Sebelumnya, penulis telah menjelaskan terkait amaliah-amaliah yang ada dalam cakupan tahlil. Namun, ternyata Wahabi lain malah melontarkan isykal baru seperti ini, “Toh, meski amaliah-amaliah tahlilan secara terperinci memiliki fadilah masing-masing, tetapi penggabungan amaliah-amaliah tersebut sehingga menjadi porsi bacaan ‘tahlil’ sama sekali tidak pernah diajarkan oleh Nabi”. Apakah benar pernyataan tersebut?
Baca Juga: Tahlilan Memiliki Landasan Syariat (#1)
Setidaknya penulis menangkap pemahaman dalam buku Wahabi Gagal Paham karya Ustaz Idrus Ramli bahwa penggabungan amaliah-amaliah tersebut diperbolehkan dengan bercerminkan pada shalat yang di dalamnya berisi bacaan-bacaan campuran.
Pendapat di atas sangatlah rasional untuk membungkam larangan menggabung amaliah satu dengan lainnya. Namun hal itu akan lebih kuat jika kita tambahkan ibarat dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah sebagai berikut,
وَسُئِلَ عَنْ رَجُلٍ يُنْكِرُ عَلَى أَهْلِ الذِّكْرِ يَقُولُ لَهُمْ هَذَا الذِّكْرُ بِدْعَةٌ وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ بِدْعَةٌ وَهُمْ يَفْتَتِحُونَ بِالْقُرْآنِ وَيَخْتَتِمُونَ ثُمَّ يَدْعُونَ لِلْمُسْلِمِينَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَيَجْمَعُونَ التَّسْبِيحَ وَالتَّحْمِيدَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّكْبِيرَ وَالْحَوْقَلَةَ وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم … فَأَجَابَ الِاجْتِمَاعُ لِذِكْرِ اللَّهِ وَاسْتِمْتَاعِ كِتَابِهِ وَالدُّعَاءُ عَمَلٌ صَالِحٌ وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فِي الْأَوْقَاتِ فَفِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ إنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ فَإِذَا مَرُّوا بِقَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إلَى حَاجَتِكُمْ وَذَكَرَ الْحَدِيثَ وَفِيهِ وَجَدْنَاهُمْ يُسَبِّحُونَك وَيَحْمَدُونَك وَأَمَّا مُحَافَظَةُ الْإِنْسَانِ عَلَى أَوْرَادٍ لَهُ مِنْ الصَّلَاةِ أَوْ الْقِرَاءَةِ أَوْ الذِّكْرِ أَوْ الدُّعَاءِ طَرَفِي النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنْ اللَّيْلِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَهَذَا سُنَّةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا
“Syaikh Ibnu Taimiyah ditanya tentang seorang lelaki yang mengingkari ahli zikir (berjemaah) dan berkata pada mereka, ‘Zikir ini bidah dan membacanya dengan suara keras adalah bidah’. Mereka memulai dan menutup zikirnya dengan bacaan al-Qur’an lalu berdoa untuk semua Muslim, baik yang masih hidup atau pun mati. Mereka juga mengumpulkan tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah dan bershalawat pada Nabi … Ibnu Taimiyah menjawab, ‘Perkumpulan zikir, mendengarkan al-Qur’an, dan berdoa termasuk amalan yang baik. Demikian merupakan ibadah yang utama di setiap waktu. Dalam hadis sahih, Nabi bersabda, ‘Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang selalu berpergian di muka bumi. Bila mereka menemukan segolongan orang berzikir maka mereka memanggil, ‘Silahkan sampaikan hajat kalian’. Lanjutan hadis tersebut terdapat redaksi, ‘Kami melihat mereka bertasbih dan bertahmid kepadamu’. Adapun menjaga rutinitas wirid-wirid seperti shalat, membaca al-Qur’an, zikir, berdoa tiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan juga di waktu lain merupakan pekerjaan yang dicontohkan oleh Rasulullah dan orang-orang salih dari dulu hingga sekarang.”
Nah, dari jawaban Ibnu Taimiyah di atas kita mendapati legalitas menggabung satu amaliah dengan amaliah lain. Pun, nyatanya para ulama terdahulu banyak yang melakukan hal itu, bahkan seperti yang dilakukan Imam Ahmad bin Hanbal dalam suatu keterangan yang ditulis oleh seorang panutan Wahabi, Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya, Zadul Ma’ad berikut ini,
كِتَابٌ لِلْحُمَّى: قَالَ المَوَرْزِيُّ بَلَغَ اَبَا عبد الله، اَنِّيْ حُمَّمْتُ فَكَتَبَ لِيْ مِنَ الْحُمَّى رَقْعَةً فِيْهَا، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ بِسْمِ اللهِ وَبِاللهِ محمد رسول الله قُلْنَا يَا نَارَ كُوْنِيْ بُرْدًا وَسلاَمًا عَلَى اِبْرَاهِيم وَاَرَادُوْا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأخْسَرِيْن اللهم رَبَّ جَبْرَائِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَاِسْرَافِيْلَ اِشْفِ صَاحِبَ هَذَا الكِتَابِ بِحَوْلِكَ وَقُوَّتِكَ وَجَبَرُوْتِكَ إلَهَ اْلحَقِّ آمِيْن. (زاد المعاد في هدي خير العباد لابن القيم الجوزية)
“’Keterangan terkait penyakit demam. Imam al-Mawarzi berkata bahwa Abu Abdillah menyampaikan, ‘Aku terkena penyakit demam. Lantas ia menulis di sebuah lembaran berikut ini, ‘Bismillâhirrahmânirrahîm. Bismillâhi. Wa billâhi. Muhammad Rasulullah qulnâ ya nâra kȗni burdan wa salâman ‘ala Ibrâhim wa arâdu bihi kaidan fa ja’alnâhum al-akhsarîn Allâhumma Rabba Jabrâil wa Mîkâîl wa Isrâfîl Isyfi Shâhiba hadzal kitâb bihaulika wa quwatika wa jabarȗtika Ilâhal-Haqqi âmin.”
Walhasil, semua penjelasan yang telah penulis paparkan di atas menjadi bukti kebolehan tradisi tahlilan. Tahlilan bukan termasuk bidah jika mengikuti penjelasan Syaikh Ahmad bin Ali bin Hajar abu al-Fadl al-Asqalani di atas, atau termasuk bidah hasanah (terpuji) jika mengikuti pendapat yang membagi bidah menjadi dua; bidah hasanah dan bidah sayiah, seperti pendapat yang dilontarkan oleh Imam asy-Syafii yang dikutip dalam kitab Tafsirul-Qhurthubi. (Juz 2 hal. 86-87).
Ghazali | Annajahsidogiri.id