Pada artikel saya terkait legalitas tahlilan ke-2, ada seorang pembaca ngusulin agar membahas ibârat yang ada dalam kitab I’ânatuth-Thâlibîn, yang sering dijadikan dalil oleh orang Wahabi untuk memakruhkan tradisi tahlilan. Adapun ibârat yang dimaksud adalah berikut ini.
Baca Juga: Tahlilan Memiliki Landasan Syariat (#2)
وَمَا اُعْتِيْدَ مِنْ جَعْلِ أَهْلِ اْلمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوا النَاسَ إِلَيْهِ، بِدْعَةٌ مَكْرُوْهَةٌ – كَإِجَابَتِهِمْ لِذَلِكَ، لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كُنَّا نَعُد الاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ اْلمَيِّتِ وَصَنْعِهِمْ الطَعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ.
“Hal yang telah menjadi kebiasaan di mana keluarga mayit membuat makanan untuk mengundang orang-orang agar datang padanya merupakan bidah yang berhukum makruh, begitupun hukum mendatangi acara tersebut. karena ada hadis dari shahabat Jarir yang berbunyi, ‘Kami menganggap perkumpulan di rumah keluarga mayat serta penyuguhan makanan dari mereka kepada para pentakziah setelah penguburan mayit termasuk ratapan.”
Sekilas, pernyataan Syekh Abu Bakar Usman bin Muhammad Syatha di atas memang memakruhkan tradisi tahlilan, bahkan di kitab lain yang masih bermazhab Syafii, semisal kitab Asnal-Mathâlib, karangan Syaikh Zakaria al-Anshari, juga memakruhkan tradisi yang menyamai tahlilan tersebut.
وَيُكْرَهُ لِأَهْلِهِ أَيْ الْمَيِّتِ طَعَامٌ أَيْ صُنْعُ طَعَامٍ يَجْمَعُونَ عليه الناس أَخَذَ كَصَاحِبِ الْأَنْوَارِ الْكَرَاهَةَ من تَعْبِيرِ الرَّوْضَةِ وَالْمَجْمُوعِ بِأَنَّ ذلك بِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبٍّ وَاسْتَدَلَّ له في الْمَجْمُوعِ بِقَوْلِ جَرِيرِ بن عبد اللَّهِ كنا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعَهُمْ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ من النِّيَاحَةِ رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ وابن مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ وَلَيْسَ في رِوَايَةِ ابْنِ مَاجَهْ بَعْدَ دَفْنِهِ وَهَذَا ظَاهِرٌ في التَّحْرِيمِ فَضْلًا عن الْكَرَاهَةِ وَالْبِدْعَةِ الصَّادِقَةِ بِكُلٍّ مِنْهُمَا
“Makruh bagi keluarga mayat menyediakan hidangan untuk para petakziah. Pengarang kitab al-Anwar dalam ar-Raudhah dan al-Majmû’ menyatakan hal ini sebagai bidah yang tak dianjurkan. Beliau dalam kitab al-Majmû’, menyandarkan kemakruhan tradisi itu pada hadis Jarir yang berbunyi, ‘Kami menganggap perkumpulan di rumah keluarga mayat serta penyuguhan makanan dari mereka kepada para petakziah setelah penguburan mayit termasuk ratapan”
Dari dua ibârat di atas, apakah bisa kita simpulkan bahwa tahlilan memang berhukum makruh? Jawabannya akan saya jelaskan jadi beberapa poin berikut:
Pertama: Kita perlu meninjau pada landasan hadis yang dipakai oleh Imam Syafii untuk memakruhkan perkumpulan di rumah keluarga mayit dan pemberian makanan pada para petakziah. Yakni, hadis yang diriwayatkan oleh shahabat Jarir di atas (كُنَّا نَعُد الخ).
