Syiah bukanlah sekte yang muncul kemarin sore. Sejak lama sekte ini telah ikut dalam panggung percaturan politik, keilmuwan, tradisi, kebudayaan umat Islam dalam historisnya. Kelompok yang identik dengan sikap sangat berpihak terhadap Sayidina Ali ini muncul melalui tahapan yang panjang dan berlika-liku.
Dalam roda perjalanannya yang amat panjang, Syiah terus mengalami perkembangan mengikuti alur zaman. Karenanya, Syiah tidak pernah berjalan lurus di satu lintasan. Jadi, adalah hal yang wajar jika kemudian aliran ini juga mengalami banyak problem perbedaan pemikiran, yang pada akhirnya, terpetak-petak menjadi aneka ragam versi: Syiah Zaidiyah, Imamiyah, Ghurabiyah, dan masih banyak lagi.
Otak atau cikal bakal lahirnya sekte ini, bermula dari buah pemikiran seorang Yahudi yang kemudian masuk Islam; Abdullah bin Saba’. Ia adalah orang pertama yang menyebarkan paham wajibnya mengangkat imamah Sayidina Ali. Ia juga mengatakan telah menemukan di kitab Taurat, setiap nabi memiliki washi (penerima wasiat), dan Sayidina Ali merupakan washi dari Nabi Muhammad SAW. Ia juga menyebarkan teori Raj’ah , yakni nabi Muhammad akan kembali ke dunia, sepereti halnya nabi Isa AS. Nah, sekte inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan Sabaiyah.
Sebenarnya, penyebutan bin Saba’ pada nama Abdullah—sehingga sekte ini populer dengan sebutan Sabaiyah—bukanlah nama ayah dari pada Abdullah. Saba’ ialah nama tempat di Yaman. Sedangkan nama ayahnya ialah Wahab al-Rashibi al-Hamdani.
Baca Juga: Syiah dan Al-Qur’an
Ciri khas yang sangat menonjol dari golongan ini sehingga membikin beda dengan sekte Syiah yang lain adalah pengkultusan mereka terhadap Sayidina Ali. Mereka mengklaim bahwa dalam diri Sayidina Ali bersemayam Tuhan. Setelah Sayidina Ali mendengar kabar ini, beliau langsung menyuruh untuk menangkap dan membunuhnya. Namun, keputusan untuk membunuh Abdullah bin Saba’ ditolak oleh Abdullah bin Abbas dengan alasan akan terjadi ikhtilaf antara sahabat. Jika tetap dibunuh misalnya, maka akan berimbas pada planning Sayidina Ali yang saat itu sedang berencana menyerang kembali penduduk Syam. Akhirnya, keputusan yang diambil ialah mengasingkan Abdullah bin Saba’ ke Madain.
Setelah Sayidina Ali wafat, propaganda yang dilakukan oleh Abdullah bin Saba’ belum menemukan titik final. Ia bahkan semakin over dalam menyebarkan paham-paham ekstrem yang baru. Ia memprovokasi dengan mengatakan Sayidina Ali tidak terbunuh, bahkan sosok yang dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam ialah setan yang menyerupai wajah dan perawakan Sayidina Ali. Sampai-sampai atas dasar ketidakpercayaannya pada kematian Sayidina Ali ra, Abdullah Bin Saba’ berani mengatakan, “Jika engkau membawakan otak Sayidina Ali RA dengan dibungkus wadah kepada diriku, maka aku tetap tidak akan memercayaimu. Sebab, beliau tidak wafat, hanya saja naik ke atas langit dan akan kembali turun kelak di akhir zaman dan akan menguasai seluruh dunia.” Gara-gara pendapat ngawur ini, sebagian pengikutnya berkata, bahwa Sayidina Ali RA kini berada di atas awan, guntur adalah suaranya, sedangkan kilat petir adalah senyumannya. Sehingga barang siapa dari golongan Sabaiyah mendengar suara guntur dari atas langit, maka akan berkata, “Alaikas-Salam Ya Amiral-Mukminin”.
Walhasil, Sabaiyah merupakan nenek moyang dari sekte syiah sebelum terpecah menjadi aneka ragam versi. Adapun mengenai ajarannya sangat jelas bahwa sekte ini tidak bisa ditoleran. Sebab, ranah ikhtilaf di sekte ini sudah memasuki hal ushuliyah fi ad-din. Maka sekte ini bukan hanya masuk kategori sesat, tetapi sudah bisa dikatakan keluar dari Islam. Naudzubillah.
Muhammad Iklil | Annajahsidogiri.id