يَكُوْنُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ عُبَّادٌ جُهَّالٌ وَقُرَّاءٌ فَسَقَةٌ
رَوَاهُ أَبُوْ نعِيْم، وَالْحَاكِمُ عَنْ أَنَسَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
“Di akhir zaman nanti akan muncul para ahli ibadah yang bodoh (akan ilmu agama) dan para alim yang cinta dunia.” (HR Abu Naim dan Hakim).
Baca Juga: Musim Pemimpin dan Gugurnya Amanah (Serial Kajian Tanda-tanda Kiamat 4)
Hadis ramalan ini pada zaman sekarang sudah menjadi fakta yang tidak dapat dipungkiri. Betapa banyak orang yang rajin beribadah, padahal mereka masih belum sepenuhnya mengerti dengan baik syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Begitu pula orang yang berilmu, betapa banyak dari mereka yang menggunakan pengetahuannya tentang agama hanya untuk mendatangkan kekayaan. Sebagian lagi, ada yang menggunakan ilmu agamanya untuk mendekatkan diri pada pemerintah.
Jadi, wajar-wajar saja kalau semisal umatnya salah mengikuti orang, karena memang, orang yang seharusnya jadi panutan malah sibuk mencari perhatian pemerintah. Akhirnya, mereka terpaksa mengikuti kelompok aliran sesat yang lebih menghargainya.
Seharusnya orang bodoh yang rajin beribadah itu terus-terusan memikirkan keabsahan Ibadahnya, karena kalau merasa bodoh akan ilmu agama, sudah semestinya dia berpikiran seperti itu. Namun, kenyataannya jarang ada orang bodoh yang berpikiran seperti itu. Dia pikir bersesuci dan shalat itu perkara mudah, siapapun bisa mengerjakannya, padahal, fikih shalat merupakan bab yang memiliki begitu banyak percabangan kasus.
Sedikit orang yang menguasai fikih shalat dengan sempurna. Inilah alasan Sayidina Abu Bakar yang menjadi pengganti Rasulullah dalam menjadi imam shalat. Alasannya, di antara para shahabat, beliau merupakan pribadi yang paling bagus dalam penguasaan fikih shalatnya. Jadi, orang islam itu harus lebih memikirkan kesempurnaan Ibadahnya. Sudah menjadi keharusan seorang hamba memberikan persembahan yang sempurna kepada tuannya.
Baca Juga: Ahli Membaca tapi Tidak Memahami Isinya (Serial Kajian Tanda-tanda Kiamat 2)
Adapun bagi orang alim, harus sering-sering memikirkan keadaan umatnya bukan malah mikir diri sendiri. Memang sudah menjadi keniscayaan manusia untuk mencari nafkah. Namun, tidak elok bila dia mencarinya melalui agamanya. Sebagian dari mereka berpikir, bahwa dirinya sedang memperjuangkan agamanya. Akan tetapi, coba kita lihat para pendahulu kita yang shalih, seperti Imam Sufyan Tsauri, Imam Hasan Bashri, dan ulama besar lainnya. Kebanyakan mereka lebih memilih untuk tidak terlalu sering berkumpul dengan manusia, lebih-lebih pemerintah. Orang yang mengaku dirinyaa berilmu, dalam mengambil tindakan harus curiga pada keputusannya. Apakah keputusan yang ia pilih benar-benar karena Allah atau karena nafsunya sendiri? Imam Habib al-Ajami berkata:
مَا كُنَّا نَظُنُّ أَنْ نَعِيْشَ إِلَى زَمَانٍ صَارَ الشَّيْطَانُ يَلْعَبُ بِاْلقُرَّاءِ فِيْهِ كَمَا يَلْعَبُ الصِّبْيَانُ بِالأُكْرَةِ (تَعْطِيْرُ الأَنْفَاسِ مِنْ حَدِيْثِ الإِخْلَاصِ ص-٥٢٥)
“Saya tidak mengira akan hidup hingga masa, di mana setan mempermainkan orang alim bagaikan anak kecil yang sedang bermain bola.”
Jadi, bila kita mengaku berilmu, maka sudah seharusnya curiga kepada suara hati kita. Karena tidak selamanya suara hati itu muncul dari malaikat. Pula, tidak selamanya juga rayuan setan itu kentara kebusukannya. Semoga Allah senantiasa memberi kita hidayah-Nya.
Muhammad Faqih | Annajahsidogiri.id
Comments 0