Hadis tersebut tidaklah dipahami sebagaimana zahirnya. Melainkan diarahkan pada perkumpulan yang menampakkan kesedihan dan keluhan yang mendalam. Sebaliknya, jika tidak ada keluhan dan kesedihan yang mendalam maka tradisi tersebut diperbolehkan. Hal ini disebut oleh Syaikh Ismail Zain dalam kitabnya, Qurratul-‘Ain bi Fatawa Ismail Zain:
وَمَا جَاءَ مِنْ جَرِيْرِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ مِنْ قَوْلِهِ (( كُنَّا نَعُد الإِجْتِمَاعَ إِلَى اَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعِهِمْ الطَعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ)) فَمَحْمُوْلٌ عَلَى مَا إِذَا كَانَ مَعَ إِظْهَارِ الْحزْنِ وَوُجُوْدُ الْجزْعِ, وَيُؤَيِّدُ ذَلِكَ قَوْلُهُ: مِنَ النِّيَاحَةِ، لِاَنَّ ذِكْرَ النِّيَاحَةِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ اْلإِجْتِمِاعَ المَذْكُوْرَ إِنَّمَا صَارَ مَذْمُوْمًا مِنْ حَيْثُ أَنَّ فِيْهِ شَائِبَةُ حزْنٍ فَصَارَ بِذَلِكَ كَأَنَّهُ نَوْعٌ مِنْ أَنْوَاعِ النِّيَاحَةِ اَمَّا إِذَا خَلاَ مِنْ ذَلِكَ فَلاَ مِرْيَةَ فِيْ اِسْتِحْسَانِهِ جَمْعًا بَيْنَ اْلأَحَادِيْثِد
“Hadis yang datang dari shahabat Jarir yang berbunyi, ‘كُنَّا نَعُد الخ’ diarahkan pada perkumpulan yang menampakkan kesedihan dan keluhan yang mendalam. Penguat hal itu, kutipan hadis yang berbunyi ‘مِنَ النِّيَاحَةِ’. Sebab penyebutan ‘النِّيَاحَة’ menunjukkan bahwa perkumpulan tersebut menjadi tercela bila terdapat unsur kesedihan, sehingga hal itu seakan menjadikan perkumpulan tersebut satu macam dari beberapa macam ratapan. Jika di dalamnya tidak ada unsur menampakkan kesedihan dan keluhan yang berlebihan pada mayat maka tidak diragukan lagi akan bagusnya pekerjaan tersebut, meninjau dari kumpulan beberapa hadis.”
Dari penjelasan di atas kita paham bahwa kemakruhan itu terjadi bila terlalu menampakkan kesedihan lagi keluhan atas wafatnya mayat. Selanjutnya, Imam Nawawi dalam kitabnya, al-Adzkar an-Nawawiyah memaparkan tentang takrif niyâhah berikut ini:
وَاعْلَمْ أَنَّ النِّيَاحَةَ: رَفْعُ الصَّوْتِ بِالنَّدْبِ، وَالنَّدْبُ: تَعْدِيْدُ النَّادِبَةِ بِصَوْتِهَا مَحَاسِنُ اْلمَيِّتِ
“Ketahuilah bahwa niyâhah adalah mengeraskan suara dengan mengeluh-eluh kebaikan mayat.”
Takrif yang dipaparkan Imam nawawi di atas menjadi penguat bahwa yang dimaksud niyâhah bukanlah ratapan seperti biasanya. Melainkan ratapan yang sampai mengeraskan suara seraya mengeluhkan kebaikan mayat.
Kedua: Dalam kitab Misykatul-Mashâbîh terdapat hadis berikut ini:
عَنْ عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ رَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الجَنَازَة، ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوْصِي الْحَافِرَ يَقُوْلُ: أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَته، فَأَجَابَ وَنَحْنُ مَعَهُ، فَجِيْءَ بِالطَّعَامِ، فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوْا فَنَظَرْنَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوْكُ لُقْمَةً فِي فِيْهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ تَقُوْلُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّيْ أَرْسَلْتُ إِلَى الْنَقِيعِ – وَهُوَ مَوْضِعٌ يُبَاعُ فِيْهِ الْغَنَمُ – لِيَشْتَرِيَ لِيْ شَاة فَلَمْ تُوْجَدْ فَأَرْسَلت اِلَى جَارٍ لِيْ قَدْ اِشْتَرَى شَاة أَنْ يُرْسِلَ بِهَا إِلَيَّ بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ، فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَطْعِمِيْ هَذَا الطَّعَام الْأُسْرَى
Selanjutnya, ketika mengomentari hadis di atas, Mula Ali al-Qura dalam kitab Mirqâtul-Mafâtîh berujar:
هَذَا اْلحَدِيْثُ بِظَاهِرِهِ يَرُدُّ عَلَى مَا قَرَّرَهُ أَصْحَابُ مَذْهَبِنَا مِنْ أَنَّهُ يُكْرَهُ اِتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِي اْليَوْمِ الأَوَّلِ أّوِ الثَّالِثِ ، أّوْ بَعْدَ اْلأُسْبُوْعِ كَمَا فِيْ اْلبَزَّارِيَّةِ
“Hadis ini secara zahir menolak pendapat ulama mazhab Syafii tentang makruhnya membuat makanan untuk para petakziah di hari pertama, ketiga, atau setelah tujuh hari, sebagaimana penjelasan dalam kitab al-Bazzariyyah.”
