konsep yang disuguhkan oleh Maturidiah. Kalangan Maturidiah hanya membatasi peran akal dalam mengomentari baik-buruknya suatu perkara. Adapun yang memiliki otoritas penuh dalam menghukumi perkara tersebut adalah nas-nas syariat.
Keterangan ini, dapat kita baca dari komentar Syekh Bahauddin al-Bahari. Berikut kami sajikan potongan penuturan beliau ketika menanggapi tema hasan-qabîh. Beliau menjelaskan;
وَعِندَناَ ـ أي المَاتُريْديةِ ـ وَعِندَ المُعْتزِلَةِ عَقْليٌ أَي لا يَتوَقَّفُ علَى الشّرعِ, لَكِنْ عِنْدنَا لَا يَستلْزمُ حُكْمًا َفي العَبدِ. بَلْ يصِيرُ مُوجِبًا لِاستِحْقاقِ الحُكْمِ, مِنَ الحَكيْمِ الذي لَا يُرَجًّحُ المَرْجوحُ. فَمَا لم يحُكَمْ, لَيْسَ هُناكَ حُكمٌ. وَمِن هَهُنَا اشْتَرطنَا بُلوغَ الدَّعوَةِ فِيْ التَّكلْيفِ. ِبخلَافِ المُعْتزلةِ وَالإمَاميَّةِ وَالكَرَاميَّةِ والبَراهِمةِ فَإنَّهُ عندهُمْ يُوجِبُ الحكْمَ. فَلوْلاَالشّرْعُ وَكانَتِ الأَفْعَالُ لَوجَبتِ الأحْكَامُ.
“Hasan-qabîh versi kita (Maturidiah) dan Muktazilah, itu ‘aqliyyâni (bisa dinalar oleh akal tanpa harus menunggu kehadiran syariat). Namun versi kita (hasan-qabîh yang dinilai oleh akal), tidak sampai melahirkan hukum yang menyasar kepada seorang hamba. Suatu perkara bisa menjadi wajib karena diwajibkan oleh Allah. Perkara yang belum ada ketetapan hukumnya, maka tetap tidak memiliki hukum apapun. Oleh karena itu, kita tetap mensyaratkan bulûghud-da’wah (sampainya dakwah Islam) dalam memberlakukan taklif (kepada seorang muslim). Berbeda dengan Muktazilah, Karamiyyah, dan Barahimah yang mengatakan bahwa hasan qabih yang dinalar akal serta dapat menelurkan sebuah hukum. Maka meskipun tidak ada syariat selama masih ada pekerjaan (yang dilakukan) maka hukum tetap akan berlaku.”
Dari penjelasan Syekh Bahauddin al-Bahari tadi, sudah sangat jelas letak perbedaan konsep antara Maturidiah dan Muktazilah. Dan tidak bisa dielak lagi bahwa paham yang dibawakan Muktazilah adalah paham yang salah. Karena kemampuan akal sangat lemah dan terbatas sehingga tidak akan pernah bisa dijadikan hakim untuk menetapkan hukum syariat.
Walhasil, dari semua uraian diatas dapat kita tarik kesimpulan, bahwa Maturidiah memang memerankan akal dalam menentukan baik-buruknya suatu perkara. Namun hanya sebatas penamaan dan istilah saja. Tidak sampai menjatuhkan hukum apapun terhadap perkara tersebut. Berbeda dengan Muktazilah yang justru mengedapankan akal dan menjadikan syariat sebagai boncengan. Wallahu a’lam.
Ilwa Nafis Sadad | Annajahsidogiri.id