وَذَكَرَ فِيْ الخُلَاصَةِ: أَنَّهُ لَا يُبَاحُ اِتِّخَادُ الضِّيَافَةِ عِنْدَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، وَقَالَ الزَّيْلَعِيْ : وَلَا بَأْسَ بِالْجُلُوْسِ لِلْمُصِيْبَةِ إِلَى ثَلَاثٍ مِنْ غَيْرِ اِرْتِكَابِ مَحْظُوْرٍ مِنْ فَرْشِ اْلبَسْطِ وَاْلأَطْعِمَةِ مِنْ أَهْلِ اْلمَيِّتِ
“Juga disebutkan dalam kitab al-Khulâshah bahwa tidak diperkenankan menerima tamu di hari ketiga. Imam az-Zaila’i berkata, ‘boleh duduk berkumpul di tempat musibah sampai tiga hari dengan syarat tidak ada hal yang dilarang di dalamnya seperti menerima tamu dan pemberian makanan yang murni dari keluarga mayat.”
وَقَالَ اِبْنُ اْلهُمَامِ : يُكْرَهُ اِتِّخَاذُ الضِّيَافَةِ مِنْ أَهْلِ اْلمَيِّتِ، وَالْكُلُّ عَلَّلُوْهُ بِأَنَّهُ شَرَعَ فِي السُّرُوْرِ، لَا فِي الشُّرُوْرِ. قَالَ: وَهِيَ بِدْعَةٌ مُسْتَقْبَحَةٌ
“Ibnu Humam berkata, ‘Makruh bagi keluarga mayat menerima tamu’. Semua ini mereka sandarkan pada alasan hal itu disyariatkan dalam kebahagiaan bukan kejelekan. Ibnu Humam menganggap hal itu adalah bid’ah mustaqbahah (bidah yang jelek).”
رَوَى اَلْإِمَامُ أَحْمَد وَاْبنُ حِبَّان بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ عَنْ جَرِيْرِ بِنْ عَبْدِ الله قَالَ: كُنَّا نَعُد الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ اْلمَيِّتِ وَصَنْيِعِهِمْ الطَعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ اِنْتَهَى
“Imam Ahmad dan Ibnu Hibban meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Shahabat Jarir bin Abdullah, ia berkata, ‘Kami menganggap perkumpulan di rumah keluarga mayat serta penyuguhan makanan dari mereka kepada para petakziah setelah penguburan mayit termasuk ratapan’. Selesai.”
فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُقَيِّدَ كَلَامَهُمْ بِنَوْعٍ خَاصٍ مِنْ اِجْتِمَاعٍ يُوْجِبُ اِسْتِحْيَاءَ أَهْلِ بَيْتِ اْلمَيِّتِ فَيَطْعَمُوْنَهُمْ كرْهًا أَوْ يَحْمِلُ عَلَى كَوْنِ بَعْضِ اْلوَرَثَةِ صَغِيْرًا أَوْ غَائِبًا أَوْ لَمْ يَعْرِفْ رِضَاهُ أَوْ لَمْ يَكُنْ الطَعَامَ مِنْ عِنْدِ أَحَدٍ مُعَيَّنٍ مِنْ مِالِ نَفْسِهِ لَا مِنْ مَالِ اْلمَيِّتِ قَبْلَ قِسْمَتِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ
“Seyogianya dipahami dengan konteks tertentu bahwa (niyahah) terjadi sebab kumpulnya para petakziah sehingga membuat malu tuan rumah jika tidak melayaninya. Lantas tuan rumah memberi hidangan dengan tanpa keridaan. Atau diarahkan pada sebagian ahli waris yang kecil, tidak ada atau tidak diketahui keridaan mereka atau bisa diarahkan pada hidangan yang hanya ditanggung oleh satu orang dari keluarga dengan hartanya sendiri, bukan dari warisan mayat yang belum dibagikan dan semacamnya.”
Penjelasan hadis yang diarahkan pada ketidakridaan keluarga mayat terhadap hidangan yang diberikan, ahli waris yang kecil atau hidangan yang hanya ditanggung oleh salah satu keluarga dari hartanya sendiri ini, jelas tidak terjadi pada tradisi tahlilan di Indonsia.
Buktinya, status makanan yang diberikan keluarga mayat bukanlah karena unsur paksaan apalagi malu, melainkan sebagai sedekah yang hadiahnya ditransfer pada mayat. Jika dikatakan hidangan yang disajikan kepada para petakziah hanya ditanggung oleh salah satu keluarga, sebab tradisi di Indonesia, para tamu membawa sesuatu yang nantinya juga disajikan kepada petakziah.
Maka dari itu, penjelasan awal dari Mula Ali al-Qura di atas mengatakan bahwa seakan-akan hadis Ashim bin Kulaib bertentangan dengan pendapat Imam Syafii yang memakruhkan duduk di rumah keluarga mayat dan pemberian makanan pada para petakziah. Namun, kenyataannya bukan demikian, melainkan hadis tersebut diarahkan sebagaimana penjelasan di atas.
Ketiga: Di atas, kami telah menjelaskan secara konkret pemahaman hadis Jarir sehingga memunculkan hukum makruh bagi orang yang meratapi atau memuji mayat secara berlebihan. Sebagai penguat akan penjelasan di atas, kami akan menampilkan dua hadis yang benar-benar akan membungkam Wahabi untuk mengatakan tahlilan haram.
Hadis Pertama
Dalam kitab Misykatul-Mashabih, bab mukjizat, Imam at-Tabrizi mencantumkan hadis berikut ini:
عَنْ عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ رَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الجَنَازَة، ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوْصِي الْحَافِرَ يَقُوْلُ: أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَته، فَأَجَابَ وَنَحْنُ مَعَهُ، فَجِيْءَ بِالطَّعَامِ، فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوْا فَنَظَرْنَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوْكُ لُقْمَةً فِي فِيْهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ تَقُوْلُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّيْ أَرْسَلْتُ إِلَى الْنَقِيعِ – وَهُوَ مَوْضِعٌ يُبَاعُ فِيْهِ الْغَنَمُ – لِيَشْتَرِيَ لِيْ شَاة فَلَمْ تُوْجَدْ فَأَرْسَلت اِلَى جَارٍ لِيْ قَدْ اِشْتَرَى شَاة أَنْ يُرْسِلَ بِهَا إِلَيَّ بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ، فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَطْعِمِيْ هَذَا الطَّعَام الْأُسْرَى
“Dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari shahabat Anshar, ia berkata, “Saya pernah keluar bersama Rasulullah untuk melayat. Lalu saya melihat Rasulullah menasihati si penggali kubur, ‘Luaskan bagian kaki dan kepalanya’. Setelah Rasul pulang, seorang perempuan (istri mayit) mengundang beliau ke rumahnya. Nabi mengiyakan dan kami mengikutinya ke rumah perempuan tersebut. Sesampainya di rumah perempuan, tuan rumah menghidangkan makanan. Rasulullah memulai untuk makan dan diikuti oleh kami. Pada saat Rasul mengunyah makanan tersebut, beliau berkata, ‘Aku merasa makanan ini diambil tanpa izin pemiliknya.’ Lantas perempuan yang mengundang Nabi tadi berkata, ‘Ya Rasul, saya sudah menyuruh orang pergi ke Baqi’; tempat penjualan kambing, untuk membeli kambing, namun ia tidak mendapatkannya. Lalu saya memerintahkannya lagi untuk membeli kambing pada tetangga yang baru saja membeli kambing, agar dijual ke saya dengan harga umumnya. Namun ia tidak menemukan pemiliknya. Maka saya menyuruhnya untuk pergi ke istri pemilik kambing tersebut dan istrinya mengiyakan lalu mengirim kambing itu pada saya.’ Rasulullah bersabda, ‘Berikanlah makanan ini pada para tawanan.”
Dari hadis di atas tampak jelas bahwa Nabi mengiyakan undangan jamuan dari seorang wanita yang tak lain adalah istri mayat. Jadi hidangan pada petakziah yang memang benar-benar dari keluarga mayat itu tetap dibenarkan sesuai hadis di atas.
Hadis Kedua
أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ المَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا، فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ، ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلَّا أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا، أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ، ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتِ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَتْ: كُلْنَ مِنْهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ المَرِيضِ، تَذْهَبُ بِبَعْضِ الحُزْنِ
“Bahwasanya jika ada keluarga Sayidah Aisyah wafat, maka semua kaum wanita berkumpul di rumahnya. Selang beberapa lama, mereka semua pergi kecuali keluarganya dan beberapa orang tertentu. Aisyahpun memerintah seseorang untuk memasak talbinah (bubur tepung) yang di atasnya ditaburi tsarid. Lalu Sayidah Aisyah berkata, ‘Makanlah bubur ini! Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Talbinah bisa menyegarkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesedihan.”
Dari semua penyampaian yang telah saya jelaskan di atas, maka kita tahu bahwa ibarat yang banyak dicantumkan dalam kitab-kitab Syafi’iyah tentang makruhnya perkumpulan dan hidangan pada para petakziah itu sama sekali tidak dipahami sebagaimana mestinya. Sesuai dengan penjelasan di atas, pemberian makanan pada para petakziah di Indonesia pada biasanya memang didasari unsur sedekah, sama sekali tidak ada pemaksaan, apalagi jika dikatakan dalam tradisi tersebut ada unsur meratapi atau memuji mayat secara berlebihan, tidak! Sama sekali tidak!
Walhasil, hukum makruh yang disandarkan pada tahlilan dengan dalil ibarat dalam I’anatuth-Thalibin sama sekali tidak bisa dibuat hujah berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah penulis paparkan di atas.
Ghazali | AnnajahSidogiri.id